Saat Dato Hongli menoleh, dan langsung mengirimkan pukulan kembali. Tetapi baru saja pukulan berupa gumpalan cahaya panas sebesar kepala manusia itu dikiblatkan ke atas, La Mudu telah lebih dahulu mengirimkan serangannya berupa gumpalan cahaya panas yg sama.
Duearrrr.....!!
Satu ledakan yang cukup dahsyat pun terjadi di depan Dato Hongli. Dan Tak ayal, tubuh orang tua yang masih terus menyelimuti dirinya dengan cahay putih kemilau itu pun terpental ke belakang dan jatuh membanting pantat di atas reranting kering yang menumpuk.
Dato Hongli merasakan sakit di bagian pinggangnya, sehingga mau tak mau harus meringis juga. Ia hendak mencoba mengatur kembali nafasnya dengan menyalurkan tenaga murni ke seluruh jaringan tubuhnya. Namun belum lagi ia melakukannya, tiba-tiba telinganya menangkap suara decakan seperti suara cecak. Ketika ia memalingkan wajahnya, ternyata La Mudu sedang merogoh kembali "burung"-nya sambil cekikikan, dan siap menembakkan lagi air seninya kepadanya.
"Hei! Bocah kurang ajar!" mendamprat Dato Hongli , sambil serta-merta bergerak bangkit, bersamaan dengan mengiblatkan satu tendangan cepat ke bagian burung La Mudu.
"Eit! Tak kena..!" ejek si bocah, setelah dengan cepat ia menggerakkan tubuhnya ke samping untuk menghindari tendangan keras dari orang tua yang berselimut cahaya putih. Namun di luar dugaan si bocah, si orang tua dengan cepat mengiblatkan kakinya yang satunya lagi dan...
Buggkh...!
Tendangan itu mendarat tepat di lengan kanan La Mudu, dan membuat tubuhnya tersuruk beberapa meter ke belakang. Namun ia masih mampu menahan tubuhnya agar tidah sampai jatuh terduduk. Akan tetapi sakit akibat tendangan itu terasa hingga ke otaknya.
"Hmm, tendanganmu lumayanlah, orang tua aneh," ucap La Mudu sembari mengusap lengannya satu kali, menyembunyikan rasa sakit yang cukup luar biasa. "Tapi belum cukup untuk menghilangkan gatal di tubuhku!"
"Huaa ha ha ha ha...Kau memang bocah yang bermental besar, tapi sekaligus tengil! " ucap Dato Hongli. "Kalau begitu, aku harus segera melenyapkan gatal di tubuhmu untuk selama-lamanya, bocah!"
Manusia misterius, atau Dato Hongli, rupanya sudah tidak sabar untuk memulai pertarungan. Dengan didahului pekikan tinggi yang disertai pengerahan tenaga dalam, tubuh yang terselimuti cahaya putih itu pun melayang secepat kilat ke arah lawan. Dalam pertarungan fisik jarak dekat ini, ia langsung melancaran satu rangkaian serangan yang sangat berbahaya. Kaki dan gerakan kedua tangannya menyasar ke bagian-bagian berbahaya dan mematikan di tubuh si bocah.
La Mudu, yang memang telah diajarkan untuk senantiasa selalu waspada dan siaga, pun tidak mau menunggu serangan mematikan itu mendatanginya. Maka dia pun segera menyambut serangan itu dengan sebuah gerakan melesat secepat kilat ke depan yang disertai satu pekikan yang melengking tinggi.
Walhasil, sekejap kemudian, kedua manusia yang sama-sama berilmu tinggi itu pun terlibat dalam satu pertarungan yang dahsyat. Gerakan kaki dan tangan keduanya demikian cepat, sehingga sulit ditangkap oleh mata orang awam.
Kedua manusia yang sama-sama memiliki ilmu kedigdayaan dan olah kanuragan yang sangat tinggi itu memperagakan jurus-jurus awal yang juga sama-sama mematikan. Tendangan dan pukulan yang disertai hawa panas saling dilancarkan satu sama lain.
"Heaatt..!"
"Heaahh..!"
Bweet, bweett..!!
Sampai beberapa jurus telah diperagakan, namun kedua petarung itu belum mampu menyarangkan pukulan maupun tendangan ke tubuh lawan masing-masing. Akan tetapi yang jelas dirasakan oleh La Mudu adalah, bahwa lawannya yang berusia sudah ujur itu sudah mulai ngos-ngosan nafasnya.
"Dasar orang tua yang tak mau mawas diri! Tenaga tinggal sisa, masih saja mau melawan anak muda..!" menggerutu La Mudu dalam hati, sembari kian menggencarkan serangan pukulan dan tendangannya. Kedua belah tangannya bergerak sangat cepat bak sebuah kitiran, sehingga mau tak mau sang lawan harus mampu membendung serangan pukulan dan tendangan si bocah yang demikian cepat itu dengan sekuat tenaga, sampai-sampai ia harus terdesak ke belakang. Namun, di luar dugaan La Mudu, tiba-tiba si orang tua misterius melesat ke atas secepat kilat, dan...
Plekk, plekk...!!
Bugh...!!
Kedua belah telinga La Mudu mendapat masing-masing satu tamparan keras, yang hampir bersamaan dengan satu tendangan keras pada punggungnya, sehingga tak ayal tubuhnya terlempar ke depan dan langsung memeluk sebatang pohon besar di hadapannya. La Mudu merasakan gendang telingan sudah pecah dan panas. Sementara di punggungnya ia merasakan seakan-akan menempel seonggok batu sebesar kepalan tangan. Sakitnya bukan main. Tertawa cekakakan yang bernada ejekan dari lawannya di belakangnya, kedengarannya jauh amat, tinggal lamat-lamatnya saja yang masuk ke dalam rumah siput telinganya. La Mudu demikian geram mendengar tawa ejekan itu. Pelan-pelan ia mengerahkan dan mengumpulkan kembali tenaga dalamnya lalu dipusatkan pada pergelangan tangannya. Ia hendak membalikkan tubuhnya dengan cepat sembari mengiblatkan satu pukulan jarak jauh ke mulut orang tua misterius di belakangnya.
Dato Hongli tentu saja sudah membaca apa yang diniatkan oleh La Mudu, yang tak lain adalah murid yang sudah dianggapnya sebagai cucunya itu. Maka ketika La Mudu membalikkan tubuhnya sembari mengirimkan serangkum angin api yang amat panas, Dato Hongli langsung mematahkannya dengan pukulan yang sama. Dan...
Bluarrr...!
Dentuman dahsyat yang disertai delombang sangat panas terjadi, menyapu bersih dedaunan dan rerantingan di sekitar itu. Tak terkecuali tubuh La Mudu. Akibat serangan pencegahan di luar perkiraannya itu, tak ayal membuat tubuhnya kembali membentur pohon yang barusan dipeluknya dengan keras. Ia merasakan seluruh tubuhnya remuk redam. Andaikata dampak ledakan itu mengenai tubuh orang awam, bisa dipastikan tewas detik itu juga dengan tubuh hangus. Namun karena tubuh La Mudu sudah terbentengi dengan kekuatan tenaga dalam tingkat tinggi, maka efeknya hanya setengah mati saja rasa sakitnya. La Mudu memeluk tubuhnya setengah membungkuk seperti orang kedinginan, yang disertai wajah meringis berlipat-lipat karena menahan sakit yang luar biasa. Naga-naganya ia benar-benar sudah payah. Karena untuk mengumpulkan kembali kekuatan tubuhnya dalam waktu yang amat singkat adalah suatu hal yang sudah mustahil. Jadi ia sudah pasrah. Pasrah menanti tindakan lawannya untuk mengakhiri riwayatnya.
"Hik hik hik hik...!"
"Hmm...??" La Mudu sontak mengangkat wajahnya. Orang tua misterius itu ternyata meninggalkan dirinya, berjalan ke arah barat, sembari megeluarkan tertawa kecil yang bernada mengejek. Di kedua belah tangannya nampak menjinjing sesuatu. Anehnya lagi, laki-laki tua itu kelihatannya berjalan biasa, tapi kecepatannya sangat luar biasa.
"Woiii...! Kenapa kau tidak jadi membunuhku, orang tua aneh!" teriak La Mudu, geram bercampur heran. Orang tua misterius atau Dato Hongli tidak menoleh, ia semakin jauh. Namun...
"Haiya...! Ato mau ngisi perut dulu, Mudu. Ato juga mau mandi, sudah tidak tahan lagi dengan bau pesing kencingmu di tubuhku. Dasar bocah nakal...!"
Kata-kata itu membuat La Mudu kaget bukan kepalang.
"Hmmm...?? Ato....?" Ternyata manusia misterius adalah Ato-nya, gurunya, Dato Hongli. Dan lebih membuat La Mudu terheran-heran, suara sahutan dari si kakek-kakek, yang membesarkannya sejak bayi, itu demikian dekat, bahkan seolah-olah memenuhi seantero rimba Sorowua. Hal, yang tentu saja hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang berilmu sangat tinggi!
"Hmmm...! Ternyata Ato sengaja ingin mengujiku..!" guman La Madu, menggeleng-geleng pelan.
"Memang iya."
"Hmm...?" La Mudu menggaruk-garuk kepalanya yang kebetulan juga gatal.
Siapakah gerangan Dato Hongli ini?
Dan siapakah pula adanya La Mudu?
Tentu kita harus menengok kembali ke masa silam dari riwayat kedua tokoh beda bangsa ini!
* * *
MARI KITA kembali dulu ke enam belas tahun yang silam... Desa Tanaru adalah sebuah desa yang cukup padat, berada di pesisir timur Pulau Sumbawa, yang letaknya berhadapan langsung dengan Pulau Sangiang. Sumber mata pencaharian warganya adalah berlaut. Namun mereka juga bercocok tanam dan beternak kerbau, kuda, dan kambing. Lahan sabana dan persawahan yang luas dan subur yang berada di belakang perkampungan, mendukung setiap usaha yang mereka lakukan. Maka tidaklah heran, jika desa Tanaru merupakan salah satu desa yang sangat makmur di negeri Babuju kala itu. Dan teknologi penangkapan ikan untuk ukuran saat itu pun cukup maju di desa ini, sehingga menghasilkan penangkapan yang berlimpah, lalu disuplay di pasar-pasar di kota raja. Ya, kedamaian dan kemakmuran benar-benar terkaruniakan kepada segenap warga desa Tanaru. Kondisi tersebut juga tak lepas dari sifat kepemimpinan galara (kepala desa) mereka, Jara Tawera alias Ompu
Saat matahari pagi telah menerangi jagat, kondisi bekas Desa Tanaru demikian mengenaskan. Mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana. Dan kondisi mayat-mayat itu nyaris serupa, yaitu gosong bersama pemukiman mereka yang sudah menjadi abu. Kepulan dan sisa-sisa api masih terlihat menyala di sana sini. Dan, entah dari arah mana datangnya, tiba-tiba sesosok manusia yang berusia cukup lanjut, berkulit putih, bermata sipit, jenggot dan kumis panjang memutih laksana sutera, seputih rambutnya yang tergelung dan diikat dengan semacam pita putih yang cukup lebar dan panjang, telah berdiri di tengah-tengah bekas perkampungan itu. "Haiya...! Benar-benar manusia biadab La Afi Sangia! Aku benar-benar merasa berdosa telah memaafkannya dulu! Biadab keparat!" bergumam laki-laki tua berjubah putih yang tak lain adalah Dato Hongli itu geram, menggeleng-geleng pelan sembari mengusap-usap janggutn
Seorang laki-laki setengah baya yang diikuti oleh seorang wanita setengah baya memasuki kamar dan mendekati Jenderal Hongli. Tampaknya mereka adalah pasangan suami isteri pemilik rumah. "Syukurlah, Tuan sudah siuman," ucap si laki-laki dengan ramahnya. "Saya di mana? Maaf, Tuan berdua siapa?" bertanya Hongli, tentu dibantu dalam bentuk bahasa isyarat. Ia kebingungan. Bingung dengan keberadaan dirinya, lebih-lebih terhadap sepasang suami-istri dengan bahasanya yang sangat asing baginya. Namun karena dibantu dengan isyarat berupa gerakan-gerakan tangan, ia bisa menangkap dan membalas ucapan mereka. Ia berusaha bangun untuk sekedar menyandarkan tubuhnya di pada sandaran tempat tidur. Tapi kondisinya begitu lemah. Ia merasakan tulang-tulang di seluruh tubuhnya seolah-olah telah remuk. "Baiknya Tuan jangan banyak bergerak dulu, " ucap laki-laki itu lagi, sambil memberi isyarat pula, se
Malam hari, Hongli mengajak La Gunta untuk cerita-cerita di pinggir pantai. Bulan purnama menerangi jagat malam, memantulkan cahaya keperakan ke permukaan lautan. Api unggun dibuat untuk sekedar menghangatkan tubuh dari terpaan udara pantai. "Bagaimana perkembangan penggemblenganmu, Gunta?" "Yeah lumayanlah, Tuan. Cukuplah untuk sekedar membela diri, " sahut La Gunta seraya sekali-sekali memasukkan potongan-potongan kayu yang dikumpulkannya di sekitar pantai ke dalam api unggun. "Sekitar tiga purnama lagi kami sudah siap untuk digabungkan dalam barisan tamtama kerajaan, Tuan." "Guru gembleng kalian pendekar dari mana?" La Gunta mengambil tempat duduk agak di samping Hongli "Beliau pendekar khusus dari asi juga, Tuan. Namanya Dato Kandili. Beliau adalah pendekar terbaik dalam Kerajaan Tambora." (Asi = istana). "Hmmm.." Hongli mengangguk
Mungkin pendekar penguji utama merasa belum saatnya untuk melawan dengan senjata sejenis. Setiap tebasan kedua parang di arahkan ke bagian-bagian tubuhnya yang mematikan, maka dengan cepat pendekar penguji menghindari sembari mengiblatkan pukulan dan tendangan dengan kecepatan tinggi. Beberapa pukulan dan tendangannya pun telak dan keras mengenai tubuh pendekar berparang kembar hingga terlempar beberapa tombak ke belakang dan terduduk. Namun, dengan semangat kejawaraan sejati, pendekar bertubuh ceking itu segera mengumpulkan kembali tenaga dalamnya, dan kembali melakukan penyerangan dengan gerakan jurusnya yang lebih lihai dan dahsyat lagi. Namun, mungkin karena tak ingin memperpanjang waktu, pendekar uji utama pun menyambut serangan itu dengan mengarahkan kedua kepalanya ke depan. Pancingannya kena. Saat pendekar berparang kembar mengarahkan tebasan kepada kedua pergelangan tangan pendekar utama, dengan cepat pendekar penguji menarik
Pertarungan antara kedua pendekar adisakti itu pun berlangsung dahsyat. Pergerakan keduanya pun demikian cepatnya, sehingga sulit diikuti oleh pandangan mata awam.Namun sebagai seorang pendekar dengan julukan besar di negerinya, Hongli bisa melihat kemampuan lawannya. Dalam jurus-jurus awal, ia sengaja bertahan dulu terhadap serangan-serangan gencar lawannya dengan gerakan supercepat dan sengaja membuat bingung lawannya. Namun saat itu ia ingat dengan peraturan tarung itu, bahwa ia akan menghadapi pertarungan-pertarungan beberapa tingkat lagi dengan jumlah lawan yang bertingkat pula, yang tentu akan membutuhkan tenaga lebih. Jadi dia harus menghemat tenaga. Maka setelah lebih dari sepuluh jurusmenghindar ia peragakan, Hongli pun memperagakan jurus serangan yang sangat cepat, sehingga membuat serangan lawannya menemui udara kosong. Sampai pada suatu momen yang tepat, yang dibarengi dengan
Paduka Sangaji tersenyum bahagia menyambut calon pemangku panglima angkatan perang kerajaannya. Beliau merentangkan kedua tangannya lalu memeluk tubuh Hongli dengan penuh keyakinan. Sang Jenateke (putra mahkota), yang duduk setengah berbaring di sebuah kursi kebesarannya karena masih sakit di sebelah kursi kebesaran ayahnya, menyambutnya dengan senyuman mengembang sambil mengangkat jempolnya kepada calon penggantinya sementara sebelum merentangkan kedua tangannya. Hongli membungkukkan badanya dan memeluk tubuh sang Jenateka. Mungkin karena terlalu erat pelukan itu dan Hongli tak mengerti di bagian tubuh mana Sang Jenateke terluka, sehingga menjadikan sang pewaris tahta Kerajaan Tambora itu terdengar menjerit tertahan. "Oh, maafkan hamba, Yang Mulia Raja Muda," berucap Hongli terkejut dan merasa bersalah. "Tidak apa-apa...." "Hongli. Nama hamba Hon
Mengingat Kerajaan Tambora sudah menjadi sebuah kerajaan yang kuat, aman, dan tenteram. Ada pun antara Kerajaan Mbojo dan Kerajaan Tambora merupakan dua kerajaan sahabat, maka segenap prajurit dari kedua dari kedua kerajaan tersebut tak jarang mengadakan latihan perang bersama, sehingga kedua kerajaan dikenal memiliki angkatan perang yang tangguh di kala itu. Dan kedua kerajaan yang bersahabat itu pun pernah sama-sama mengalami masa-masa kejayaan, ketentraman, dan kemakmuran. Mungkin karena merasa tugas dan pengabdiannya harus diakhiri, maka sang Pendekar Besar ini pun mundur dari urusan kenegaraan dan sekaligus urusan keduniawian. Tanpa seorang pun tahu, kemudian ia lenyap bagai ditelan bumi. Pencarian dilakukan oleh kedua kerajaan, yaitu Kerajaan Tambora dan Kerajaan Mbojo, pun tak pernah menemukan jejaknya. Bagaimana tidak, Dato Hongli telah memilih sebuah gua yang tersembunyi di balik dinding cadas curam yang sebuah gunung yang ber