Share

006 Kabar duka

Aruna terdiam memperhatikan Ardan dari bawah ke atas dengan seksama, sedang berpikir apa yang harus di lakukannya pada tamu keras kepala di hadapannya.

''Cepetan dong!'' seru Ardan menghardik Aruna, ''Gue enggak bisa lama-lama'' ujarnya lagi mendesak Aruna.

''Eum gini aja...'' ujar Aruna acuh dengan wajah Ardan yang kembali dengan sikap seriusnya, ''Katanya pan adeknya bapak...''

''Bukan katanya!... Tapi, emang gue adeknya'' potong Ardan yang sudah tidak sabaran.

''Ya, sabar dulu dong pak, denger dulu penjelasan saya. Enggak sabaran amat sih!?'' seru Aruna menghardik, '' Ya udah cepetan!'' seru Ardan langsung menyahut.

''Nah, 'kan berarti mamang dong... Karena adeknya bapak. Kalau begitu, bapak pasti punya nomor telepon bapak saya... Entar tunggu dulu!'' seru Aruna teringat sesuatu, dia meminta Ardan menunggu dengan kode tangannya, ''Maaf ya, saya tutup dulu pintunya...'' ujar Aruna masih dengan sopan tapi dia tetap menutup pintu bahkan menguncinya.

''Lah...'' ujar Ardan terperangah dengan alis terangkat, ''Tuh bocah... Dua kali... Buset!'' lanjut Ardan dengan ucapannya yang terpatah-patah di intonasi tingginya walau cuma di dalam hatinya, ''Rapet amat ... Dia, kunci pintu ... Ampun, dah!'' seru Ardan di dalam hatinya masih dengan intonasi yang sama, ''Tampang gue serem banget kali ya...'' ujar Ardan bergumam sambil geleng kepala setelah semua keluh kesah di dalam hatinya tadi, melampiaskan kekesalannya atas perlakuan Aruna padanya.

Terkejut Ardan mendengar suara pintu terkunci, dia berdiri mematung masih memikirkan dia terkunci di luar tidak bisa masuk ke rumah tempat dia di lahirkan dan dibesarkan selama puluhan tahun. Ardan terperangah mendengar suara pintu terkunci sampai dua kali membuatnya mengelus dada sambil geleng kepala, dia bangga dengan sikap waspada gadis muda di hadapannya tapi dia juga kesal karena dia yang jadi korban salah paham di sini.

Tidak lama setelah Aruna masuk dering gawai di dalam saku jaket Ardan bergetar mengeluarkan bunyi. Ternyata, Aruna menelefon ke nomor handphone ayah tirinya, dan ternyata, sekarang smartphone milik ayah tirinya itu, ada di tangan Ardan.

''Assalamu alaikum bapak...'' sapa Aruna saat handphone ayahnya menjawab panggilan telefonnya.

''Wa alaikum salam wr wb... Iya, ini hp pak Arga tapi sayangnya beliau sedang tidak di tempat...'' sapa Ardan menjawab panggilan telefon Aruna.

Ardan menjawab panggilan telefon yang dilakukan Aruna dari depan pintu rumah yang terkunci. Aruna segera membuka pintu yang terkunci dengan tangan memegangi smartphone di telinganya. Dia menatap Ardan yang masih berdiri tegap di depan pintu dengan wajah menatap Aruna yang masih bersikap waspada.

''Kok hp bapak ada sama...'' ujar Aruna bertanya dengan wajah keheranan dan menatap tajam kepada Ardan. Tapi, belum selesai dia bicara Ardan segera menyambar ucapannya, ''Ama gue, Ardan!'' seru Ardan memotong ucapan Aruna yang terdiam dengan dahi mengernyit, ''Makanya, ini yang mau gue omongin... Gimana?... Masih enggak percaya... Perlu bukti yang kek gimana lagi?'' ujar Ardan bertanya dengan nada suara menekan dan wajah yang dibuat-buat dengan lembut tapi mengatakan kalau ''apa gue bilang'' seperti itu yang di katakan oleh raut wajah Ardan.

''Eum... Itu... Anu... Enggak usah deh. Masuk aja mang...'' ujar Aruna terbata-bata, dia masih bimbang dan ragu, tapi tunduk dengan logika barusan.

Aruna terkejut, ternyata yang datang adalah adik ayah tirinya yang hanya pernah sekali di temuinya empat tahun yang lalu saat pernikahan orang tuanya. Saat itu wajah Ardan memang terlihat tidak terawat tapi dia masih terlihat rapi mungkin karena sedang menghadiri pesta pernikahan.

Wajar saja Ardan yang di lihatnya sekarang jauh lebih berantakan dari pria yang di lihatnya saat pesta pernikahan orang tuanya. Rambut panjangnya masih sama dengan dulu tapi rambut gondrongnya itu berantakan dan cuma di cepol ala kadarnya. Belum lagi kumis dan janggutnya yang menutupi hampir sebagian dari wajahnya, jika dulu kumis dan janggutnya sangat tipis, tapi sekarang kumis dan janggutnya tebal sekali sampai seperti hanya terlihat matanya saja. Ardan saat ini juga cuma pakai celana jeans yang sobek-sobek dan jaket yang terkesan kusam juga belel, dan kotor berdebu dimana-mana, semua itu menambah suram wajah dan penampilannya.

Aruna akhirnya mempersilakan Ardan masuk dan duduk di sofa ruang tamu, kemudian Aruna masuk sebentar untuk mengambil segelas air minum untuk Ardan. Setelah Aruna tenang dan percaya sepenuhnya dengan apa yang di katakan oleh Ardan bahwa di adalah adik dari ayah tirinya, Aruna bisa duduk dan menyimak dengan baik dengan apa yang akan di katakan Ardan selanjutnya. Aruna sempat terlihat gugup dan wajahnya juga sampai terperangah ketika Ardan menjelaskan semua yang terjadi, tadi, saat di Rumah Sakit, semuanya pada Aruna. Aruna yang sempat terlihat tegang di awal, walau tidak sepenuhnya. Perlahan tapi pasti, Aruna berusaha agar tetap tenang dan bisa menerima semua penjelasan Ardan dengan baik. Dia tampak diam, dan sangat minim reaksi, tapi sorot matanya terlihat teduh seperti kehilangan sinarannya.

**

''Ayok deh, kita ke Rumah sakit, sekarang!'' seru Aruna menjawab sambil beranjak dari sofa ruang tamu.

''Elu bisa pergi sendiri enggak, ke Rumah Sakit?'' tanya Ardan, ''Gue di suruh jemput orang, ama abang sekarang. Tapi, katanya elu biar duluan ke rumah sakit... Begitu katanya'' ujar Ardan melanjutkan.

''Ya'' jawab Aruna sambil mengangguk, ''Oke, Aruna jalan sendiri sekarang...'' ujar Aruna lagi dan segera berjalan ke kamar hendak mengambil sesuatu.

''Tar dulu Run!'' seru Ardan menahan Aruna, membuat Aruna fokus menatap Ardan dengan wajah bertanya. ''Pesen abang lagi, katanya, gue di suruh manggil mamangnya Aruna...'' ujar Ardan melanjutkan.

''Mamang Aruna?... Yang mana?'' tanya Aruna bingung.

''Enggak tahu juga tuh, tapi, kata abang yang masih suka ngasih duit ke Aruna'' jawab Ardan acuh.

''Mang Tatang?!'' Aruna menyahut menegaskan.

''Iya kali...'' sahut Ardan pasrah.

''Buat apa?'' tanya Aruna, dia jadi lebih bingung lagi lagi sekarang.

''Enggak tahu'' jawab Ardan acuh, ''Yang penting sekarang gue turutin dulu deh, elo ada nomornya?'' tanya Ardan kemudian.

''Ada nih... Bentar... '' Jawab Aruna sambil mengeluarkan gawainya dan menscrool kontak di smartphonenya.

''Mana?... Sini, kasih ke gue!'' seru Ardan yang juga menyiapkan smartphone miliknya.

Aruna mengeluarkan gawainya dan segera mencari kontak nomor pamannya. Dia kemudian memberikannya pada Ardan. Setelah semua selesai Aruna masuk ke dalam kamar mengambil jaket dan semua keperluannya untuk pergi ke Rumah sakit menghampiri ayah tirinya yang kritis di ruang ICU.

''Ngapain lu bawa-bawa helm?!'' seru Ardan bertanya dengan wajah serius.

''Lah!... Kalau enggak pakai helm nanti malah di tilang polisi, lama lagi urusannya'' jawab Aruna polos.

''Elo, ke Rumah sakit, bawa motor sendiri?'' tanya Ardan menjeda-jeda tiap kalimatnya.

''Iya'' jawab Aruna serius, ''Emang kenapa?'' tanya Aruna heran.

''Jangan!'' seru Ardan tegas, ''Gue panggilin ojek online aja!'' ujar Ardan kemudian langsung mengeluarkannya gawainya lagi.

''Enggak usah mang, Aruna ada motor. Biar...'' ujar Aruna menolak dengan sopan, dia tidak mau merepotkan Ardan yang baginya dia tetap orang asing yang baru dikenalnya.

''Aruna!'' seru Ardan menepuk kepala Aruna pelan, ''Dengerin gue!... Gue lebih tua dari elu, jadi nurut!'' seru Ardan memerintah, dia menyela Aruna yang belum selesai bicara.

Ardan tidak mau terjadi apa-apa pada anak yang dia tidak tahu apa yang sedang dipikirkannya sekarang. Aruna tampak biasa saja tapi tangannya yang bergetar memegang Helm membuat hati Ardan tidak tenang.

Aruna diam tidak bicara lagi setelah Ardan memberi perintah tegas padanya. Ardan segera mengetik di sesuatu di gawainya memanggil Ojek Online untuk Aruna. Sepuluh menit kemudian ojek yang di pesan tiba dan segera membawa Aruna pergi ke tujuan.

''Aneh tuh anak, anteng amat...'' ujar Ardan sambil melihat Aruna berlalu pergi, ''Dia emang kaget tadi, pas gue bilang... Emaknya udah meninggal. Tapi, kok, keknya... Gantung banget ya reaksinya. Kek ada yang ilang... Tapi, apa ya?!'' seru Ardan bertanya dengan bergumam sendirian. ''Responnya... Apa ya... Ada respon, tapi kok samar banget'' tanya Ardan lagi masih dengan kesendiriannya bergumam, ''Cuma melongo doang?!... Mukanya juga datar aja...'' Ardan masih saja bergumam sendirian di teras rumah, ''Lah kenapa gue jadi mikirin itu?!'' seru Ardan bertanya pada dirinya sendiri, ''Kok kesannya, gue pen tuh anak nangis kekoseran... Tapi boro-boro. Tuh bocah ayem aja tuh'' ujarnya lagi masih keheranan dengan sikap Aruna.

Ardan menggerutu sambil memandangi punggung Aruna yang pergi meninggalkannya. Ardan tidak habis pikir, dia sempat bingung dan ragu-ragu menyampaikan kabar duka pada Aruna. Di jalan dia sempat membayangkan bagaimana Aruna akan menangis sejadi-jadinya saat kabar ini sampai padanya. Tapi, ternyata semuanya meleset dari bayangan Ardan dan malah membuatnya heran.

**

Wolfy

Hai, aku wolfy... Penulis cerita ini. Simak juga ceritaku yang lainnya... WANITA UNTUK MANUSIA BUAS (sudah tamat tapi sulit sekali mendapat kontrak dari GOODNOVEL) PAMANKU SUAMIKU MENJEMPUT ISTRIKU DUNIA MANUSIA BUAS SUAMIKU YANG BERBAHAYA KARENA KEBODOHANKU, AKU HAMPIR KEHILANGAN SUAMIKU SINGA BETINA MILIKKU (sequel lanjutan dari WANITA UNTUK MANUSIA BUAS, hanya saja kali ini wanita dari DUNIA MANUSIA BUAS yang terlempar ke DUNIA MODERN dan bertemu dengan CEO gahar.

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status