Selena segera berlari. Ia tidak ingin semua orang melihatnya dalam kondisi seperti ini. Lemah, pucat, dan berlumuran air mata. Hanya ada satu tempat di gedung ini yang hampir tidak pernah dikunjungi orang, lantai yang paling nyaman untuk berpikir, yaitu lantai atap, rooftop. Biasanya Selena hanya kemari jika ia membutuhkan udara segar, dan hanya sekedar melihat matahari sore. Tetapi matahari sore ini bukan yang paling indah dalam hidup Selena. Karena betapa terangnya cahaya orange matahari bersinar, hatinya tidak sanggup menyembunyikan perasaan sedihnya, dadanya terasa sesak dan air matanya mengalir deras.
Bagaimana mungkin Selena bisa melupakan wajah perempuan itu? Perempuan yang melahirkannya dan juga meninggalkannya dengan menorehkan begitu banyak luka. Mengapa baru sekarang mama mencarinya? Selama 24 tahun hidupnya, mama tidak pernah sekalipun menemuinya. Mengapa harus sekarang?
Ketika Selena berumur 3 tahun, mama membawa Selena pergi dari rumah dan ketika Papa datang menjemput, Selena tidak pernah lagi melihat sosok Mama dalam hidupnya. Mama tidak pernah kembali ke rumah, bahkan hanya sekedar untuk menemuinya. Selena ingat bertapa duka mendalam ketika melihat teman-teman seusianya dijemput ibunya sepulang sekolah. Betapa iri hatinya.
Tetapi yang sungguh membuatnya bersedih adalah ketika Selena melihat Papa selalu menangis setiap malam sambil memeluk foto mama. Walaupun di hadapannya, Papa tidak pernah menunjukkan kesedihannya, tetapi kesunyian malam tidak dapat menyembunyikan setiap luka dan tangisan yang tersembunyi di dalam lubuk hati.
"Selena, Mama pergi dan Papa tidak tahu kapan dia kembali. Tapi Papa janji, Papa tidak akan pernah tinggalkan kamu. Jadi, jangan sedih,Nak. Kamu punya Papa, dan kita akan baik-baik saja," kata-kata Papa yang selalu Selena ingat ketika hal-hal buruk terjadi padanya.
"Kamu punya papa, kita akan baik-baik saja."
Sekarang kata-kata itu terdengar seperti lelucon bagi Selena, karena sekarang Papa pun sudah pergi meninggalkannya sendirian. Selena tidak yakin kalau dia akan baik-baik saja tanpa kehadiran Papa.
"Hai," sapa Raymond dari belakang Selena.
Selena segera menghapus air matanya.
"Hai, Ray. Ada perlu apa ke sini?" tanya Selena.
"Mau nambahin air. Tanaman hydroponik saya banyak yang mati kehabisan air," kata Raymond sambil menunjuk box sayur hidroponiknya di salah satu sudut atap.
"Karena kemarin ditinggalkan cukup lama, jadi air di tampungan habis dan banyak yang kering. Sesungguhnya tadi telat datang rapat karena ini sih. Keasyikan beresin ini sampai lupa waktu."
"Oh, sorry saya lupa, kamu emang suka di menghabiskan waktu di sini. Mamang kamu nanem sayur apa?" jawab Selena
"Selada, sawi, ya hanya itu sih. Nanti kalau panen berikutnya, saya bagi kamu."
Selena tersenyum tanda terima kasih.
"Ngomong-ngomong, ibu yang tadi ada di lobby titip pesan buat kamu," kata Raymond melanjutkan percakapan mereka.
"Beliau itu bilang kalau dia akan tetap datang, sampai kamu bersedia menemuinya, jadi....."
Selena hanya terdiam mendengar ucapan Raymond. Dia tidak mengeluarkan reaksi apapun, dan tampak seperti mayat hidup.
"Selena?" tanya Raymond yang melihat tatapan Selena yang kosong.
"Oh, maaf-maaf, tadi sampai mana?" tanya Selena kebingungan.
"Selena, sepertinya kamu butuh waktu sendiri. Saya tidak akan mengganggu kamu di sini, kalau begitu saya permisi dulu," jawab Raymond segera berjalan meninggalkan Selena seorang diri.
Raymond tidak tahu apa masalah Selena dengan perempuan itu. Tetapi ia tahu kalau sebaiknya ia membiarkan Selena sendiri untuk saat ini.
"Kenapa baru sekarang? Kenapa tidak ketika Selena sangat membutuhkannya. Kenapa baru sekarang?" pikir Selena penuh rasa marah.
Selena sangat merindukan ibunya. Bahkan 10 tahun lalu, ia sempat menyewa salah seorang penyidik profesional untuk mencari keberadaan ibunya. Dan Selena ingat betapa dirinya bersukacita ketika pencariannya tersebut membuahkan hasil.
10 tahun lalu, Selena berangkat sendiri ke Bandung untuk menemui ibunya. Penyidik profesional yang di sewanya menunjukkan foto ibunya di suatu alamat di Bandung. Selama perjalan kereta, tangannya selalu menggenggam undangan sweet seventeennya. Undangan yang akan diberikan kepada mama untuk datang di salah satu acara terpenting dalam hidupnya.
Selama perjalanan, Selena sudah merangkai kata-kata untuk diucapkan di depan Mama. Kata-kata dari seorang anak yang sudah lama merindukan ibunya. Kata-kata untuk mengungkapkan bahwa ia sudah memaafkan ibunya, dan siap untuk membujuknya pulang, kembali bersama Papa dan menjadi keluarga utuh dan bahagia kembali.
Tetapi kenyataan tidaklah semudah yang diimpikan. Betapa hancurnya hati Selena ketika ia melihat ibunya mencium pipi pria lain di pekarangan rumahnya. Perutnya yang sudah membesar menandakan ibunya sedang mengandung buah cintanya dengan lelaki tersebut. Maka sebelum mama sempat melihatnya kehadirannya, Selena segera berlari meninggalkan tempat itu.
Bagaimana mungkin Selena bisa melupakan hari itu? Hujan lebat yang mengguyurnya tidak terasa menyakitkan seperti pemandangan yang baru saja dilihatnya. Tetapi di hari yang penuh luka itu, Selena menemukan jawaban atas teka teki hidupnya.
"Jadi selama ini mama meninggalkan aku dan papa, hanya untuk hidup bersama pria lain."
Sejak saat itu, Selena berjanji dalam hatinya. Apapun yang terjadi, ia tidak akan pernah menemui mama lagi. Dan sampai saat ini pun, Selena masih mengingat janji yang diucapkannya 10 tahun yang lalu. Selena tidak sudi untuk menemui ibunya lagi selamanya.
Hari-hari telah berlalu, sejak Mama mencari Selena setelah sekian lama menghilang. Dan kini segalanya sudah berjalan seperti hari-hari normal bagi Selena. Wanita yang selalu mencarinya, masih datang sesekali waktu. Akan tetapi bukan Selena jika tidak pandai menghindar. Dengan bantuan Dimitri, kini pihak keamanan tidak akan pernah membiarkan wanita itu masuk ke dalam gedung, walau hanya sekedar menunggu di dalam lobby. Akan tetapi, sekeras apapun usaha pengusiran dari security, wanita itu tetap datang meski harus menunggu di luar gedung.Begitu giginya perempuan itu, hingga membuat Raymond menemani wanita paruh baya itu untuk sekedar mengobrol. Itu juga jika ia sedang berada di Jakarta. Hingga pada suatu hari keluarlah surat larangan untuk seluruh karyawan In One TV untuk berhubungan dengan wanita tersebut. Hanya berbicara, atau memberikan bantuan, akan menerima sanksi yang cukup keras."Apa susahnya sih bagi Selena untuk menemui wanita itu? Paling juga tante itu cuma mau ngomong sebent
"Jadi bos kecil putus ?" tanya Arya pada Raymond."Mana gue tahu, emang gue siapanya?" jawab Raymond mengalihkan topik pembicaraan."Kata anak-anak shift malem, mereka teriak-teriak berantem di rooftop gitu semalem. Eh, tapi kalau bener, lo yang paling seneng dong ya?" kata Arya sambil menyikut sahabatnya itu."Lah, apa urusannya sama gue?" jawab Raymond pura-pura bingung."Si bos kecil sih memang bukan urusan lu, tapi si mbaknya kan...ehm, ehm..""Ehm..ehm...apaan?""Gebetan lo...""Eh, siapa bilang?""Ya elah Mon, satu gedung In One TV juga tau, sejak si mbak itu masuk kerja di sini, lo uda naksir doi kan?""Eh, siapa bilang..?""Makanya lo mutusin Sonia, karena lo naksir dia kan? Sayang ya Mon, ternyata anak orang tajir. Kalau ga, pasti lo udah deketin dari dulu, sebelum doi jadian sama bos kecil.""Lo mabok ya? Udah ah, omongan lo makin ga nyambung. Kerja sana, gara-gara editan lo ga beres-beres, Pak Wahyu bisa marah lagi. Lo ga kasian sama kita-kita yang pasti kecepretan amarah jg
"Cepet amat? Uda balik lagi ke kantor?" tanya Pak Wahyu"Kan saya tinggal di Mess. Lagipula Mess karyawan kan deket banget dari kantor," jawab Raymond."O iya, gue lupa. Ini surat penugasan, ini kartu penanda jurnalistik, yang Arya gue titip di lo aja ya. Jangan sampe ilang, takutnya perlu. O ya, tadi Sandra sudah ngabarin, kayanya kalian nebeng pesawat TNI, mereka akan ngangkut barang dan alat-alat berat untuk bantu pencarian, sekalian juga ada beberapa reporter dari stasiun TV lain. Sekitar pukul lima sore pesawatnya akan terbang, jadi kamu coba telepon Arya, karena sebentar lagi mobil kantor bakal anterin kalian ke bandara. ""Baik, pak. O ya, reporter yang tugas bareng kita, apa sudah siap?" tanya Raymond memastikan."Oh, Selena, katanya sih dia lagi pulang ke apartemennya. Tapi sebentar lagi juga dia kesini lagi.""SELENA?" tanya Raymond kaget."Tadi Pak Dimitri yang menugaskan dia untuk pergi ke sana," jawab Pak Wahyu."Tapi, pak, seinget saya, Selena ga pernah ngeliput berita di
" Ray, Mas Arya!" sapa Selena yang sudah sampai duluan di bandara.Selena sudah rapi dengan seragam lengkap reporter In One TV. Kemeja berwana biru tua, celana panjang berwarna abu-abu muda, serta sepatu boots yang juga senada dengan celananya. Dengan koper kecil dan tas selempang kecil untuk membawa barang keperluannya. Rambut pendeknya sudah dijepit rapih ke belakang, agar tidak menutupi wajahnya yang putih dan bersih. Sedangkan Raymond dan Arya hanya memakai kaus dan celana panjang yang sudah sobek di bagian lututnya dengan ransel besar dan kumal di belakang punggung mereka."Anak news memang beda ya, bro. Kita serasa gembel kalau ada di sebelahnya," bisik Arya kepada Raymond."Hahaha," jawab Raymond menahan tawanya agar tidak terdengar Selena."Hai, Selena, sudah lama menunggu?"tanya Arya pada Selena."Lumayan, kira-kira setengah jam," jawab Selena."Maaf di jalan tadi sedikit macet," jawab Raymond."Ah, sudahlah, yang penting tidak terlambat. Ng... kalau semua sudah siap. Ayo, kit
"Belum ada kabar dari petugas tentang bagaimana nasib kita di sini," kata Raymond mengabarkan. "Sejak mendarat darurat 1 jam yang lalu, dan kini langit sudah mulai gelap, dan cuaca masih tidak bisa di andalkan. Sepertinya kita harus menginap di sini malam ini," lanjut Raymond."Mon, gue ga kuat... , perut gue sakit dan kayanya gue mulai menggigil," kata Arya sambil memegangi perutnya yang melilit."Tahan ya, Ri. Lo istirahat dulu aja, nanti gue coba hubungi pak Wahyu. Kita bisa atur lagi, apa lu bisa di anter ke kota, dipulangin ke Jakarta atau gimana. Yang jelas sekarang lo harus bertahan di sini. Nanti gue minta tolong dokter tentara buat ngeliat lo.""Thanks, Mon........eh, Selena mana?" tanya Arya."Lagi ngobrol sama Sersan Nando, dia lagi cari tahu tantang informasi pesawat dan lainnya, karena tadi sudah diumumkan, kalau diduga pesawatnya jatuh, walaupun belum diketemukan puingnya. Foto satelit juga tidak bisa diandalkan karena cuaca buruk ini. Tapi pada umumnya sih, Tim SAR dan t
Tidak lama setelah kapal mengarungi lautan, hujan kembali datang mengguyur . Angin yang tadi tampak reda dan tenang, kini mulai kembali mengamuk diiringi oleh gemuruh petir yang mulai datang menyambar."KITA HARUS KEMBALI KE PELABUHAN TERDEKAT," teriak salah satu awak kapal."SEMUA BERTAHAN DI POSISI MASING-MASING...JANGAN SAMPAI TERSAPU OMBAK..!""SIAP!"Suara angin menderu dan ombak yang meninggi sungguh menyeramkan. Kapal yang cukup besar ini mulai mengayun akibat gejolak ombak yang menggila. Seluruh kru berusaha untuk mengendalikan kapal, hanya saja alam selalu lebih kuat dari usaha manusia."Selena, kamu ga apa-apa?"Selena tidak menjawab, dan membuat Raymond khawatir."Kita harus segera keluar dari gudang ini, bahaya kalau tertimpa barang-barang," kata Raymond sambil menggandeng Selena untuk keluar dari dalam gudang.Kondisi semakin mencekam di gudang kapal, ketika semua peralatan berat mulai saling membentur satu dengan yang lainnya."Apa yang terjadi?," teriak Selena bingung."
"Cuit..cuit... ," suara burung yang menandakan matahari pagi telah terbit.Panas matahari yang menyinari pasir pantai membuat Selena mulai terbangun dari tidurnya. Matanya mulai terbuka perlahan-lahan dan betapa kegetnya Selena ketika ia menyadari dimana ia berada. Di mana ini? "Apa yang terjadi semalam?" tanya Selena dalam hati. Belum lagi kepalanya yang tiba-tiba terasa pening dan badannya penuh dengan luka memar di sekujur tubuhnya. Akan tetapi, hal paling mengagetkan Selena adalah ketika melihat Raymond tersungkur tak sadarkan diri disebelahnya."Ray, Ray,...." ujar Selena berusaha membangunkan Raymond.Raymond tidak menjawab panggilan Selena, dan membuat Selena semakin panik."RAY.... RAY.....," panggil Selena lebih keras, sambil menggoyang-goyangkan badan pria di sebelahnya."Nggggggg....." jawab Raymond menggoyangkan badannya, walau matanya masih menolak untuk terbuka.Suara Raymond cukup melegakan Selena. Setidaknya pria itu masih bisa mengeluarkan suara. "Syukurlah," kata yang
"Jadi, sekarang, yang paling penting adalah, kita harus cari tempat berteduh sebelum hujan datang," kata Raymond sambil menembus pepohonan.Selena merasa sangat bersalah, ia merasa sudah membuat begitu banyak kesulitan. Mulutnya tidak berani untuk mengeluarkan suara. Selena telah menciptakan nerakanya sendiri, bahkan dia ikut menyeret Raymond ke pulau ini. Selena sudah siap jika Raymond melampiaskan kemarahan padanya, karena ia memang patut untuk menerimanya."Hei..., hei..., Selena?" tanya Raymond sambil mengibaskan telapak tangannya ke depan mata Selena yang tampak kosong."Ii..ya...?""Kamu baik-baik saja? Apa kamu sakit? Lelah?" tanya Raymond kembali."Oh...tidak...ayo kita lanjutkan!""Kamu yakin, kamu tidak bicara apapun sejak tadi, Apa kamu benar-benar baik-baik saja? Atau mungkin lapar?" tanya Raymond penasaran."Aku baik-baik saja, jangan khawatir," jawab Selena."Maaf, sepertinya hari ini, kita hanya akan bergantung pada buah kelapa dari pinggir pantai. Biasanya kita bisa ber