Jari lentik Sheril menekan enam digit tombol kombinasi pada badan pintu. Sebenarnya sampai saat ini Sheril masih bingung kenapa pula pemilik tempat ini memberi tahu kode tempat tinggalnya kepada Sheril. Meskipun mereka sudah kenal cukup lama, tapi apa iya orang itu tidak takut kalau rumahnya Sheril bobol?
Mengedikkan bahu, acuh tak acuk, Sheril pun memutar knop pintu ke bawah.
Tapi ommong-omong orang itu ada di rumah tidak, ya? Dia memiliki jadwal kerja yang fleksibel jadi Sheril akan semakin marah jika orang itu tidak ada di dalam.
“Mahen! Kamu di dalem, kan?!” teriak Sheril setelah pintu tersebut terbuka.
Mahen adalah satu-satunya sahabat yang Sheril miliki. Ia kakak tingkat sewaktu Sheril masih kuliah.
Pria yang dicari itu mendesah lelah. Pasti selalu ada keributan jika Sheril berkunjung ke tempatnya.
“Dasar berengsek! Sahabatnya nikahan tapi bisa-bisanya kamu nggak dateng!” sembur Sheril memekakkan telinga.
“Ya, kan, waktu
Ais membuka pintu kamar, ia kelepasan mendorongnya agak keras sampai menimbulkan dentuman membuat kedua orang yang berada di dalamnya terkejut. Mulut Sheril masih menganga, popcorn yang tadi hendak ia masukkan ke dalam mulutnya pun terjatuh ke bawah. Astaga! Kenapa pula suaminya tiba-tiba mendobrak pintu segala! Bikin kaget saja! “Ka-kalian lagi ngapain?” tanya Ais tergagap. “Lagi nonton.” “Kenapa? Mau nonton bareng?” tambah Mahen sambil menyodorkan cup berisi popcorn ke arah Ais. Ais masih mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Dia tidak tahu kenapa dia bisa bertindak seperti ini. Kakinya seolah tergerak sendiri menaiki anak tangga, lalu dia juga mendobrak pintu kamarnya. Bahkan Ais sampai sudah berpikiran yang tidak-tidak mengenai Sheril dan Mahen. Tetapi dibanding itu semua, keheranan Ais menggunung tatkala mengetahui ternyata di dalam kamar Sheril dan Mahen sedang menonton kartun dua ulat bodoh—yang satu berwarna
Meskipun kemarin merupaka hari yang buruk bagi Sheril. Tapi malam ini dia memimpikan sesuatu yang indah. Sesuatu yang semanis permen kapas sampai membuatnya tersenyum dengan mata terpejam. Di mimpinya itu, Sheril yang masih kecil memegangi sepedanya kuat-kuat, ia takut terjatuh. “Kak Ais jangan dilepasin, ya. Sheril belum siap,” pintanya dengan mimik wajah memelas. Ais mengangguk. Ternyata meskipun Sheril terlihat pemberani, sampai-sampai pernah bertengkar dengan Kakak kelasnya, tapi dia bisa merasa ketakutan juga. “Iya Kakak Pegangin. Jangan takut. Lagian, kan, pakai roda tambahan di belakang juga.” Meski begitu Sheril masih takut, roda tambahan yang dimaksud hanya dipasang sebelah kanan kanan saja, hal itu tentunya tidak menjamin Sheril dapat menaiki sepedanya dengan seimbang. “Alah tinggal diinjek aja pedalnya. Paling kalau jatuh cuma nyungsep ke got. Nggak bakal sampai mati, kok. Tenang aja,” celetuk Aim yang dari tadi menyaksikan
Ini adalah hari pertama Dara masuk kerja. Dia sampai terkagum-kagum melihat kantor utama HAKA Group yang sebegitu besarnya. Pun sama, ketika Dara iseng melihat toilet karyawan. Toiletnya sangat bersih dan wangi. Dara tersenyum senang, perusahaan keren ditambah bekerja bersama dengan Ais, mantan kekasihnya tercinta. Ah, benar-benar dua kombinasi komplit! Dara yakin dia akan betah kerja di sini. Ketika Dara beberapa menit memasuki bagian toilet. Dia mendengar suara pintu kamar mandi terbuka. Ada beberapa kaki dengan hels hitam yang melintas di biliknya. Mengedikkan bahu, Dara acuh. Mungkin mereka karyawan lainnya yang bekerja di sini. “Eh, eh. Kalian denger nggak, sih, kalau sekarang Pak Ibrahim sama Pak Uwais naik jabatan.” Dara hanya tersenyum menyimak. Padahal zaman dulu warung kopi adalah tempat istimewa yang digunakan orang-orang untuk bergosip ria, tapi sekarang ternyata pertukaran informasi bisa di mana saja, terutama toil
Sore ini Ais pulang terlambat, hal itu dikarenakan dia harus membicarakan suatu hal terlebih dahulu dengan Dara. Ais tidak bermaksud mencuri kesempatan untuk berduaan dengan Dara, melainkan dia murni membahas pekerjaan dengannya. Ais menyuruh Dara untuk belajar ke sekretaris Aim yang lebih kompeten agar Dara tahu apa saja job desk seorang sekretaris tetapi Dara menolak mentah-mentah perintahnya tersebut. “Aku nggak mau!” “Tapi kamu, kan, harus belajar. Gimana kalau besok-besok kamu salah lagi?” bujuk Ais. “Pokoknya sekali nggak mau, ya, nggak mau! Aku, tuh, nggak suka sama dia!” Dara masih saja keras kepala pada keputusannya. “Kenapa kamu nggak suka sama dia? Kamu, kan, belum kenal sama dia.” Ais benar-benar tidak mengerti. Jika di dunia ini ada istilah mencintai seseorang tanpa alasan. Apakah kali ini Dara juga sedang membenci seseorang tanpa alasan? “Siapa bilang? Orang tadi pagi aja aku digibahin sama dia dan temen-t
“Kamu masak apa buat aku?” tanya Ais amat antusias ketika melihat Sheril yang berada di sebelahnya mulai membuka kotak bekal. Wajah Ais berbinar seperti anak kecil membuat Sheril terkikik geli. Baru kali ini Sheril melihat sisi Ais yang seperti ini. Ternyata secuek-cueknya lelaki, pasti tetap akan takhluk pada makanan enak. “Tebak, dong,” goda Sheril supaya Ais semakin penasaran. “Nggak bisa nebak. Udah kelaperen sampai gabisa mikir.” Sheril tertawa terbahak mendengarnya. “Tada~ aku masakin bento buat kamu.” Mata Ais berbinar. Bento? Dulu Umi juga sering membuatkannya bekal bento ketika ia masih sekolah. Tetapi ketika Ais melihat isi dari kotak bekal Sheril yang tidak sesuai dengan ekspetasinya, Ais pun menelan ludah. “Ini bentoangry bird. Mirip kayak kamu, kan? Judes dan nggak pernah senyum.” Ais sampai kehabisan kata-kata dibuatnya. Dahi Ais mengernyit. Angry bird-nya seperti tersengat t
“Aku cinta sama kamu. Aku bakalan ngelakuin apa aja asalkan kamu nggak pergi,” ucap Dara. Ais terkejut mendengar ucapan Dara barusan. Bisa-bisanya Dara berbicara seperti itu kepadanya. Tidak hanya itu saja, kini Dara malahan menarik lengannya sampai Ais terjatuh menindihnya. Ais merasakan Dara mencium lehernya. Tangan Ais mengepal kuat-kuat. Rahangnya terkatup rapat. “SADARIN DIRI KAMU, DARA!” Tiba-tiba Ais bangkit. Lalu menguncang kedua bahu Dara membuat Dara terperanjat dengan perubahan sikap Ais tersebut. Napas Ais kembang kempis. Ia menatap tajam ke arah Dara. Selama berpacaran dengan Dara, Ais tidak pernah melakukan hal macam-macam dengannya. Itu semua karena Ais menghormatinya. Ais tahu batasan masa yang boleh dan mana yang tidak boleh. Jika niat awal dia berpacaran dengan Dara dan hanya mengincar ‘hal itu’. Tentu saja Ais sudah mela
“POKOKNYA AKU MAU CERAI SAMA DIA, HIKS!” Sheril menangis tersedu-sedu. Mahen yang menyaksikan itu semua dari kejauhan hanya mampu menggelengkan kepala. Ia heran, kenapa setiap kali Sheril ada masalah, dia selalu mengadu kepadanya? Hmm... Mungkin Sheril sudah kelewat nyaman dengannya sehingga tidak sungkan berbagi segala informasi kepadanya. “Dasar cowok berengsek! Cowok kardus! Nggak pandai bersyukur! Argh mati aja sana ke neraka sama selingkuhannya!” Tangan Sheril meremas gemas bantal sofa milik Mahen yang berada di pangkuan. Benda kotak tak berdosa tersebut dijadikan Sheril sebagai bahan pelampiasan amarahnya agar hatinya tenang. Bahkan kalau bisa, rasanya Sheril ingin mengoyak bantal sofa ini. “Kapan sampai rusak beneran aku jitak kepala kamu!” ancam Mahen tapi tak digubris oleh Sheril. Malahan sekarang tangis Sheril semakin kencang. “Maheeennn…. Urusin surat ceraiku, please. Pokoknya aku mau cerai sama dia!”
“Apa kabar, Kakak?” Dari suara tamu yang datang, sepertinya Mahen mengenal siapa orang tersebut. Ketika Mahen menengok ke belakang, seketika matanya pun membola. Tidak salah lagi. Orang tersebut tak lain adalah Dara. Kenapa dia bisa ada di sini? *** Mahen dan Dara duduk berhadap-hadapan. Meja kayu oak menjadi penengah antara keduanya. Mahen menatap lurus-lurus ke arah Dara yang saat ini sedang mengamati ke sekitar. Matanya meneliti satu per satu benda apa saja yang berada di sini sembari berkata, “Kadang aku berpikir kalau Kakak punya kelainan OCD. Soalnya dari dulu Kakak selalu rapi.” “Berhenti manggil aku Kakak! Aku anak tunggal dan aku nggak pernah punya adik kayak kamu,” jawab Mahen ketus. “Ternyata Kakak masih dingin, ya, sama aku.” Meskipun begitu, sebenarnya ada banyak hal yang ingin Mahen tanyakan kepada Dara. “Langsung aja ke intinya. Kenapa kamu ke sini?” Dara tersenyum. Tidak s