Share

03 | Awal dari Segalanya

Han membawa Elena dan Galen ke rumahnya dengan dibantu oleh sahabatnya Gavin yang sengaja ia telepon untuk membantunya.

Ia tak pernah mengira kelimpungannya malam ini justru membuatnya bertemu dengan dua manusia aneh yang tiba-tiba pingsan di jalan. Benar-benar sangat merepotkan menjadi orang yang baik.

Han memandangi gadis yang kini sedang terpejam di kamar milik adiknya. Entah kenapa ia merasakan sesuatu yang aneh dalam dirinya. Ia merasakan suatu ikatan dengan gadis bersurai ungu itu saat melihatnya berjalan  di jalanan sampai akhirnya gadis itu pingsan dan Han tanpa sadar berlari ke arahnya, dengan perasaan yang berkecamuk. Seolah pernah bertemu sebelumnya.

"Han Satya Aibek, apa dia pacarmu?" tanya Gavin penasaran. "Freya bagaimana?" tanyanya lagi, seraya memperlihatkan layar ponsel miliknya di mana Freya terus-terusan menghubunginya untuk mengetahui kabar Han.

Han menepis ponsel milik Gavin, tak tertarik sama sekali. "Bukan. Aku hanya menolongnya,” jawab Han datar.

"Aku tak sengaja melihatnya tadi saat berjalan-jalan. Mereka hanya orang asing," gumamnya. Pemuda itu benar-benar terlihat tak antusias, seolah isi kepalanya penuh dengan berbagai macam pertanyaan yang tak pernah mendapatkan jawabannya.

"Han, berhentilah jadi orang baik. Kenapa kamu masih sempat membantu orang asing? Bagaimana jika sebenarnya mereka jahat?” tanya Gavin.

"Apakah kamu berpikir begitu? Mereka berdua kesakitan tadi. Tidak ada orang yang menolongnya, lalu apakah aku harus diam saja melewatinya seperti orang lain?" tanya Han sedikit emosi.

Gavin langsung menepuk pundak sahabatnya dan tersenyum kecil. "Bukan begitu maksudku. Hanya saja, kamu lihat sendiri. Mereka berdua terlihat aneh. Suhu tubuh mereka sangat rendah dibandingkan dengan kita,” ujar Gavin.

"Bagaimana jika mereka sebenarnya makhluk tak kasat mata? Jadi, tak ada yang membantunya," Gavin terkekeh.

Han mendelik sebal. “Lebih baik aku menolong orang tak kasat mata daripada bertemu orang aneh sepertimu. Lebih baik kamu pergi jika terus berisik seperti ini,” tukas Han kesal.

"Han! Come on! Kamu jangan seperti itu kepadaku. Aku ini sahabatmu. Aku ha-"

"AKU INGIN BERTEMU KAKAKKU"

Han dan Gavin langsung tersentak kaget saat mendengar suara teriakan dari luar. Terdengar kacau. Mereka berdua pun memutuskan untuk langsung keluar dari kamar Aruna dan menghampiri sumber suara.

"Kubilang aku ingin bertemu kakakku!" pekik seorang anak laki-laki bersurai kemerahan.

Aruna yang menghadapi anak laki-laki itu terlihat kesal dan mendorongnya begitu saja. "Sudah kubilang di sini tidak ada gadis perempuan yang lebih tua dariku! Jangan meracau!" tukas Aruna kesal.

"Aruna, ada apa?" tanya Han.

Anak laki-laki bersurai merah itu langsung melemparkan tatapan sinis pada Han dan menarik kerah bajunya. "Kamu bawa kemana kakak-kakakku?" tanya anak laki-laki itu dengan intonasi tinggi.

“Woy! Lepaskan kakakku! Sialan!" tukas Aruna yang kemudian mendorong anak laki-laki itu sampai tersungkur jatuh ke lantai.

Han dan Gavin menatap Aruna heran. Entah hanya perasaan mereka saja atau memang benar adanya, Aruna yang biasanya lemah kini memiliki kekuatan seperti seorang laki-laki yang kuat.

"Aruna! Kamu ini perempuan, kenapa sangat kasar?" Han terlihat kesal melihat tingkah adiknya yang di luar kendali.

Sementara itu, pemuda bersurai kemerahan itu bangkit dan menghampiri Aruna, menatapnya dengan penuh amarah yang terlukis jelas.

"Yah!" Anak laki-laki bernama Zayed itu terlihat murka kepada Aruna. "Kakakmu sudah membawa Kakakku!"

Aruna kemudian menatap kakaknya yang kini kehilangan fokusnya. "Kak Han!" panggil Aruna.

Namun Han hanya diam dan menatap Zayed datar. Lagi-lagi dia merasakan ada yang aneh. Entah kenapa ia begitu sensitif malam ini setelah bertemu dengan Bolasaeg Choseungdal tadi.

"Anak kecil, kakakmu ada di dalam. Tadi kita membawanya karena dia pingsan begitu saja,” kata Gavin.

"Benarkah? Kenapa aku tidak menyadari kalian membawa seseorang masuk?" Aruna terlihat bingung.

Zayed benar-benar terlihat marah dan murka. Kemudian dia menerobos masuk begitu saja untuk menemukan Elena dan juga Galen.

"Woah, anak itu kurang ajar sekali!" Aruna langsung masuk dan mengejarnya.

***

Zayed menerobos masuk ke dalam rumah Han, lebih tepatnya kamar milik Aruna. Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti saat ia melihat seorang pria tua sedang menatap Elena, kakaknya. Bukan dengan tatapan biasa.

"Kenapa kakek menatap kakakku seperti itu?" tanya Zayed sedikit kesal.

Pria tua yang tak lain adalah kakek Aydin itu langsung berbalik. Matanya memindai seluruh tubuh Zayed dari atas ke bawah, membuat anak itu merasa risih.

"Kakek! Apa yang kakek lakukan di sini? Kukira kakek sudah tidur,” kata Han.

Kakek Aydin tersenyum simpul. Kemudian menghampiri Han dan berdiri di sampingnya.

"Apa yang terjadi pada kakakku?" tanya anak laki-laki bersurai merah itu, seraya menghampiri Elena yang memejamkan mata, tak sadarkan diri.

"Aku tidak tahu. Tadi, aku sedang berjalan. Lalu aku tak sengaja melihatnya, dia tiba-tiba terdiam dan tak sadarkan diri,” jawab Han. Ia sungguh tak mengerti dengan apa yang terjadi dengan Elena dan Galen. Namun, satu yang pasti dua orang itu sungguh aneh saat Han tak sengaja melihatnya di pinggir jalan tadi.

Jika tak salah lihat, Han melihat pemuda itu tiba-tiba berada di samping si gadis. Padahal sudah jelas sebelumnya berada jauh di belakangnya. Lalu, Han juga tak sengaja melihat pemuda itu kesakitan, padahal gadis di hadapannya hanya diam berbicara dengannya.

Semuanya benar-benar di luar nalar dan juga akal sehatnya.

"Lalu bagaimana dengan kakak laki-lakiku?" tanya Zayed.

"Dia ada di-"

"Aku disini, Zay,” tiba-tiba sebuah suara parau mengejutkan mereka. Galen sudah berada di kamar Aruna dengan wajah pucatnya, seraya memegangi kepalanya yang masih terasa pening.

Semua orang kini menatap Galen dengan tatapan tak percaya. Matanya mengeluarkan sinar berwarna Thistle dan bibir berwarna peach alaminya perlahan berubah keungu-unguan.

"Apa kakak seorang Purpura?" tiba-tiba Aruna menghampiri Galen, merasa tertarik. Pria yang masih setengah sadar itu tiba-tiba tersentak saat Aruna menatap tepat ke arah bola matanya. Seolah ada sihir yang membuatnya tertarik.

"Thistle yang cantik?" tanya Aruna sekali lagi, seolah terpesona dengan ketampanan Galen yang ada di hadapannya.

"Aruna,” kakek Aydin memanggilnya. Gadis berusia lima belas tahun itu kemudian berbalik. Entah apa yang dilakukan oleh sang kakek, tapi gadis itu tiba-tiba terhuyung ke dalam pelukannya dan tak sadarkan diri.

“Kakek! Apa yang kakek lakukan pada Aruna?” tanya Han tak percaya.

“Apa kakek bisa sulap, hipnotis, atau semacamnya? Kenapa Aruna tiba-tiba pingsan?” tanya Gavin sama tak percayanya dengan Han.

Kakek Aydin hanya diam dan bersikap tenang. Ia kemudian menidurkan Aruna tepat di samping Elena yang masih belum sadarkan diri.

"Aruna hanya lelah,” katanya datar. Kemudian ia kembali berdiri di samping Han yang masih menatapnya heran.

"Apa kakek tahu sesuatu tentang kami bertiga?" tanya Galen penasaran. Ia merasakan ada energi yang aneh saat melihat sorot matanya, juga kehadirannya yang menurutnya tak biasa.

Kakek Aydin menatap datar ke arah Hangyul. Kemudian dia mengalihkan tatapannya pada cucu laki-lakinya yang masih menatapnya dengan tatapan penuh tanda tanya.

Tanpa aba-aba, kakek Aydin tiba-tiba membungkuk dengan tangan kanan yang ia sodorkan ke arah Galen. Galen dan Zayed menatapnya bingung, begitupun dengan Han dan Gavin.

"Bukankah itu cara pelayan-pelayanmu hormat kepadamu?" bisik Zayed pada Galen, dibalas dengan anggukkan kepala pelan.

Ada apa dengan situasi ini? Apa yang sebenarnya terjadi? Pertanyaan-pertanyaan itu terus memenuhi isi kepala semua orang-orang yang berada di sana.

"Yang Mulia Baginda Raja..." ucap kakek Aydin serius.

Semua orang kemudian tersentak kaget. Mereka menatap lelaki tua itu tak percaya sekaligus bingung.

"Apa maksudmu?" tanya Han dengan sedikit kesal pada sang kakek. "Kakek! Ayolah! Jangan bersikap aneh seperti ini," Han benar-benar kesal, ingin meledakkan semua amarah di dalam dirinya.

"Ka... kau? Pelindung? Abaronca?" tanya Zayed tiba-tiba saat melihat sebuah tanda bulan sabit kemerahan di leher belakang milik kakek Aydin.

"Abaronca?" tanya Han dan Gavin berbarengan.

Abaronca adalah seorang pelindung. Ia adalah manusia yang terlahir sebagai Saram dan tinggal di DurangoAbaronca menjadi saram terpilih yang memiliki tanda bulan sabit kemerahan. Entah bagaimana cara bangsa Purpura memilih seorang Saram untuk menjadi Abaronca, tapi kebanyakan dari mereka merupakan orang yang sangat acak. Terkadang, ada di antara mereka yang masih belia umur belasan tahun.

Han kemudian menatap Zayed dan Galen sinis, lalu mendorongnya seolah ingin mengusir mereka berdua. "Jika kalian akan membicarakan tentang dunia tak kasat mata bernama Purpura, lebih baik kalian pergi dari rumah ini!"

Galen menatap Han lebih sinis, lalu menghampirinya. "Kamu tak mempercayai duniaku? Apa kamu meremehkan dunia yang kamu anggap tak kasat mata itu?" tanya Galen kesal.

Han, pemuda yang baru genap berusia duapuluh tahun itu hanya diam. Kemudian, ia meringis kesakitan seperti tercekik tanpa alasan.

“Han! Apa yang terjadi padamu?” tanya Gavin khawatir. Namun, pemuda itu tak berani untuk menghampirinya karena merasa takut.

"Ha....ha....tolong aku. Sa....sa...kit,” Han terbata-bata seraya memegangi lehernya.

Galen menyeringai. "Bagaimana rasanya tercekik oleh kekuatan yang tak kasat mata itu?" tanya Galen.

"Kak, lepaskan! Kak Galen adalah Baginda Raja Purpura, jangan menodai kekuatan yang kamu miliki dengan membunuh Saram!” tukas Zayed.

Galen kemudian melepaskan kekuatan yang ia biarkan untuk mencekik leher Han. Pria berusia duapuluh tahun itu terlempat ke lantai dan terbatuk-batuk dengan bekas cekikan berwarna ungu di lehernya.

Han ketakutan bukan main. Gavin yang juga menyaksikan hal itu langsung menghampiri sahabatnya, lalu membantunya. Namun, Han seperti orang kerasukan. Bola matanya bergetar hebat disertai peluh dingin yang membasahi seluruh tubuhnya.

“Han! Kamu baik-baik saja?” tanya kakek Aydin.

Han menggelengkan kepalanya. Pemuda itu benar-benar tak bisa mengendalikan dirinya. Dia terlihat seperti orang yang kehilangan kesadarannya setelah sesuatu yang mengerikan.

Kakek Aydin yang khawatir melihat cucunya kemudian berbalik ke arah Galen yang sedang menatap Han dengan tatapan tajam. Seperti kesal dan murka, lalu siap menerkam Han dengan segala sisa kekuatannya.

"Baginda Raja, tolong kembalikan kesadaran cucuku," kakek Aydin terlihat memohon.

Galen menatapnya dengan tatapan datar. "Kau Abaronca. Gunakanlah kekuatan yang kau pelajari di negeri kami," katanya terdengar sarkas.

Kakek Aydin menggelengkan kepalanya. "Aku tidak bisa menggunakannya pada seseorang yang terlahir sebagai Saram, sepertiku,” katanya.

Galen menatap bingung, begitupun dengan Zayed. Mereka berdua serempak mengalihkan pandangannya pada Aruna yang tak sadarkan diri. Lalu, dengan berani Zayed membuka kancing atas baju milik Aruna.

Nampak tanda bulan sabit berwarna ungu memudar di dada gadis belia itu. Tanda bulan sabit itu sama seperti tanda yang dimiliki Zayed.

Dia gadis yang ditukar dengan bayi Purpura. Sama sepertiku. Batin Zayed.

"Dia gadis Purpura, kak,” kata Zayed tak percaya seraya menatap ke arah Galen yang masih diam mematung.

Galen kemudian menatap Kakek Han dengan tatapan sinis. Kakek Han hanya menundukkan kepalanya seperti memohon. Memohon untuk mengembalikan kesadaran cucu laki-lakinya pada Raja Purpura, Galen Byakta.

"Tolong kembalikan kesadarannya," kakek Han terus memohon.

Anak itu adalah takdir yang terikat bersama kalian di bawah Bolasaeg Choseungdal berwarna Orchid Trabem. Di antara kalian berdua yang mendengar suara hatiku, tolong untuk tak mengatakannya. Ini adalah rahasia. Kalian hanya cukup mengetahuinya dalam diam dan melindunginya. kata suara batin kakek Aydin.

Kakek Aydin kemudian mengangkat kepalanya dan menatap Galen dan Zayed secara bergantian. Salah satu di antara mereka terkejut dengan tatapan tak percaya, lalu satu yang lainnya hanya diam. Menatap dingin tanpa perasaan.

Apa ini? Aku bisa mendengar suara batin kakek tua itu. Apa ku benar-benar seorang Allim? batin Zayed.

Yang diam adalah Galen. Ia tak bisa mendengar suara hati kakek Aydin seperti yang dialami Zayed.

"Kak, selamatkan dia cepat!" Zayed memukul Galen, membuatnya kesal. 

Namun, mau tak mau Galen harus melakukannya. Ia mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengembalikan kesadaran Han. Ia tak bisa menolak permintaan Zayed yang merupakan putra mahkota kerajaan Purpura, yang kelak akan menggantikan kedudukannya.

Han akhirnya tersadar. Namun, pemuda itu masih terlihat ketakutan melihat Galen dan Zayed. Dua manusia yang memang benar-benar keluat dari dongeng sebelum tidur yang selalu diceritakan sang kakek.

"Han, kamu tidak apa-apa?" tanya Gavin khawatir.

Han menganggukkan kepalanya pelan. Kemudian, ia menatap sang kakek yang tersenyum penuh arti kepadanya.

"Apa kamu sudah mempercayainya, Han? Dunia yang kamu anggap tak kasat mata itu ternyata ada," kaya kakek Aydin.

"Han, aku melihatnya. Semuanya nyata," Gavin berujar.

Han menatap Galen dan Zayed secara bergantian. Mereka berdua memang terlihat sangat berbeda dengan manusia yang Han tahu. Kemudian, ia mengacak-acak rambutnya dan mengerang frustasi.

"ARRRGGGGHHHH!" erangnya.

Manusia mana yang tak gila mengetahui dunia fantasi itu benar-benar ada.

***

Setelah kejadian tadi, Han memutuskan untuk kembali ke kamarnya dengan perasaan kacau. Pemuda itu berdiri mematung dengan sebilah pisau di tangan kanannya. Ia terlihat seperti orang gila dan hampir kehilangan akalnya setelah apa yang terjadi hari ini.

"Apa yang terjadi... apa yang terjadi... apa yang terjadi. Gila! Semuanya gila! Aaarggghh!" Han melempar pisau di tangannya dan mengacak-acak rambutnya frustasi.

"Han..."

Han langsung berbalik saat sang kakek memanggil namanya. Ia kemudian menghampiri kakeknya untuk meminta penjelasan atas apa yang terjadi malam ini.

"Kakek, tolong jelaskan padaku. Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Han setengah ketakutan.

"Han, duduklah dulu," pinta kakek Aydin dengan lembut.

Han kemudian duduk bersama sang kakek di atas ranjang miliknya. Han terlihat sangat bingung dan hampir gila.

"Coba kamu buka bajumu dan lihat tanda apa yang ada di dadamu," kakek Aydin berujar.

Han langsung membuka bajunya dan menatap sebuah tanda bulan sabit berwarna keunguan di dadanya yang membuatnya cukup terkejut. Tanda itu mengeluarkan sinar seperti kalung misterius yang melingkar di lehernya.

"Kakek, kenapa aku memiliki tanda ini?" tanya Han bingung. Pemuda itu langsung mencoba untuk menghapusnya dengan kedua tangannya, tapi tidak bisa dan malah membuatnya terluka juga meninggalkan warna merah.

"Kakek, kenapa tidak bisa hilang?" tanya Han seraya berderai air mata. Nampak jelas di wajahnya, pemuda itu sedang ketakutan setengah mati.

Kakek Aydin kemudian mengusap kepala Han untuk menenangkanya. "Kamu jangan khawatir, Han."

"Kenapa?! Kenapa aku tidak boleh khawatir di saat aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi kepadaku? Sebuah kalung melingkar di leherku dan tanda muncul di dadaku. Aku bisa gila, kek!" tukas Han.

"Inilah takdirmu," kata kakek Aydin.

Han kemudian terdiam dan menatap wajah sang kakek dengan raut wajah penuh kebingungan. Apa lagi ini? Pikirnya.

"Takdirmu adalah bertemu dengan gadis dan pria tadi. Gadis itu adalah Orchid, dan pria itu adalah Thistle..." kata kakek Aydin.

Han membelalakkan matanya terkejut. "Orchid? Bukankah berarti dia gadis yang terkutuk?" tanyanya.

Kakek Aydin tersenyum simpul, kemudian menggenggam erat jemari cucu laki-lakinya yang mulai mendingin.

"Dia istimewa, bukan terkutuk. Kamu harus menjaganya dari segala macam bahaya di Durango, termasuk Violeta. Atau kemungkinan lain, seperti pengkhianatan yang dilakukan orang yang paling ia percayai juga pembunuh tak kasat mata," katanya.

"Kenapa harus aku?" Han menangis, mengeluarkan sisa-sisa air matanya.

"Karena kalung Dalanseok sudah memilihmu sejak dua puluh tahun lalu, Han. Takdirmu terikat dengan gadis Orchid, Baginda Raja Purpura, seorang gadis Violeta, dan seorang pria keturunan Plum,"  ujar sang kakek.

Han terdiam dan menatap kakeknya dengan raut wajah bingung. Ia kesulitan untuk memahami apa yang telah dikatakan oleh sang kakek. Isi kepalanya kacau. Ia tak percaya bahwa takdir yang ia miliki ternyata begitu mengerikan, juga tak ia pahami sama sekali.

"Apa yang harus kulakukan dengan gadis Orchid itu?" tanya Han.

"Menyelamatkannya dari ketidakbahagiaan," jawab sang kakek.

"Apa maksudnya? Jika kalung ini adalah Dalanseok, apakah aku orang yang begitu penting? Seperti Lavender dan Laviosa?" tanya Han bingung.

Kakek Aydin tersenyum. "Tidak ada yang tahu. Kamu harus menemukan jawabannya sendiri, Han. Takdir kalian akan terikat selama lima tahun ke depan. Jagalah gadis itu," ujarnya.

Han hanya diam. Memikirkan perkataan kakeknya. Haruskah ia mempercayai takdir hidupnya dan menjaga gadis yang tak ia kenal? Atau justru mengabaikannya dan melanjutkan hidup seperti seharusnya?

Han bingung dihadapkan pada dua pilihan yang tak ia mengerti.

Akankah pertemuannya dengan gadis itu menjadi awal dari segalanya? Menjadi awal yang belum tentu baik untuknya, atau justru menjerumuskannya ke dalam jurang kesia-siaan.

***

Di sisi lain Durango, seorang gadis lugu bersurai panjang diam termenung memangku dagu di atap rumahnya ditemani dengan sekaleng minuman yang membuatnya mabuk.

Gwen Ivana Kyati, gadis itu mengembuskan napasnya berulang kali seraya menatap Jakarta yang semakin kelam tertutup halimun tipis. Pertanda sesuatu yang buruk akan terjadi. Sesuatu yang tak pernah terbayangkan oleh nalar manusia akan terjadi.

"Aku lelah berhubungan dengan manusia-manusia berdarah ungu itu," gumamnya pelan. 

Buliran berlian bening lalu lolos begitu saja dari sudut matanya. Gwen menangis. Menangisi takdirnya yang terikat dengan Purpura. Terpaksa harus berurusan dengan mereka, meski sebenarnya ia terlahir sebagai manusia biasa di dunia yang jelas berbeda.

"Aku membutuhkan Han..." lirihnya.

Ada kesedihan yang nampak di balik sorot mata Gwen yang teduh. Ada kerinduan yang tertahan, namun tak bisa ia sampaikan pada Han.

"Tapi Han tidak membutuhkanmu, Gwen."

Tiba-tiba seorang pria datang menghampiri Gwen, duduk di sampingnya dan menyambar minuman memabukkan yang membuat Gwen hampir saja tak sadarkan diri.

Gwen menoleh dan menyipitkan matanya. Lalu, ia mencoba untuk merebut minuman miliknya. Namun, pria di sampingnya justru menghabiskannya, seolah tak ingin membiarkan Gwen mabuk seperti kebiasaannya.

"Arga, aku membencimu!" tukas Gwen seraya memukul Arga pelan.

Arga yang ada di sampingnya hanya tersenyum tipis. Lalu, ia menarik kepala Gwen untuk bersandar di bahunya.

"Arga, apa kamu percaya Purpura itu ada?" tanya Gwen tiba-tiba.

Arga menoleh pada Gwen, mencoba untuk menjadi biasa meski sebenarnya terkejut dengan pertanyaan Gwen yang mendadak. Terlebih, Gwen menanyakan soal Purpura, tempat Arga berasal.

"Apa karena kamu melihat bulan sabit malam ini, jadi kamu ingin tahu tentang legenda Purpura itu?" tanya Arga.

Gwen bangkit, lalu menatap Arga dengan serius meski fokus gadis itu perlahan hilang karena pengaruh alkohol. "Purpura bukan legenda. Itu nyata."

Gwen menarik telinga Arga, lalu mendekatkan mulutnya untuk berbisik pada pemuda yang hanya diam itu. "Aku punya cerita tentang Purpura, apa kamu mau mendengarnya?" bisik Gwen.

"Tapi kamu mabuk, Gwen. Semua yang kamu ucapkan hanya omong kosong," Arga menyentil hidung Gwen, membuat gadis itu berdecak kesal dengan wajah cemberut khasnya.

"Kamu akan menyesal!" tukas Gwen kesal, persis seperti anak kecil.

Arga tertawa kecil melihat tingkah sahabat perempuannya itu. Lalu, ia menarik wajah Gwen untuk menghadap kepadanya dan menatapnya. "Baiklah, ceritakan semua yang kamu tahu. Aku akan mendengarkannya," kata Arga.

Gwen langsung sumringah. Ada pelangi terbalik yang terlukis di wajahnya.

"Aku tahu siapa yang memulai semuanya," Gwen membuka ceritanya. "Purpura dan tempat kita tinggal saling terhubung karena kesalahan satu orang yang memulai awal dari segalanya."

"Siapa orang itu?" tanya Arga.

Sebenarnya, Arga malas menanggapi Gwen. Tapi, jika mengabaikannya, gadis itu sudah pasti akan bersedih hingga menangis. Terlebih, ia tak memiliki siapa pun bersamanya, kecuali dirinya.

"Jeslyn!" pekik Gwen membuat Arga tersentak, membulatkan matanya sempurna.

Tak ada satu pun seorang Saram yang mengetahui tentang Jeslyn. Kunci rahasia yang menjadi perantara antara dua dunia yang berbeda. Bahkan, dalam dongeng yang beredar luas di Durango, tak pernah ada cerita yang tertulis atau dari mulut ke mulut tentang Jeslyn. Wanita yang menembus pintu waktu Sateunik.

"Gwen, bagaimana kamu tahu tentang Jeslyn?" tanya Arga bingung.

"Arganta Chand Japa, aku tahu semuanya tentang Purpura," kata Gwen seraya terkekeh, lalu menyandarkan kepalanya di pundak Arga dan melingkarkan tangan di lehernya.

"Gwen, kamu sebenarnya siapa?' tanya Arga. Pemuda itu kini menaruh curiga pada sahabatnya. Entah kenapa ia merasa bahwa Gwen bukanlah manusia biasa, namun terhubung dengan dunia yang tak boleh diganggu keberadaannya itu; Purpura.

"Aku?" tanya Gwen. Gadis itu tiba-tiba melepaskan tangannya dari leher Arga, lalu menerawang jauh ke cahaya bulan yang kian memudar di angkasa yang temaram.

"Jeslyn? Tragedi dimulai saat Jeslyn menembus pintu waktu yang tak sengaja terbuka saat bulan sabit berwarna keunguan. Jika dia tidak jatuh cinta saat menembus waktu akankah semuanya berubah?" Jeslyn menyeringai ke arah Arga, membuat pemuda itu justru bergeming, menatap Gwen tak percaya.

Kalimat itu adalah untaian kata yang pernah diucapkan Elena saat pertama kali bertemu dengannya di Purpura. Di Purpura, nama dan cerita tentang Jeslyn mungkin adalah rahasia umum. Lalu, bagaimana seorang Saram seperti Gwen bisa mengetahuinya?

"Gwen, kamu sebenarnya siapa?" tanya Arga.

Gwen, gadis itu tak menjawab dan malah memeluk Arga dengan erat. Melingkarkan tangannya di tubuh Arga, seolah tak ingin kehilangannya. Tak lupa, Gwen memejamkan matanya pertanda ia telah kalah karena mabuk.

"Jika awal dari segalanya tak pernah terjadi, mungkin aku bisa memeluk ayah dan ibu sekarang," Gwen meracau dalam lirih, lalu air matanya jatuh begitu saja. Seolah ada sedih yang tak terungkap, ia tahan semuanya sendirian.

Arga hanya bisa menepuk pundaknya lembut, menenangkannya. Meski sebenarnya ia dibuat bingung dengan sikap Gwen.

Arga pikir, Gwen memang bukan manusia biasa. Gwen juga tahu semua tentang Purpura. Terutama, tentang awal dari segala tragedi yang terus berulang.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Alana Kala
Gwen masih sad girl ya. Hobinya galau dan mabuk ekekeek
goodnovel comment avatar
Alana Kala
Arga macarin Lili itu ala-ala kapitalisme. Cuman manfaatin doang ya wkwwkw
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status