Hari ini nasib Basti tak jauh lebih sial dengan Raline. Mereka sama-sama pergi mencari pekerjaan, tapi sama-sama gagal.
Hanya saja Raline pulang lebih awal dari pada Basti yang pulang setelah jam makan malam sudah lewat.
Basti terlihat kusut malam ini. Dia pulang dalam keadaan yang cukup memprihatinkan setelah tadi sempat terkena sasaran amukan seorang pengendara bermotor yang kesal padanya karena menyeberang jalan sambil melamun.
Alhasil, dia mendapat tanda mata dari si pengendara motor berupa bogem mentah di pelipis kirinya.
"Ya ampun Bas, pipi kamu kenapa biru begini?" tanya Rani yang langsung berhambur ke arah Basti saat menantunya itu muncul dari balik pintu.
"Nggak apa-apa Bu," jawab Basti pelan lalu permisi untuk masuk ke dalam kamarnya.
"Makan dulu, Bas?" ucap Rani lagi sebelum Basti benar-benar pergi.
"Iya, Bu. Basti mau mandi dulu,"
Sebelum masuk ke dalam kamar, Basti sempat mendengar percakapan antara Ibnu dan Rani di ruang Tv.
"Nanti kita cari jalan keluarnya Bu. Kita pinjam uang di Bank saja. Soalnya, karena kejadian itu Bapak jadi di pecat dan harus ganti rugi juga. Orang yang Bapak tabrak itu mau menuntut melalui jalur hukum kalau Bapak tidak menyanggupi biaya ganti rugi yang dia ajukan,"
"Jahat sekali dia. Padahal dia tahu Bapak cuma supir taksi, kok bisa-bisanya dia meminta uang ganti rugi sebanyak itu?" ungkap Rani dengan nada sedih, bingung, bercampur marah.
Basti merasa penasaran dengan masalah yang sedang dihadapi Bapak dan Ibu mertuanya itu. Tapi, kalaupun dia tahu apa masalah yang kini sedang dihadapi ke dua Ibu dan Bapak mertuanya itu, dia sendiri tidak akan bisa membantu. Jadi, lebih baik dia diam dan berpura-pura tidak tahu saja.
Akhirnya, Basti pun memilih untuk masuk ke dalam kamarnya, di mana Raline sedang menerima telepon. Basti sempat melihat Raline tertawa di telepon itu, meski tawa itu kian memudar seiring kehadiran dirinya di kamar itu. Bahkan, Raline justru memilih keluar tanpa sedikit pun perduli pada wajah suaminya yang bonyok serta kemeja putih Basti yang kotor dan kusut.
"Iya-iya sebentar Mas, aku mau pindah dulu," ucap Raline pada lawan bicaranya ditelepon tepat saat dia berjalan melewati Basti.
Setengah jam berlalu, Basti sudah selesai mandi dan dia sengaja menunggu Raline masuk ke dalam kamar. Sepertinya, dia perlu bicara serius dengan Raline malam ini.
Tak lama setelah itu, Raline terlihat masuk ke dalam kamar dengan senyuman yang sempat terukir di wajah manisnya. Meski senyuman itu tak bertahan lama dan langsung memudar begitu tatapannya tertuju pada lelaki yang kini resmi menjadi suaminya.
"Kamu habis teleponan sama siapa?" tanya Basti dengan nada suaranya yang dia usahakan selembut mungkin. Padahal dalam hati, Basti tahu dia sedang dilanda rasa cemburu. Hatinya terbakar saat dia harus mendengar pembicaraan Raline di telepon itu.
Sebab, beberapa menit yang lalu saat dia baru saja keluar dari kamar mandi, Basti sempat menguping pembicaraan Raline di belakang rumah. Dan amarah Basti semakin nyata ketika dirinya harus mendengar Raline yang memanggil lawan bicaranya di telepon dengan panggilan Mas.
Apa-apaan?
"Lin, kamu habis teleponan sama siapa tadi?" tanya Basti mengulang pertanyaannya yang tak kunjung di jawab oleh Raline. Wanita itu justru sibuk mengetik-ngetik sesuatu pada ponsel di tangannya sambil menyambungkan charger ponsel itu ke stop kontak. Raline duduk di tepi jendela kamarnya.
Basti yang kesal karena merasa di acuhkan jelas tidak mau tinggal diam. Dia mengambil ponsel di tangan Raline secara paksa. "Aku bicara sama kamu, Lin! Tolong hargai aku sedikit!" katanya dengan nada yang mulai meninggi. Emosinya mulai terbaca oleh Raline.
"Hargai?" Raline tertawa hambar dengan wajah yang melengos cuek. Seolah-olah apa yang baru saja dikatakan suaminya adalah hal yang lucu. Sangat lucu, bahkan. "Setelah apa yang kamu lakukan padaku, lalu kamu bilang aku harus menghargai kamu? Kamu sedang melawak apa sedang mengigau? Hah?" teriak Raline tepat di depan wajah Basti. Mata wanita itu melotot dengan tatapan sarat emosi. Ke dua sisi rahangnya mengeras.
"Tapi aku suamimu sekarang, Lin," bahu Basti merosot seketika. Suaranya kali ini terdengar lemah. Selemah dirinya yang memang tak memiliki daya apapun saat ini. Harga dirinya sebagai kepala rumah tangga benar-benar tak bisa dia pertahankan. Basti sadar, kesalahan yang telah dia lakukan memang sudah sangat fatal. Tapi, entah mengapa, relung hatinya menentang keras hal itu. Ada sebagian dalam dirinya yang mengatakan bahwa bukan dia pelakunya. Bukan dia yang sudah memperkosa Raline. Meski, hal itu tidak bisa dia buktikan. Basti benar-benar terjebak dalam dilema yang berkepanjangan. Dilema yang membuatnya hampir putus asa.
"Lalu? Kamu mau apa dariku sekarang?" tanya Raline menantang. Dagunya terangkat ke atas. Dia menatap Basti dengan penuh keberanian. Bahkan kini, Raline terlihat mulai membuka satu persatu kancing baju teratasnya. "Kamu mau tubuhku? Kamu mau aku menunaikan kewajibanku sebagai seorang istri? Iya? Oke, akan aku lakukan!"
Basti berjalan mundur karena Raline kini terus berjalan maju ke arahnya, hingga akhirnya, langkah Basti terhenti saat tubuhnya mentok di pintu kamar.
Raline sudah membuka kaus hitamnya dan menyisakan bra merah yang menutupi payudaranya yang ranum dan begitu menggiurkan. Tatapan amarahnya kian menjadi-jadi. Menguliti setiap jengkal wajah laki-laki bajingan dihadapannya. Jika memang dia harus menjadi seorang pelacur, Raline akan melakukannya malam ini. Bukankah harga dirinya sudah hancur berantakan, terkoyak hingga ke akar-akarnya. Bagi Raline tubuhnya kini sudah tak lebih dari sebuah barang yang bisa di nikmati sesuka hati. Tak berharga. Tak bernilai sama sekali. Jadi untuk apa dia malu?
Manusia biadab ini sudah meluluhlantahkan harga dirinya, kehormatannya sebagai seorang wanita. Sampai Raline sempat berpikir bahwa dirinya kini hampir gila.
Gila karena terus menerus larut dalam kesedihan yang sama.
Di saat dia tahu, bahwa dirinya telah di nodai oleh laki-laki yang jelas-jelas begitu dia cintai selama ini. Satu-satunya laki-laki yang telah mendiami relung hatinya yang kosong dan telah tinggal di sana untuk waktu yang cukup lama. Satu-satunya laki-laki yang dia harap bisa menjadi tumpuan harapan manis dalam kehidupannya di masa depan.
Hingga pada saatnya, Raline terbangun dari semua mimpi-mimpi indahnya itu. Dia terbangun, dalam keadaan yang begitu mengenaskan. Dia terbangun, saat mahkota sucinya telah di renggut secara paksa bahkan tanpa permisi. Dan sejak itulah, seluruh perasaan cintanya pada Basti musnah seiring dengan pupusnya asa yang terganti oleh perasaan benci yang tiada tara.
Raline memang mencintai Basti, tapi dia tetap tidak bisa menerima kenyataan jika Basti harus memperlakukan dirinya serendah itu.
"Ayo jamah aku! Ayo perkosa aku seperti waktu itu! Sekarang kamu bisa melakukan apapun terhadapku, Bas! Nggak akan ada yang menyalahkanmu! Ayo! Lakukan!" perintah Raline lagi. Teriakannya bahkan terdengar keluar.
Rani dan Ibnu hanya bisa menangis mendengar teriakan anaknya dari dalam kamar.
"Bukan aku pelakunya, Lin! Bukan aku yang memperkosa kamu! Harus berapa kali lagi aku bilang?" ucap Basti pada akhirnya.
Basti memungut pakaian Raline yang tercecer. "Pakai baju kamu, Lin!" perintah Basti seraya melempar tank top Raline ke arah wanita itu. Sebenarnya Basti sendiri tidak ingin munafik. Sebagai seorang suami jelas dia menginginkannya. Dia ingin Raline malam ini. Tapi, bukan atas dasar keterpaksaan wanita itu. Basti tidak ingin menjadi laki-laki egois yang mementingkan nafsunya daripada perasaan wanitanya sendiri. Basti ingin, seandainya memang hal itu harus terjadi, semua atas kehendak Raline sendiri. Basti berharap Raline bisa benar-benar menerimanya.
Basti mencoba menghindar. Dia memalingkan wajahnya dari hadapan Raline sebelum dia benar-benar dibakar hasratnya sendiri. Sungguh, perasaan ini sangat menyiksanya.
"Kalau memang bukan kamu pelakunya, lalu untuk apa kamu bersedia menikah denganku? Kamu kan anak dari Ibu Helen yang terhormat dan berkuasa, kenapa kamu nggak menyewa pengacara untuk membebaskanmu dari hukuman penjara? Kenapa, Bas?" Raline memakai kembali tank topnya. Air mata wanita itu mulai menggenang.
"Harus aku menjawab kenapa?" ucap Basti dengan suaranya yang mulai terdengar parau. Bola mata coklat maroon laki-laki setengah bule itu mulai berkaca-kaca. Dia kembali menatap ke arah Raline.
Raline terdiam untuk beberapa saat. Dia mencoba mencerna kembali pertanyaanya sendiri. Dan menerka kemungkinan yang akan di ucapkan oleh Basti. Meski setelahnya dia berusaha untuk tidak benar-benar perduli. Sebab alasan apapun yang akan di ucapkan oleh Basti, tak akan mampu melunturkan perasaan bencinya terhadap laki-laki itu.
"Aku cuma mau kamu yang dulu, Lin. Aku rindu Raline yang dulu. Raline yang periang dan selalu menjadi alasanku untuk tersenyum. Aku cuma mau kamu melupakan kejadian itu. Kita mulai semuanya dari awal. Cuma kamu dan aku. Aku mau kamu terima aku apa adanya, Lin... Itu aja," Basti kembali berbalik dan menatap Raline yang kini berdiri dengan wajah yang terus menunduk. Basti tahu, Raline sedang menangis.
"Aku mencintaimu, Lin. Aku nggak mau kamu menjalani kehamilanmu tanpa seorang suami. Aku nggak mau kamu, Ibu dan Bapak malu akibat kehamilanmu itu. Itulah sebabnya, aku memilih untuk pergi dari rumah dan terpaksa meninggalkan segalanya. Mengenai masalah uang tabungan kuliahmu yang terpakai untuk biaya pernikahan, aku janji akan menggantinya secepat mungkin. Aku akan berusaha untuk segera mendapat pekerjaan. Aku yang akan membiayai kuliahmu nanti, Lin..." Basti mulai berjalan mendekat ke arah Raline. Meski dia belum memiliki keberanian untuk menyentuh tubuh istrinya.
Detik dan menit berlalu, mereka masih saling diam dalam kebungkaman masing-masing. Masih saling merenungi apa yang seharusnya dilakukan.
Hingga setelahnya, wajah Raline perlahan mulai terangkat. Mata hitam wanita itu terlihat sembab dan sedikit memerah. Ditatapnya Basti dalam-dalam. Seolah mencari kebenaran atas apa yang baru saja laki-laki itu katakan.
"Maaf, Bas. Apapun alasan yang kamu katakan, hatiku tetap nggak bisa menerimanya. Kejadian malam itu seolah mendarah daging di dalam diriku, bahkan setiap kali aku memejamkan mata, aku seolah melihat siluet kejadian malam itu dengan begitu nyata! Kesakitanku malam itu sungguh tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, Bas... Aku hancur Bas..." Raline menelan salivanya yang terasa pahit. Kejadian itu sungguh menyisakan trauma mendalam bagi diri Raline. Sulit baginya untuk melupakan semuanya. Terlebih, dengan keberadaan Basti di sisinya sekarang.
"Apa yang bisa aku lakukan supaya kamu bisa melupakan semuanya, Lin? Apa yang bisa aku lakukan supaya aku bisa melihat Raline yang dulu kembali," tanya Basti dengan penuh keyakinan. Dan apapun jawaban Raline, dia akan mengabulkannya. Jika memang itu yang terbaik.
"Menghilanglah dari pandanganku, Bas... Untuk selama-lamanya..."
Dan Basti pun tertegun.
Keesokan harinya, Basti memutuskan untuk pergi ke luar kota. Setelah semalam, dirinya dan Raline sudah membuat kesepakatan bersama.Meski setelahnya Basti menyesali kesepakatan itu.Basti tidak memiliki pilihan lain. Jika itu satu-satunya jalan keluar yang terbaik bagi Raline, Basti tidak bisa berbuat apa-apa. Bukankah tujuan Basti adalah membahagiakan Raline?Jika dengan menjauh dari hadapan Raline bisa membuat Raline bahagia, maka Basti akan melakukannya. Walau dia sendiri belum yakin dengan apa yang akan dia lakukan di Makassar nanti, karena sebelumnya Basti memang belum pernah ke sana. Dan alasan yang membuat Basti memilih Makassar sebagai tujuan persinggahannya, karena di sana dia memiliki kerabat yang bisa dia jadikan tumpuan hidup, sebelum dia benar-benar m
"Ini, Bu rumahnya," beritahu Hans pada sang majikan. "Saya masuk duluan ya, Bu?" ucap lelaki itu lagi.Setelah mendapat komando,Hans keluar dari dalam mobil dinas yang dikendarainya. Sebuah mobil dinas milik seorang wanita paruh baya berparas cantik yang kini menjabat sebagai Gubernur DKI. Hans melangkah masuk ke dalam rumah yang dia maksudkan tadi.Seorang wanita berseragam dinas harian bermotif batik dengan sebuah jilbab maroon yang terlilit rapi di dalam kerah bajunya terlihat melongok dari dalam mobil dinasnya. Dia memperhatikan Hans yang kini sedang mengetuk-ngetuk pintu rumah dihadapan mereka sambil mengucapkan salam.Seorang laki-laki berjas hitam dengan potongan rambut cepak terlihat keluar dari dalam mobil lain di belakang mobil Dinas Toyota land cr
Malam ini, keluarga Kisyan kembali kedatangan tamu. Rumah sederhana itu terlihat ramai oleh tamu-tamu mereka."Ini, nih Mah, yang namanya Aksel. Dia ini anak Pak Johanes, rekan usaha Papa di Jakarta dan ini Kakaknya Aksel, namanya Marcel. Dia ini stylish jebolan The John's Salon. Jago make over dan sudah terkenal namanya di kalangan artis-artis ternama sekarang, Mamah mau di make over nggak sama Marcel, biar tambah cantik?" jelas Narendra, suami Kisyan. Dia melirik genit ke arah Kisyan yang langsung mencubit perutnya.Kisyan berkenalan dengan Aksel dan Marcel."Aksel ini masih kuliah atau sudah bekerja juga?" tanya Kisyan setelah dia mempersilahkan para tamu-tamunya itu untuk duduk."Aku sekarang, bekerja sebagai kru film Tante. Sebagai Casting Director," jawab Aksel dengan suara bassnya."Wah, Om Aksel sering ketemu
Satu bulan kemudian...Kisah RalineSatu bulan belakangan cukup menjadi waktu yang panjang bagi Raline melewati masa-masa sulit dalam hidupnya. Saat dirinya harus terpaksa berlelah diri mencari pekerjaan dalam keadaan hamil muda.Bahkan tanpa adanya peran suami di sisinya.Namun, semua ini terjadi atas kehendak Raline sendiri. Meski terkadang, ada saatnya dia merasakan kerinduan menusuk relung hatinya yang terdalam.Basti telah benar-benar mengabulkan permintaan Raline untuk menghilang dari pandangannya. Laki-laki itu pergi bahkan tanpa dia berpamitan pada Raline."Lin, Raline?" teriak Rani dari luar rumah. Wanita sete
Perjalanan dari London menuju Indonesia cukup melelahkan.Seorang laki-laki berperawakan tinggi menjulang dengan kostum santai ala ABG kekinian terlihat berjalan keluar dari arah pintu kedatangan luar negeri. Dia menarik kopernya perlahan ke arah luarBandara Soekarno Hatta.Empat tahun ternyata cukup membuatnya merasa asing dengan tanah airnya sendiri. Kehidupannya yang serba bebas di London cukup menjadikannya pribadi yang berbeda.Dia bukan laki-laki sepolos dulu yang bahkan tidak tahu rasa dan caranya berciuman.Dia bukan laki-laki selugu dulu yang kesehariannya hanya dia habiskan untuk belajar dan berkutat mencari uang di jalanan.Dia bukan laki-laki sebodoh dulu yang cuma bisa menangis saat hatinya tersakiti karena cintanya yang bertepuk sebelah tangan.Kini, dia adalah seorang laki-laki dengan segala kepribadian yang sempurna. Bermodalkan gelar master yang dia peroleh saat ini, dia percaya bahwa hidupnya akan berubah seratus delapa
Malam ini, Rani dan Ibnu sungguh di buat terkejut dengan kepulangan Basti ke rumah setelah hampir satu bulan lebih laki-laki itu berpamitan untuk mencari pekerjaan ke luar kota.Kedatangan Basti di sambut baik oleh ke dua Ibu dan Bapak mertuanya. Malam itu, Basti membawa banyak barang belanjaan sebagai buah tangan untuk seluruh keluarga Raline. Meski, kedatangannya kali ini hanya untuk mengantar sebuah berita buruk.Surat perceraiannya dengan Raline sudah di tangan, namun belum dia tanda tangani. Entah kenapa, rasanya berat sekali bagi Basti untuk melepaskan Raline. Dia tidak perduli jika dia harus di anggap sebagai seorang laki-laki yang telah ingkar janji, tapi Basti terus berpikir dan mencari cara untuk memecahkan masalah ini tanpa harus ada kata cerai. Hingga akhirnya dia pun memutuskan untuk pulang.Sebelum Basti benar-benar menandatangani surat itu, ada baiknya dia kembali memastikan apa Raline masih tetap pada keputusannya untuk bercerai, atau mungkin ada se
"Aku ke sini cuma mau mengantar surat perceraian kita, Lin..." ucap Basti memecah keheningan yang tercipta di antara dirinya dan Raline sejak lima belas menit yang lalu, sekembalinya sang istri dari kamar mandi.Suasana kian terasa semakin canggung, persisnya setelah insiden tadi. Sebuah insiden yang hampir saja membuat Basti kehilangan kendali dan lepas kontrol, karena saking takjubnya melihat pemandangan indah yang terpampang jelas didepan mata kepalanya sendiri. Sebuah ketidaksengajaan yang memanjakan mata dan menyegarkan pikiran."Tapi aku belum menandatangani berkas itu. Dan alasan aku datang ke sini malam ini, aku cuma mau memastikan lagi, apa iya kita ini memang harus bercerai Lin? Apa nggak ada jalan keluar lain untuk menyelesaikan masalah kita selain bercerai?" lanjut Basti lagi. Dia mulai mengutarakan niat utamanya kenapa dia kembali mendatangi rumah Raline. Sungguh
Raline tahu saat kejadian pemerkosaan itu dirinya tidak benar-benar kehilangan kesadaran. Dia masih bisa mendengar suara-suara di sekitarnya meski samar. Dia masih bisa melihat meski hanya dalam bayang-bayang. Terlebih dia bisa merasakan, saat sesuatu tengah merobek liang senggamanya secara paksa. Menyiksanya tanpa ampun dengan hentakan-hentakan kasar dan penuh keberingasan. Tanpa mereka perduli dengan rintih kesakitan yang terus di teriakan oleh Raline. Suaranya yang sangat pelan jelas tak mampu menyaingi bunyi berisik di dalam ruangan bercahaya redup itu. Dan pada akhirnya, hanya air matalah yang menemani. Seiring berjalannya waktu yang saat itu terasa sangat panjang bagi Raline. Sampai pada saatnya, Raline merasa tubuhnya kehilangan tenaga dan semakin melemah. Hingga setelahnya, Raline benar-benar kehilangan kesadaran dan tak tahu lagi apa yang