65Aku menoleh ke arah Pak Sam untuk meminta pendapat. Namun, ia diam saja seolah tidak peduli. Tetap menatap lurus ke depan. “Bang, aku....”“Keluarlah, temui dia! Dan segera buatlah keputusan yang tepat. Aku tidak bisa membantu apa-apa.”“Bang....”“Mbak, maaf, Pak Sultan sudah menunggu!” Sekuriti yang berdiri di samping mobil kembali menegurku. Akhirnya aku keluar setelah sekali lagi menoleh ke arah Pak Sam yang tetap menatap lurus ke depan. Seperti ucapannya, ia tidak membantu. Akhirnya dengan pelan dan ragu, aku berjalan ke arah laki-laki berkursi roda yang menghujamkan tatapan tajam hingga aku tak berani sekadar melirik mobil Pak Sam yang terdengar meninggalkan tempat ini. Hanya derunya yang semakin menjauh yang menandakan dia sudah pergi. Sebagai penanda juga bahwa semua tidak akan sama lagi. Kini, aku sudah berdiri di hadapan lelaki yang tatapannya perlahan meredup. Amarah yang tadi berkobar di matanya, kini berubah menjadi tatapan lembut seperti kemarin-kemarin. “Aku kir
66 “Apa maksud Anda, Tuan? Dia kekasih Anda?” Aku menunjuk wanita cantik yang terus memamerkan senyum. Jangan tanya bagaimana kondisi hatiku saat ini. Kakiku bahkan sudah tak berasa menapak. “Ya, kami sudah lama menjalin hubungan. Sayang, ia harus kuliah keluar negeri, hingga hubungan kami sempat terjeda. Terlebih Papi yang kurang setuju, dan malah memaksaku menikah dengan Cindy. Tapi, sekarang semua sudah berlalu. Kemarin kami sudah menemui Papi.” Tuan Sultan tersenyum seraya menatap wanita bernama Michelle dengan tatapan ... penuh cinta. Michelle membalasnya dengan bangkit, kemudian berjalan mendekati lelaki berkursi roda. Kurasakan dadaku sesak. Paru-paru mendadak menolak oksigen yang masuk. Apa artinya semua ini? Apa aku sedang bermimpi? Bagaimana bisa Tuan Sultan begitu ringan menceritakan kisah cintanya padaku setelah semua harapan yang ia berikan selama ini? Aku mencoba memukulkan baki bekas membawa minuman ke lengan kiri, untuk memastikan jika aku tidak sedang bermimpi.
67Tak ada yang kupedulikan lagi. Menyambar tas di atas meja kerja, kemudian berlari dari sana secepat yang aku bisa. Semua orang yang melihat atau tak sengaja berpapasan, menatap dengan heran karena aku berlari sambil menangis. Sekali lagi aku tidak peduli. Yang kuinginkan saat ini menjauh. Menjauh dari siapa pun. Aku memanggil ojek yang kebetulan mangkal tak jauh dari kawasan gedung perkantoran itu. Aku ingin pulang dan menangis sejadi-jadinya. Aku bahkan lupa jika yang kutuju saat ini adalah rumah Tuan Sultan. Rumah laki-laki yang sudah menghancurkan segalanya. Bukan hanya hatiku, tetapi hidupku secara keseluruhan. Aku tidak tahu apalagi yang harus kulakukan setelah ini. Semua sudah hancur berkeping-keping. Masa depan yang awalnya sudah terbayang indah dan tertata rapi, semua hancur berantakan. Tak kusangka semua hanya fatamorgana semata. Semua hanya sandiwara laki-laki itu yang entah kenapa sampai setega ini melakukan semua. Aku hampir menabrak Marini yang keluar dari pintu
68“Aku ingin menyerahkan surat pengunduran diri, Tuan!” Aku memotong ucapannya yang tidak penting sama sekali. Dia menoleh cepat. Menatap dan memperhatikanku dengan saksama. Kemudian tersenyum miring. “Mengundurkan diri? Apa kau lupa dengan kontrak yang sudah ditandatangani?” Ia menatap tajam. “Kontrakmu tertera satu tahun, sedangkan kau baru bekerja berapa bulan padaku!”Kini, giliran aku yang tersenyum miring. “Untuk pekerjaan pelayan, mungkin aku memang menandatangani kontrak, tetapi untuk pekerjaan sekretaris, tidak ada perjanjian apa pun.” Aku menaruh map yang sejak tadi kutenteng di atas meja dekat kursi santai. “Kemudian untuk surat perjanjian pelayan sendiri, saat aku memeriksanya, ternyata tidak memiliki kekuatan hukum apa pun. Tidak ada materai atau apa pun yang menguatkan. Itu hanya surat yang Anda buat sendiri untuk mengingatku saat itu, bukan?” Aku bertanya dengan menatap lurus wajahnya yang sedikit terhenyak. Untung aku sudah memeriksa lagi surat kontrak itu. Aku ju
69Aku mendudukkan diri dengan kasar di tepi kasur. Kemudian menutup wajah dengan kedua tangan. Kembali menumpahkan tangis. Semua ucapan laki-laki itu tak ada yang tidak meninggalkan luka. Aku sakit diperlakukan seperti ini. Sungguh, sekeras apa pun bersikap kuat dan tegar di hadapannya, bila sedang sendiri seperti ini, jiwa rapuhku tetap keluar. Aku hancur. Tak tahu harus bagaimana lagi menjalani hidup. Bahkan harus pergi ke mana, aku belum tahu. Tak ada yang bisa kumintai tolong untuk saat ini. Aku tidak mengenal siapa pun di luar sana, selama ini. Akhirnya, mencari iklan penginapan atau rumah kost terdekat di sosial media atau google adalah hal yang kulakukan saat ini. Untunglah aku tidak terlalu gagap teknologi, mungkin karena sudah bekerja di kantor, otakku lebih berkembang. Setelah mencari beberapa lama, aku mendapatkan sebuah rumah kost terdekat yang harganya lumayan terjangkau. Aku memang memiliki cukup uang dari gaji dua pekerjaan sekaligus, tetapi tetap harus berhemat k
70Kulemparkan ponsel ke atas kasur setelah menonaktifkannya terlebih dulu. Kuabaikan semua pesan dari Pak Sam. Kemudian mengangkat kedua kaki ke atas kasur. Memeluk lutut dan menyembunyikan wajah di sana adalah hal yang ingin kulakukan saat ini. Aku sudah terlanjur sakit hati. Oleh Tuan Sultan, juga Pak Sam. Bagiku, mereka berdua sama saja. Sudah membohongiku. Itu sangat menyakitkan. Aku menjatuhkan tubuh di atas kasur, setelah sekian lama memeluk lutut. Merasakan perih yang kembali hadir bila sedang sendiri seperti ini. Aku menyesal kemarin begitu besar mencintai Tuan Sultan, hingga sakitnya begitu kuat saat dicampakkan. Aku meringkuk seperti janin, merasakan perih ini sendiri. Bahkan lupa jika niat awal ingin membereskan baju.Lalu Pak Sam yang menunggu di depan? Aku tidak peduli sama sekali! Aku tak ingin lagi berhubungan dengan orang-orang yang berkaitan dengan Tuan Sultan.**Aku berada di padang sabana yang luas dan terhampar sejauh mata memandang. Tak ada apa pun di sini
71Fera menarik tanganku setelah puas memukuli Pak Sam dengan sandalnya. Ia mengajakku berlari hingga kami tiba di depan sebuah tenda pecel ayam dan lele. Kami langsung duduk di salah satu bangku kayu panjang yang masih kosong. Dengan napas yang tersengal, Fera meminta air minum kepada penjual di sana yang sedikit heran. Sekalian memesan makanan. “Kamu harus hati-hati Vio, sekarang ini kan, sedang marak penculikan anak untuk diambil organ vitalnya. Aku yakin orang itu tadi ingin menculikmu! Kenapa kamu tidak teriak?” Fera menatapku cemas setelah meneguk segelas air dan napasnya sedikit normal.Aku terbahak mendengarnya. Teringat bagaimana reaksi Pak Sam saat Fera menghujaninya dengan pukulan sandal di kepala dan seluruh tubuhnya. Kasihan sih, tetapi biarlah, siapa tahu dia kapok untuk datang lagi. Bagaimanapun, aku masih marah kepadanya. “Lain kali hati-hati! Teriak saja kalau ada orang asing yang mencurigakan! Itu pasti penculik anak!”Aku tertawa lagi. Bahkan hingga keluar air ma
72Hari kedua bertemu Fera, aku diajak ke kantor tempat ia bekerja, setelah sebelumnya menyiapkan lamaran terlebih dulu. Katanya ia sudah bicara dengan leader-nya agar aku bisa mengisi kekosongan sepeninggal salah satu rekan Fera. Fera sendiri sudah bekerja hampir lima bulan di sana. Selang sebulan setelah pertemuan pertama kami. Ah, aku berterima kasih kepada Tuhan karena dulu mempertemukan kami. Karena dia dulu aku bisa bekerja di rumah Tuan Sultan. Karena dia juga kini aku merasa hidupku tak sendiri. Bila tidak bertemu dia lagi, entah, mungkin aku masih terus meratapi nasib. Dengan kehadirannya dan keceplas-ceplosannya, aku merasa terhibur. Sedikit banyak mengalihkan dari luka hati ini. Semalam ia bahkan menginap di kamarku agar aku tak kesepian katanya. Kamarnya sendiri terhalang tiga pintu dari kamarku. Ia memutuskan kost untuk menjaga kewarasan katanya. Bila di rumah terus takut otaknya korslet karena omelan ibu tirinya setiap hari. Ok, aku akan memulai hidupku. Hidup baru y