Hatiku mempertanyakan, "Terbuat dari apa hati Mas Harris? Terkadang baik terkadang sadis.
--------
Kami sampai di rumah jam dua siang. Begitu mobil masuk ke halaman, aku langsung turun dan berjalan menuju teras depan. Kepalaku kembali sakit, padahal tadi sempat reda setelah meminum obat pemberian dokter. Mama sudah ada di rumah. Dia langsung menyambut kami dengan senyumnya yang lebar, memeluk dan memberiku ucapan selamat.
"Akhirnya kamu akan menjadi Ibu, Helena." Mama terlihat sangat bahagia. "Masuklah, Arsen sudah datang."
Deg.
"Kapan dia datang, Ma?" Tanyaku hambar. Entah mengapa aku seperti tidak berharap dia datang. Entahlah. Rasanya aku tidak ingin melihat dia.
"Entah. Mama tanya juga tidak dijawab." Sahut Mama. Dasar anak durhaka, batinku mengumpat. Bisa-bisanya ditanya mamanya tidak dijawab!
"Baik-baiklah kepadanya, sepertinya dia sedang marah." Bisik Mama pelan. Aku mendesah, seraya langsung melepas sepatuku, kemudian bergegas ke kamar. Kulihat Mas Arsen sedang berbaring tidak melakukan apa-apa.
"Mas." Panggilku lembut.
"Luar biasa." Sambutnya seraya bertepuk tangan tiga kali penuh dengan praduga. Aku tercekat. Aura tidak enak langsung kurasakan. Aku mendekatinya, berniat menyalami tangannya. Namun dia mengebaskan tangannya dariku.
"Mas." Ulangku bingung.
"Jadi begini ya keseharianmu di rumah? Jalan-jalan terus dengan Abangku." Uapnya. Nadanya penuh dengan tuduhan.
"Apa maksudmu, Mas?" Aku mulai merasa tidak nyaman mendengar ucapannya.
"Sok polos!" Balasnya mengejek. Aku menghembuskan napas berat. Sakit kepalaku semakin menjadi.
"Suami banting tulang dibelain lembur akhir pekan. Eh istri di rumah senang-senang dengan pria lain. Abang sendiri pun diembat!" lanjutnya. Seketika darahku terasa mendidih. Tega sekali dia menuduhku berselingkuh.
"Mas, jangan sembarangan menuduh ya." Terdengar nada marah pada suaraku. "Kami pergi tu baru hari ini. Itu pun karena kami ketemu di klinik. Helen berangkat naik angkot!"
"Masih mau membela diri?" Tanyanya tak percaya.
"Jadi Mas maunya gimana?" Tanpa sadar kalimat tantangan keluar dari mulutku. Jengah juga dituduh yang tidak-tidak.
"Ouw… mulai berani ya sekarang? Siapa yang mengajarimu?"
"Mas, bisa bicara baik-baik kan?" Pintaku dengan tegas. Menekankan bahwa aku juga bisa marah.
"Dalam seminggu berapa kali kamu keluar bareng Mas Harris?"
"Mas apa-apaan sih? Kami keluar tu hanya mau berobat. Helen USG, dan Mas Harris periksa kesehatan karena alerginya kambuh!" Jawabku kesal.
"Bisa ya kebetulan begitu?"
"Terserah kalau Mas gak percaya."
"Bagaimana aku mau percaya? Hanya ke Klinik Salsabila yang jarak tempuhnya gak sampai 10 menit, kalian pergi hampir satu hari!" Arsen benar-benar marah kali ini.
"Ya, itu karena Mama menyuruh kami membeli buah."
"Di Pasar Rebo ada banyak buah. Tiga menit perjalanan dari klinik Salsabila, ke mana sisa waktunya?" Mas Arsen semakin nanar menatapku.
"Percuma juga Helen jelaskan. Mas tetap tidak akan percaya."
"Jelaskan!" Bentaknya. Aku kaget. Seumur-umur ini adalah pertama kalinya aku dibentak sedemikian rupa.
"Mas!" Suaraku sama tingginya.
"Aku curiga sama anak yang kamu kandung. Katakan itu anak siapa?" Mas Arsen semakin kehilangan kendali. Telunjuknya menuding ke perutku penuh amarah.
"Oh… Jadi Mas menuduhku berzina?" Aku teriak. "Tega sekali kamu Mas!" Kubuka pintu dengan kasar. Aku keluar dan kembali kubanting pintunya. Aku berlari keluar.
"Helena!" Tak kupedulikan panggilan Mama. Hatiku terlalu sakit atas tuduhan Mas Arsen. "Helena tunggu. Ada apa sih ini?"
Kakiku terus berjalan, dan naik ke angkot 08 yang sudah menungguku di jalan besar. Itu karena supirnya melihatku yang berjalan kaki di gang menuju jalan utama, sehingga dia berhenti untuk menungguku.
Begitu aku naik, angkutan umum langsung bergerak. Aku tahu penumpang pada memperhatikanku yang sedang menangis. Aku tidak peduli. Kuraih ponselku yang masih di saku. Untung aku belum mengeluarkannya tadi.
"Mell" Suaraku gemetar, saat aku berbicara dengan temanku melalui sambungan ponsel pintarku.
"Hei, kamu kenapa, Na?" Amell tampak kaget.
"Aku ke rumahmu ya. Aku tidak tau mau ke mana." Dalam kondisi seperti ini, tidak mungkin aku pulang ke rumah orang tuaku di Bekasi. Jadi aku memilih melipir ke rumah teman yang pastinya lebih bisa memahamiku.
"Ada apa sih, Na? Kamu di mana sekarang?"
"Aku naik angkot 08, tolong jemput aku di PGC ya, Mell. Aku tidak bawa uang sama sekali." Aku berbicara sambil terus menangis. Saat itu kurasakan ada yang bergolak di perutku. Terasa melilit, sakit sekali.
"Yaa ampuuun, Helena. Ya sudah kutunggu kamu di sana." Sahut Amell dari seberang.
"Makasih ya, Mell." Kami menyudahi obrolan. Aku masih terisak. Tubuhku terguncang karena tangisanku. Semua penumpang membisu.
***
Amel langsung memberiku segelas air es, begitu kami sampai di rumahnya. Sakit perutku agak berkurang. Begitu juga rasa sesak di dadaku. Napasku kembali teratur.
"Apa yang terjadi?" Dia mengulang pertanyaannya yang tadi, setelah melihatku tenang. Dengan air mata yang terus mengalir, aku menceritakan semuanya kepada Amell
"Dasar lelaki gak tahu diri suamimu itu!" Amel tampak kesal. Tentu saja. Amell adalah orang yang sangat paham perjalanan cinta kami. Sejak dulu dia sudah tidak setuju aku menikah dengan Arsen, yang usianya sepuluh tahun di atasku. Amel ingin aku menikah dengan teman kerja kami, Faiz. Usianya tiga tahun di atasku. Posisiinya sudah bagus di perusahaan. Baik dan sudah perhatian sejak aku belum mengenal Arsen. Sayangnya aku sama sekali tidak tertarik kepadanya. Arsen yang customer mewah kami, berhasil menaklukkan hatiku. Sejak itu Faiz tidak pernah lagi mengantarku pulang karena aku selalu dijemput Arsen dengan mobil mengkilap yang menyilaukan mataku.
Ah, kalau saja aku cerita ke Amell, kalau Arsen juga ternyata duda yang memiliki anak sudah usia dua belas tahun, dia pasti akan semakin marah.
Awalnya aku juga tidak menyangka Arsen sudah memiliki anak dari pernikahan pertamanya. Dia tidak pernah bilang kalau dia pernah menikah. Tepatnya tidak mengaku saat kutanyai, karena aku penasaran dengan usianya yang sudah bapak-bapak. Aku terkejut ketika tiba-tiba saat Mama akan mengadakan makan malam bersama, anak itu muncul diantar ibunya. Aku yang menerima kedatangan mereka, karena sedang menyapu di halaman depan.
Aku menghembuskan napas lagi, sesak sekali setiap kali mengingati semua kedustaan Arsen padaku.
"Kamu istirahatlah." Ucap Amel. "Masuk saja ke kamar."
Aku sudah sering menginap di rumah Amell, jadi sudah paham mana kamar yang harus kutempati.
"Aku ke toilet dulu." Sahutku seraya bangkit. Beberapa langkah kakiku berjalan, Amell memanggil.
"Na." Aku menoleh. "Kamu mending ke dokter lagi deh."
"Kenapa?" Aku bingung.
Amell memberi isyarat sesuatu di bagian belakangku. "Da, darah di pantatmu."
Aku memutar beberapa derajat kepalaku ke belakang untuk melihat yang ditunjuk Amell. Benar, rok bagian belakangku sudah nemplok warna merah melebar. Aku harusnya merasakan ada cairan yang keluar dari bagian bawahku, tetapi aku terlalu sibuk dengan perasaanku sehingga mengabaikan hal tersebut.
"Mell?" Seruku ketakutan.
"Kamu ke toilet, aku ambilkan pembalut." Ucap Amell seraya bangkit dari duduknya. "Setelah itu kita ke Dokter." Diam-diam aku bersukur karena memiliki sahabat sebaik Amell.
***
Tiga puluh menit kemudian. Di sinilah kami. Di ruang pemeriksaan dokter perempuan yang cantik dan masih muda. Kami ada di RSIA Cinta Bunda daerah Cililitan.
"Mbak sepertinya terlalu stress ya." Ucap Dokter yang memiliki nama Intan tersebut.
"Jadi bagaimana, Dok? Tanya Amell. Dokter Intan menghela napas.
"Dok?" Aku menatap cemas.
Rasanya luruh sudah semua tulang di tubuhku. Dokter Intan sudah memastikan bahwa pendarahan yang kualami tadi siang sudah membawa serta calon bayi yang baru sehari kusadari ada dalam rahimku. Aku keguguran, setelah sempat merasakan bahagia atas kehadirannya di perutku, meskipun sangat sebentar. Bahkan ketika ayahnya juga belum menyentuhnya.. Ah, jika saja aku menyadarinya sejak awal, mungkin aku akan lebih bisa menjaganya, pikirku. "Selanjutnya apa yang akan kamu lakukan?" Tanya Amell. Kami sedang di kamar berdua di rumahnya. Aku menggeleng. "Aku belum bisa berpikir sekarang." Sahutku."Ya sudah kamu istirahat saja kalau begitu. Besok kamu pikirkan lagi apa yang akan kamu lakukan." Ucap Amell tulus. Aku mengangguk. "Kamu tidak kembali ke kamarmu?" Tanyaku heran, karena melihat Amell menarik selimut dan bergelung di bawah selimutku."Tidak." Sahutnya."Kenapa?""Kamu sedang tidak waras. Gimana aku bisa tidur di kamarku kalau aku kepikiran kamu di sini." Sahutnya."Tenang saja. Aku t
Di rumah masih ada tiga nyawa lagi, tetapi rasanya begitu lengang. Hampa dirasakan oleh ketiga manusia yang tersisa itu. Padahal yang pergi hanya satu.Abiyah hanya bisa diam terpaku, sambil sesekali menyeka air matanya dengan tisu. Wanita yang dipanggil Mama itu masih berharap Helena akan kembali sekali lagi ke rumah itu. Dulu mereka punya ART, tetapi tidak ada yang bertahan lama. Paling lama satu tahun. Terlalu banyak drama. Kemudian, Helena hadir. Atas kesepakatan berdua, mereka tidak lagi mengambil pembantu. Abiyah mengerjakan semua pekerjaan rumah bersama Helena. Abiyah lebih sering tidak melakukan apa pun karena Helena begitu cekatan menyelesaikan semua pekerjaan rumah, selain memasak. Kalau memasak Helena kurang bisa, sehingga harus dilakukan berdua. Abiyah menghela napas berat."Mama sudah tua, Sen. Mama ingin melihat anak-anak Mama bahagia. Tapi kamu masih begini saja." Ucapnya pelan. Arsen diam. "Rumah besar ini ceria dan ramai sejak ada Helena. Sekarang bakal sepi lagi.""I
Sudah dua bulan sejak kejadian itu. Selama itu pula aku tinggal di rumah Amell. Aku sudah mengganti nomor kontakku. Atas saran Amell aku juga mengaktifkan kembali akun sosial mediaku. Selama ini Arsen sangat membatasi ruang gerakku. Dia tidak mengijinkanku mengenal dunia luar dengan bersosial media. Aku hanya diperbolehkan membuka situs berita online atau youtube asal tidak boros. Selain kedua itu tidak boleh. Terutama i*******m, twitter dan f******k. Takut tergoda pria lain, katanya. "Bersosial media rawan perselingkuhan." Begitu alasan Arsen. Dasar busuk! Toh nyatanya justru dia yang selingkuh! Menurutnya, sosial media juga yang menyebabkan hancurnya rumah tangganya dengan Sekar. Dari sanalah awal mula Sekar berkenalan dengan teman-temannya yang suka hura-hura dan tidak bisa diatur. Sekar ketularan. Namun hal itu dibantah oleh Mama. Sekar memang sudah ada bakat bebas sejak belum menikah dengan Arsen. Saat itu, meskipun keberatan, aku mengalah. Dengan syarat, dia juga menutup semua
PART 11. Helena, Di Mana Kamu?(POV Harris) PencarianHelena di mana kamu?Sudah dua bulan lebih dia menghilang tanpa jejak. Aku khawatir dia kenapa-napa. Nomor kontaknya sudah tidak aktif sehingga sulit sekali untuk melacak keberadaannya. Sekali aku pergi ke rumah orang tuanya di Bekasi, berpura-pura ada urusan di Bekasi sekalian mampir, hanya untuk mengetahui kabar Helena. Namun mereka justru menanyakan mengapa saya tidak ajak serta Helena dan Arsen.Aku merasa hidupku begitu hampa setelah dia hengkang dari rumah Mama dalam kondisi marah. Apalagi aku turut andil membuatnya terluka. Hatiku ikut sakit menyaksikannya terluka ketika itu. Wajah yang selalu tersenyum ceria kemudian berubah menjadi sendu dan berurai air mata itu, selalu menghantui hari dan malamku. Aku ingin bergerak dan merengkuhnya. Namun aku tidak memiliki daya untuk melakukan itu semua.Helena di mana kamu?Seminggu yang lalu, Mama memanggil semua anak-anaknya, untuk menyaksikan penandatanganan serah terima pembayaran
Dimas merasa bingung, kenapa tiba-tiba Harris ingin pergi ke Jakarta Pusat. Padahal agenda dia hari ini adalah pergi ke Bogor untuk urusan bisnis. Biasanya Harris tidak pernah meleset dari jadwal yang sudah dibuat. Dia type orang yang selalu tepat waktu. Dia bisa datang lebih awal ketika ada janji, tetapi, juga akan segera meninggalkan lokasi jika lawannya terlambat beberapa menit saja. Namun hari ini? Ada apa dengan Harris? Dia melakukan sesuatu yang berlawanan dengan prinsipnya.Dimas hanya bisa mengikuti saja apa yang diinginkan boss sekaligus temannya itu. Dimas yang pendiam dan penurut selalu mematuhi apapun yang diperintahkan Harris kepadanya tanpa banyak tanya, meskipun dia penasaran. Mungkin sebab itulah dulunya dia menjadi sasaran empuk anak-anak badung di sekolahan mereka. Untung ada Harris yang sejak kecil sudah diberi pelatihan bela diri oleh ayahnya, sehingga dia bisa langsung bertindak ketika melihat teman sekelasnya dianiaya oleh teman lainnya.Harris menyandarkan kepal
PART 13. Pertemuan Hari ini adalah tahun keduaku bekerja sebagai pramuniaga di H&H Mall, di Jakarta Selatan. Yah, akhirnya aku memang diterima bekerja di H&H Group, tapi sesuai dugaan, tidak mungkin di bagian telemarketing. Aku diterima sebagai pramuniaga, Saudara! Dugaanku tidak akan diterima sebagai telemarketing saat melamar dulu itu benar, karena ada si sepupu HRD. Posisi telemarketing sejak awal memang sudah untuk dia. Membuka lowongan kerja dan mendatangkan pelamar lainnya hanyalah ritual, agar semua terlihat natural. Dan hal semacam itu adalah sesuatu yang lumrah terjadi di mana-mana. bukan kah begitu? Kita yang tidak memiliki koneksi akan selalu tersingkir. Kalau diterima, itu berati suatu keberuntungan. Atau takdir Tuhan untuk kita mulai dari sana, sedang berjalan. Seperti takdirku hari ini. Dua tahun lalu meskipun kecewa karena tidak diterima sebagai telemarketing, aku masih merasa beruntung, karena diterima sebagai pramuniaga di bagian elektronik di Mall bergengsi ini. S
PART 14. Dekapan Mas iparPelukan Mas Harris kurasakan semakin erat. Hati kecilku mengingatkan, ini berdosa. Tetapi aku menikmatinya. Aku menikmati rengkuhan ini. Aku rindu seseorang mendekapku. Aku haus pelukan setelah dua tahun tidak lagi kurasakan."Kamu pasti mengalami masa berat selama ini." Ucapnya. Aku mengangguk. Dengan air mata yang masih terus berjatuhan. Jas hitam yang Mas Harris pakai basah oleh air mataku. Dua puluhan menit kami berdiri dalam posisi itu. Perlahan Mas Harris melepaskan dekapannya."Kenapa Mas melakukan ini?" Tanyaku. Mataku bergerak mengitari area matanya. Dia sudah tidak mengenakan masker kainnya. Entah kapan dia melepasnya."Aku merindukanmu." Sahutnya. Sama seperti yang kulakukan, kedua matanya juga menelanjangi wajahku. Rindu macam apa yang berada di balik ucapannya?"Mas tidak menyuruhku duduk?" Kataku mencairkan suasana. Pria itu tersenyum. Jantungku terasa berhenti berdetak. Senyumnya masih manis seperti dulu. Aku menghitung maju. Jika mereka selis
PART 15. Kerinduan (Pov Author) Dimas keluar ruangan bosnya dengan rasa bahagia. Dia tidak pernah menduga bahwa hari ini adalah keberuntungannya. Harris memberinya cek senilai seratus juta. Pikirannya melayang pada kejadian satu tahun lalu. Ketika mereka baru menghabiskan waktu keliling kota Bekasi. Harris terlihat kelelahan ketika akhirnya menyerahkan selembar poto kepada Dimas. "Siapa dia?" Tanya Dimas. "Temukan dia untukku." Sahut Harris. Dahi Dimas berkerut menatap Harris. "Namanya Helena Anstasya. Umur 25 tahun." Sejak itu mereka terus mencari, namun tidak ada jejak Helena. Di sosial media terlalu banyak yang namanya Helena, namun tidak satu pun yang mencirikan pemiliknya adalah Helena yang dimaksud Harris. Hingga dua tahun berlalu. Pagi tadi, sekitar jam 10:00 Harris mengajak 4 orang stafnya, termasuk Dimas dan HRD, turun lapangan. Melihat-lihat kondisi pemasaran, sekaligus memberi ucapan kepada pendatang baru yang menyewa dua ruangan untuk memasarkan produk camera CCTV mere