Malam sudah semakin larut, jam di dinding bahkan telah menunjukkan pukul 23:00. Tapi Avani, masih belum bisa memejamkan mata. Pikirannya masih carut marut dipenuhi berbagai pertanyaan, terutama setelah apa yang terjadi antara dirinya dengan Rin Leung, di padang bunga sore tadi.
Kini, satu per satu pertanyaan mengenai siapa Rin Leung, mulai muncul di benaknya, dan entah bagaimana, pertanyaan-pertanyaan itu muncul secara otomatis di otaknya, tanpa bisa ia cegah. Ini membuatnya gelisah dan sulit tidur.
"Apa dia benar-benar menyukaiku?" tanya Avani pada dirinya sendiri. "Ini pertama kalinya seorang pria begitu blak-blakan menyatakan cintanya padaku.
"Iihhh... aku bahkan masih merinding jika mengingatnya," ucap Avani sembari bergidik.
Gadis cantik itu, lalu memiringkan tubuhnya ke sisi kiri, sembari menggigit ujung kukunya.
"Tapi, apa pria di Oxford itu benar-benar dia?" Avani terlihat ragu. "Tapi memang terlihat sama," belanya.
Avani duduk bersandar diatas tempat tidur, sembari mengenakan selimut tebal menutupi tubuhnya. Ia letakkan album foto besar itu di atas bantal, lalu mulai melihat satu per satu foto yang ada di dalamnya dengan penuh antusias. Avani tersenyum kecil begitu membuka bagian awal photobook, yang penuh berisi dengan foto masa kecil Rin Leung. Dengan pipi chubby, kulit putih dan mata berwarna hijau tosca, Rin Leung kecil tampak sangat lucu dan menggemaskan. "Wah, dia terlihat sangat menggemaskan," seru Avani saat melihat deretan foto Rin Leung berseragam kindergarten. Tak sabar, ia segera membuka halaman photobook berikutnya yang penuh berisi foto masa kanak-kanak Rin Leung. Terlihat deretan foto Rin kecil membawa botol minuman, sedang berpose bersama seekor kura-kura besar di sebuah kebun binatang. "Wajah tampannya sudah terlihat sejak kecil," komentar Avani saat melihat foto-foto itu. Usai melihat foto itu, perhatian Avani langsung teralihkan pada foto Rin kecil bersama Ayah ibunya
Asisten Eri kembali ke Lotus Hall seorang diri, setelah meninggalkan Maeera sendirian di tepi trotoar kota Bulan. Ia kembali ke mansion mewah itu untuk menemui bosnya, Gin Yuta. Berada di kediaman utama, pria berkacamata itu terlihat berjalan terburu-buru masuk ke sebuah ruangan besar di lantai dua mansion. Sebuah ruangan besar nan mewah bergaya modern, dengan desain home office, berdinding panel kayu warna cokelat, dengan langit-langit plafon berwarna putih. Sebuah meja kerja lengkap dengan segala pernak perniknya, terlihat membelakangi rak dinding dari kayu jati berwarna cokelat tua yang berisi buku-buku tebal dan tertata rapi. Sebuah laptop mahal, tampak masih menyala di atas meja, saat asisten Eri berjalan masuk ke ruangan tersebut. Sang pemilik rumah, Gin Yuta, terlihat sedang duduk di sofa panjang, menghadap ke arah laut sembari menyeruput teh hangat dari cangkirnya. "Bagaimana? Apa kalian pergi ke rumah sakit?" tanya Gin begitu mendengar derap langkah kaki Eri mendekat
Gelisah, Maeera seharian merasa gelisah. Hatinya tak tenang, pikirannya belingsatan, ia masih belum bisa berpikir jernih jika belum mendapat jawaban pasti mengenai apa terjadi. Apakah Gin sudah tau siapa dirinya yang sebenarnya atau tidak. Dengan perasaan tak menentu, ia mondar-mandir mengitari kamar besar itu sembari terus menganalisa semua kemungkinan yang mungkin saja terjadi. "Jika dia sudah tau aku bukan istrinya, kenapa dia masih bersikap baik padaku?" Maeera mencoba mencari jawaban lain dari apa yang terjadi. "Atau jangan-jangan asisten Eri masih belum memberitahunya?—" Maeera tersenyum senang "—Jika ya, sebaiknya aku segera berkompromi dengan asisten Eri?" ujar Maerra sembari mencoba mencari sesuatu untuk berkomunikasi dengan asisten Eri, tapi sadar ia tak memiliki ponsel. "Tapi, aku tidak bisa bertemu dengannya jika tidak pergi ke kantor, Arrggghh... " keluh Maeera lalu membanting dirinya ke atas sofa. Ia benar-benar putus asa. "Apa yang harus aku lakukan jika pria buta
Menahan rasa takutnya, Maeera mulai memainkan ujung kukunya, menggesekkan kedua kuku jarinya dengan gerakan yang sangat cepat tanpa jeda. Ia gelisah sangat gelisah. Bibir pucatnya tampak gemetar, dengan telapak tangan mulai terasa dingin. Ia takut, sangat-sangat takut. Lebih takut dibandingkan saat di teror oleh para rentenir penagih hutang. "Kenapa diam," seru Gin. "Apa pertanyaanku kurang jelas, aku bertanya padamu, apa kau tak penasaran kenapa aku masih tetap membiarkanmu tinggal di sini?" tanya pria bermata biru itu dengan nada suara yang sedikit lebih tinggi. Maeera tak bergeming, ia masih tetap mematung tanpa memberikan respon apapun. Ia masih bergelut dengan pikirannya dan rasa takutnya. Rasa takut yang bermuara dari rasa bersalahnya pada Gin Yuta. Ia merasa berdosa telah membohongi pria buta itu. Menghancurkan pernikahannya dan tak pernah jujur mengatakan bahwa ia bukan Avani. Andai ia jujur, mungkin semua tak akan serumit ini. Kini ia di hadapkan pada dilema, menga
Gin mengernyitkan dahinya mendengar perkataan Maeera. Ia tak percaya jika gadis miskin itu tak menginginkan apa-apa, disaat ia terang-terangan menyembunyikan cincin berlian pernikahannya. "Benarkah kau tak menginginkan apapun?" tanya Gin sembari melepas pelukannya, kemudian berjalan menjauhi Maeera menuju jendela besar yang menghadap ke laut. "Kalo kau tak menginginkan apapun, kenapa kau berpura-pura menjadi Avani, "Gadis miskin sepertimu, berani-beraninya kau berpura-pura menjadi istriku. Kau pikir, karena aku buta, kau bisa membohongiku," cerca Gin. Maeera hanya diam mendengar omelan suami palsunya. Ia tak memberi sanggahan apa-apa. "Kenapa hanya diam? Takut?!!" cibir Gin. "Tenang saja,aku tak akan memasukkanmu ke penjara," ujarnya sembari menatap kosong deburan ombak Samudra Hindia melalui mata butanya. "Aku hanya akan memastikan, kau—Maeera—tak akan pernah hidup bahagia." Ia menoleh ke arah gadis manis itu. "Kau telah menghancurkan pernikahanku, maka aku juga akan mengha
Avani Lie terbangun dengan perasaan campur aduk memikirkan siapa Rin Leung sebenarnya. Kini ia sangat penasaran dengan masa lalu pria keturunan Cina-Amerika itu, terutama setelah ia melihat album foto lawas milik pria berandal itu. Di atas tempat tidur, meski matanya telah terbuka, tapi Avani masih malas untuk bangun. Ia masih merasa lelah setelah tidur hanya beberapa jam saja. Perlahan kini ia mulai merasa nyaman tinggal di kastil besar ini. Jauh dari hiruk pikuk kota dan selalu dapat menikmati indahnya pantai tropis Samudra Hindia. "Pagi," sapa Rin yang muncul tiba-tiba dari balik pintu yang tertutup. Terlihat ia datang membawa nampan berisi semangkuk bubur dan segelas susu, serta sebuah medical box. Tak seperti biasanya, hari ini Avani tersenyum melihat kedatangan Rin. Entah mengapa, saat melihat pria berandal itu, kini yang tampak adalah Rin Leung kecil dengan pipi chubby, imut dan menggemaskan. "Pagi," balas Avani. Perlahan ia bangun dari tidurnya kemudian duduk bersand
Kastil besar itu selalu tampak garang, Sango Side Manor, selalu nampak garang. Dibangun dengan gaya gotic menggunakan batu-batu alam sebagai pondasi dasarnya, kastil megah itu berdiri kokoh di tengah kepungan ombak Samudra Hindia.Jika kau pernah melihat kastil-kastil kerajaan Eropa abad pertengahan, seperti itulah bentuk fisik Sango Manor. Besar, megah, dengan atap-atap bangunan berbentuk runcing dan vertikal menjulang ke atas.Di antara suara deburan ombak Samudra Hindia, sayup-sayup terdengar bunyi Mercusuar meraung-raung dari kejauhan. Pasti sebuah kapal asing tengah mendekat ke pulau itu. Dan benar saja, tak lama sejumlah pria berbaju hitam dengan dandanan bak perompak kapal, berlarian menuju speedboat yang terparkir di dermaga.Mereka berlari sembari membawa senjata api laras panjang yang di sandang di bahu kiri. Tergopoh-gopoh, para pria itu berlarian menuju speedboat kemudian memacu motor air itu dengan kecepatan maksimal. Dibangun di atas batu karang terjal di bibir pantai K
Menerobos kencangnya hembusan angin Samudra Hindia di musim kemarau, mobil Bentley Bentyaga warna silver strom itu terlihat berjalan cepat menyusuri jalan beraspal di sepanjang tepian pantai Pulau Koch. Mobil SUV berwarna hitam terlihat memimpin di depan, sedangkan dua mobil jeep besar lainnya berada di bagian belakang. Ketiga mobil mewah itu tampak meliuk-meliuk di tengah sepinya jalanan.Di dalam mobil, Avani duduk terdiam di samping Rin yang sedang sibuk memainkan ponselnya. Gadis cantik itu terlihat melempar pandangannya ke luar jendela, mencoba menikmati perjalanan dengan melihat deretan lampu jalan yang berjejer rapi di sepanjang tepian jalan. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Di sepanjang perjalanan, yang terlihat hanya hamparan padang rumput tandus dan tepian pantai berpasir putih yang memanjang tanpa putus.Bukit-bukit gersang yang ditumbuhi rumput-rumput liar berwarna kuning kecokelatan karena musim kemarau yang panjang, terlihat kontras dengan hamparan pasir putih yang tersa