Tangan Rin mulai bergetar hebat dan wajahnya sedikit memucat. Gadis itu benar-benar tak siap menerima kembali teror dan ancaman dari orang yang tak dikenal, apalagi orang misterius mencoba menyerang dirinya menggunakan Ren.Ron yang mengintip Rin dari kejauhan, mulai ikut cemas saat melihat wajah pucat Rin yang tak kunjung mengangkat panggilan telepon. Pria itu bergegas menghampiri Rin dan merebut ponsel yang masih ada di genggaman tangan Rin.Ron melirik ke arah layar dan melihat nomor kontak yang dirahasiakan oleh sang pemanggil. Tanpa basa-basi, pria itu langsung mengangkat panggilan telepon tersebut meskipun Rin mencoba untuk merebut telepon genggam miliknya.Tak lupa, Ron mengencangkan volume dan mendengarkan pembicaraan sosok misterius di seberang sana. "Halo, Nona Rin? Masih ingat aku? Bisa kita berbincang sebentar?" Ron melirik ke arah Rin dan memberikan kode agar gadis itu merespon telepon tersebut. Ron yang melihat Rin nampak panik, berusaha menenangkan Rin dengan menggengg
Ron dan Rin duduk bersama di ruang tamu dengan wajah tegang. Rin terus menatap ke arah ponselnya, berharap pesan ancaman yang ia dapatkan hanyalah mimpi yang seharusnya tidak pernah terjadi pada kehidupan normalnya."Beberapa minggu lalu aku hanyalah mahasiswi biasa yang hampir dikeluarkan dari kampus karena suatu hal yang tidak aku lakukan. Tapi sekarang, hidupku sudah berubah genre menjadi thriller semenjak kau menodongkan senjata padaku," ujar Rin dengan wajah frustasi."Kau minum saja obatmu dan beristirahatlah," cetus Ron.Kepala Rin makin pening, memikirkan keadaan sang kakak dan mempertimbangkan baik-baik perintah dari orang yang telah mengancamnya. Namun, meskipun Rin menuruti permintaan pria itu, Ron sudah telanjur mengetahui semuanya. Bagaimana dirinya bisa memenuhi perintah orang itu, sementara hal ini sudah diketahui oleh target sejak awal?"Aku ingin pulang saja," ucap Rin tiba-tiba.Ron menatap Rin dengan tatapan tajam saat
"Beri aku waktu. Em, sampai besok pagi. Bagaimana?" tawar Rin pada Ron."Untuk apa?" tanya Ron dengan dahi berkerut."Tentu saja untuk memberikan jawaban untukmu. Kau tidak ingin mendengar pendapatku tentangku?" cetus Rin."Kenapa tidak sekarang saja? Kau bisa langsung mengatakannya padaku sekarang, kan? Apa yang kau rasakan saat ini ketika kau sedang bersamaku ... bisa kau katakan sekarang, kan? Untuk apa lagi menunggu sampai besok?" tukas Ron tak ingin berlama-lama menunggu, apalagi hanya untuk sebuah penolakan."Aku tidak akan menuntut apa pun darimu. Aku hanya ingin mendengar pendapatmu tentangku," imbuh Ron.Rin terdiam sejenak, tanpa berani menimpali perkataan Ron. Memang ada beberapa hal yang ingin Rin pertimbangkan saat memberikan jawaban pada Ron. Gadis itu ingin menyiapkan jawaban yang bagus agar dirinya tak membuat Ron kecewa, jika Rin mengutarakan hal yang tidak ingin didengar oleh Ron."Kau tidak perlu mempertimbangkan apa pun, Rin. Kau cukup jawab ya atau tidak untuk per
Tring! Hari damai Rin pun kembali terusik oleh panggilan telepon dari pria yang mengancamnya. Usai memberikan informasi mengenai Ron padanya, Rin langsung dihubungi oleh pria misterius yang mencoba memperalat dirinya menggunakan Ren sebagai tawanan."Nomor tidak dikenal. Pasti ini dari orang itu," gumam Rin kemudian berlari mencari Ron sebelum mengangkat panggilan telepon."Ron? Kau di dalam? Boleh aku masuk?" Rin menggedor-gedor pintu kamar Ron, tapi sayangnya tak ada jawaban terdengar dari kamar Ron."Apa Ron tidak ada di kamar? Atau dia sedang tidur?" gumam Rin menerka-nerka.Rin menarik gagang pintu kamar Ron, dan memaksa masuk ke dalam ruangan pribadi pria dingin itu. "Ron? Kau di dalam?" Terdengar suara gemericik air yang menandakan kalau Ron tengah berada di kamar mandi. Rin pun segera melangkah menuju kamar mandi dan mengetuk pintu kamar kecil itu."Ron, kau di dalam, kan? Ada telepon penting yang masuk! Aku membutuhkanmu!" pekik Rin di luar kamar mandi.Ron mengusap wajahnya
"Sial! Aku tidak bisa mendengar apa pun!" gerutu Ron yang kini tengah berdiri di depan pintu kamar Rin, sembari menempelkan telinganya ke pintu untuk mencuri dengar pembicaraan Rin dengan sang kakak.Pria yang masih berselimutkan handuk itu tengah berusaha keras "menguping" dengan konsentrasi penuh, tapi sayangnya Ron tak dapat mendengar informasi apa pun dari pembicaraan Rin di telepon."Awas saja kalau kau merencanakan hal yang tidak-tidak dengan pria brengsek itu!" oceh Ron sembari meremas handuk yang melilit tubuhnya.Cklek! Tiba-tiba Rin membuka kunci pintu kamar disaat Ron masih berdiri di depan kamar Rin. Pria itu langsung kalang kabut melarikan diri sebelum Rin membuka pintu kamar dan melihat dirinya."Dari mana Ren tahu kalau aku dan Ron cukup dekat? Pria itu juga tahu kalau aku dan Ron memiliki sesuatu," gumam Rin bingung. "Apa mereka mengawasiku dan Ron dari jauh? Atau ada orang dalam yang menjadi mata-mata dan memberikan informasi pada pria itu?" oceh Rin.Rin berjalan men
Di sebuah kamar hotel mewah, nampak seorang pria dengan kaos polos tengah duduk di ranjang besar sembari menatap sendu sebuah foto yang terpampang di layar ponsel.Pria itu mengusap lembut layar ponselnya, menatap sesosok gadis cantik yang tersenyum manis, yang tak lain ialah Rin.Ya, pria itu adalah Ren, kakak dari Rin. Sesuai dengan dugaan Ron, Ren yang tadinya seorang tawanan dan tinggal di sebuah gudang, kini beralih mendapatkan perhatian istimewa dari pria misterius yang menawan dirinya.Selaras dengan perkiraan Ron, Ren memang menyimpan banyak rahasia besar dari klien-klien berbahaya yang menggunakan jasanya sebelumnya.Tok, tok! Waktu bersantai pria itu pun tak berlangsung lama, karena gangguan yang tiba-tiba muncul. Seorang pria bertopeng masuk ke dalam kamar Ren dan menyapa pria itu dengan sopan."Kau menyukai kamar barumu? Setelah tidur di gudang, tentu tidurmu bisa kembali nyenyak di sini, kan?" cetus seorang pria bertopeng yang menawan Ren.Tak lagi tidur di gudang, kini p
"Akhir-akhir ini kau terus melamun," tegur Ron pada Rin yang tengah duduk termenung seorang diri di bangku halaman rumah.Rin sontak menyadarkan diri dari lamunan, kemudian menoleh ke arah Ron yang tengah memegang dua kaleng soda. "Minumlah! Kau sepertinya perlu menyegarkan pikiran," cetus Ron.Rin mengulas senyum tipis, kemudian menyambut minuman dingin yang diberikan oleh Ron. "Terima kasih!" ucap Rin."Apalagi yang kau cemaskan? Ada yang mengganjal di pikiranmu?" tanya Ron menemani Rin berbincang di malam yang dingin itu.Rin meneguk minuman kaleng soda itu, kemudian mulai membuka suara. "Aku hanya merasa aneh saja. Pria itu tidak lagi menghubungiku. Dia tidak lagi membahas mengenai mengenai Ren dan informasi yang dia inginkan darimu. Aku takut ... terjadi sesuatu pada Ren," terang Rin dengan perasaan kalut."Ren sudah menghubungimu kemarin, kan? Dia baik-baik saja, kan?" tukas Ron."Memang benar kalau Ren baik-baik saja," ujar Rin. "Tapi tetap saja ... aku takut ada sesuatu yang t
"Sebelum kita pulang ... bagaimana kalau kita pergi berlibur bersama? Berkeliling kota untuk yang terakhir mungkin?" ajak Ron ragu-ragu pada Rin.Ron sudah membulatkan tekad akan pulang ke negara asal bersama dengan Rin. Pria itu sudah tak ingin lagi melarikan diri dari teror, dan akan berusaha menangkap dalang dari peneroran yang dialaminya selama ini."Berlibur?" tanya Rin dengan dahi berkerut."Em, anggap saja ini sebagai ... kenang-kenangan perjalanan pertama kita. Kita tidak bisa mengunjungi banyak tempat karena kau masih diganggu oleh peneror itu, kan?" cetus Ron. "Sekarang kau sudah tidak lagi diganggu oleh orang itu. Kau bisa menikmati waktu liburan kita sejenak dengan nyaman."Setidaknya Ron ingin memberikan kenangan yang berkesan bagi Rin di liburan pertama gadis itu di luar negeri. Ron juga ingin menjadi bagian dari ingatan yang menyenangkan bagi Rin selama mereka bisa menghabiskan waktu untuk bersama."Kapan kita akan pulang?" tanya Rin mengalihkan pembicaraan."Lusa mungk