Roma, Italy.
Pras berdiri menatap tajam ke pria yang dari wajahnya saja sudah mirip dengan Alexander, hatinya sakit seperti di remas. Pria yang kehadirannya tak diharapkan oleh Pras kini ada di hadapannya, bahkan Laurent, tak sudi ikut menemui pria yang merupakan ayah kandung putranya. Ia tak kuat jika Fausto meminta Alex kembali kepadanya.
"Katakan, di mana, wanita itu, Fausto. Apa kau tau menyembunyikannya?" Pras masih bertanya dengan nada biasa dan tanpa emosi. Baginya, rugi juga jika ia melakukan cara kasar, walai rasanya, pria di hadapannya memang wajar jika di hajar olehnya. Fausto diam, ia hanya menatap Pras tanpa mau menjawab. Kedua tangannya di borgol, mereka berada di markas seseorang bernama Felipe. Salah satu kawan lama Pras yang dulu tergabung di The Red Dragon, Hongkong. Felipe berhutang kepada Pras soal keselamatan keluarga di masa lalu. Di sisi lain, Felipe adalah bos dari Fausto, pengedar narkotika dan mafia pasar gelap.
Kekeha
"Aku tidak membawa banyak pakaian, Lex, kita hanya beberapa hari, bukan?" Lily menutup tas koper warna pink miliknya. Ia menoleh ke Alex yang sedang merebahkan tubuh di atas ranjang Lily sambil memainkan ponselnya. "Alexander!" panggil Lily kencang."Yes, Sweet heart, sebentar. Aku membalas pesan Mommy dan Daddy, mereka masih satu minggu lagi di Turki. Kita punya waktu untuk bisa kembali lagi ke sini sebelum mereka pulang." Kekeh Alex. Lily diam, ia sebal jika Alex sudah memanggilnya sweet heart atau babe, atau panggilan sayang lainnya." Lily menuju ke meja riasnya yang minimalis karena kecil dan tak ada hiasan apa pun layaknya anak remaja seusianya."Aku tidak ingin orang tuamu mengetahui rencana ini, aku takut terbawa-bawa oleh kelakuanmu yang diam-diam menyelidiki orang tua kandungmu. Ini bahaya sesungguhnya, Lex, kita pergi juga tanpa ada yang tau, bukan? Bahkan para pelayanmu taunya kita berlibur k
Alex, Dre dan Lily bersiap menuju ke Trevi Fountain, tempat air mancur terkenal dengan hiasan artistik patung-patung, dan air yang mengucur deras memenuhi kolam di bawahnya. Bahkan, di sana juga dikenal dengan kebiasaan jika kita melempar koin sambil berbalik badan, lalu mengucapkan harapan di dalam hati, harapan itu bisa jadi kenyataan.Lily mengantongi beberapa koin, dirinya ingin mencoba, sekedar iseng atau kucu-lucuan karena ia sedang berada di Roma. Dre berdiri menatap gadis itu dari pantulan cermin, lalu matanya menatap Alex yang diam-diam memperhatikan gerak gerik gadis itu juga. Smirk muncul di wajah Dre. Pemuda itu beranjak lalu berjalan menghampiri Lily."Ly," panggil Dre. Lily mendongak karena Dre sudah berdiri di depannya. Tiba-tiba, Dre mencium kening Lily begitu lama, kedua mata Lily membulat sempurna. Kemudian Dre melepaskan ciuman itu, mengusap pelan wajah Lily. Ia menyambar jaket jeans, lalu berucap kepada Alex untuk segera bersiap. Dre jug
Dre bertopang dagu, menatap wajah cantik Lily yang sedang menikmati es krim gelato di salah satu cafe yang ada di daerah ramai kota Roma. Senyum terus mengembang di wajah Dre. "Ly, apa kamu tidak mau mencari keberadaan kedua orang tuamu?" pertanyaan mendadak Dre membuat Lyly terdiam seketika dengan masih menggigit sendok es krim. Ia tersenyum sambil menggelengkan kepala."Kenapa?" tanya Dre lagi."Mereka sepertinya memang tidak mau mencariku, atau mungkin menginginkanku, Dre," jawab Lily kemudian."Setidaknya kau tau kondisi mereka sekarang," lanjut Dre. Lily kembali menggelengkan kepala."Aku tidak mau menambah beban pikiranku, Dre. Tak apa," lanjutnya. Dre menghela napas, tatapannya beralih ke arah Alex yang berjalan mendekat ke arah meja yang mereka tempati. Wajahnya menunjukan guratan sedih, tapi berusaha Alex tutupi walau Dre menyadari hal itu.Ia menarik kursi dan duduk di sebelah Lily, Dre menunduk lalu beranjak
Dipikirannya, Pras hanya menginginkan kedamaian dalam keluarganya bersama Laurent dan Alexander. Ia tak menyangka jika saat itu pun tiba. Saat-saat di mana ia harus berurusan dengan masa lalu dan cerita sebenarnya tentang sang putra. Pras diam, termenung menatap jalanan dari dalam mobil sedan mewah yang ia kendarai. Di sebelahnya, Laurent duduk sembari berbicara tentang toko pakaian yang akan ia resmikan beberapa waktu lagi. Laurent membuka toko pakaian anak-anak, ia bekerja sama dengan para desainer muda yang baru kembali setelah menempuh sekolah fashion di luar negeri. Laurent bahkan launching merek pakaiannya sendiri. (Percakapan dalam bahasa Indonesia pada umumnya). "Pras, menerut kamu, apa kita bisa Import baju dari tanah air ke sini? Berapa lama kira-kira untuk sampai ke Zurich?" Laurent merepikan kunciran rambutnya. Ia menatap suaminya yang masih terdiam. Kerutan di keningnya menunjukan jika Pras sedang berkutat dengan pikirannya.
Dipikirannya, Pras hanya menginginkan kedamaian dalam keluarganya bersama Laurent dan Alexander. Ia tak menyangka jika saat itu pun tiba. Saat-saat di mana ia harus berurusan dengan masa lalu dan cerita sebenarnya tentang sang putra. Pras diam, termenung menatap jalanan dari dalam mobil sedan mewah yang ia kendarai. Di sebelahnya, Laurent duduk sembari berbicara tentang toko pakaian yang akan ia resmikan beberapa waktu lagi. Laurent membuka toko pakaian anak-anak, ia bekerja sama dengan para desainer muda yang baru kembali setelah menempuh sekolah fashion di luar negeri. Laurent bahkan launching merek pakaiannya sendiri.(Percakapan dalam bahasa Indonesia pada umumnya)."Pras, menerut kamu, apa kita bisa Import baju dari tanah air ke sini? Berapa lama kira-kira untuk sampai ke Zurich?" Laurent merepikan kunciran rambutnya. Ia menatap suaminya yang masih terdiam. Kerutan di keningnya menunjukan jika Pras sedang berkutat dengan pikirannya."Sa
(Percakapan sesungguhnya dengan bahasa Inggris)Derap langkah tegap dari terdengar dari suara sepatu yang bertemu dengan lantai marmer area perkantoran itu. Dengan kedua tangan dimasukan ke saku celana bahan yang tampak licin dan juga mahal, Fausto melangkah pasti menuju ke arah lift yang akan membawanya ke kantor pemilik gedung itu. Hari itu ia sengaja merapikan penampilannya, rambut klimis, kumis tipis yang mulai tumbuh, dengan bulu-bulu halus yang juga mulai menutupi area dagunya, ia biarkan tak dirapikan, sengaja, ia ingin membuat kesal lain. Kesehariannya, Fausto tak seperti itu, ia akan lebih senang memakai celana jeans hitam, kemeja pres body atau, kaos yang di balut jaket kulit.Di belakangnya, ada tiga orang berpakaian rapi yang mengawalnya, mereka bukan orang yang Fausto ajak dari Itali, tapi Pras yang meminta anak buahnya mengawal Fausto. Dua hari lalu, setelah akhirnya ia dan Laurent membuat rencana itu, Pras menghubungi Faus
Kedua mata Alex menatap tajam ke Fausto yang berdiri di dekat meja makan. Lirikan sinis juga tunjukan ke Pras. Suami Laurent itu berusaha tampak santai dan tersenyum melihat anaknya walau jelas, hatinya berdebar tak karuan karena ia mengajak pria yang mengirimi Alex surat dengan isi yang menerangkan jika ia tak mau bertemu Alex dan segera pergi meninggalkan kota Roma, Itali."Permisi," ucap Alex. Namun panggilan Laurent membuatnya berhenti, ia menoleh. "Mom, please."Alex memohon, wajahnya begitu tak karuan. Kare rasa kesal, marah, terkejut, sedih, semua bercampur semua."Mandi lah, 'nak, kami akan menunggumu di sini." Pinta Laurent. Alex mengangguk sangat pelan, ia berjalan lagi tanpa melirik atau menoleh ke Fausto yang melirik sosok pemuda yang mirip sekali dengannya. Ia memejamkan mata saat Alex cuek berjalan melewatinya."Mom, Dad, Sir, Lily menyusul Alex sebentar, hanya... sebentar." Lily berlari, Alex sudah berada di depan p
Lily begitu terkejut saat mendengar ucapan Alex yang seperti itu. Tak mau merebut wanita yang disukai sahabatnya sendiri.Seperti itu inti ucapan Alex. Lily tertawamiris, ia menunduk lalu beranjak menyusul Alex ke parkiran mobil. Lily tak peduli Alex menawarkannya minuman bahakn makan malam lagi. Moodnya hancur berantakan karena ucapan pemuda itu. Ia beralasan ingin cepat pulang dan beristirahat, karena esok masih hari sekolah."Kau marah, Ly?" lirik Alex saat mereka masih berkendara untuk kembali ke rumah besar milik Pras."Tidak, aku hanya lelah, Lex. Bisa lebih cepat, aku mengantuk." Alasan Lily jelas, karena jam sudah menunjukan pukul 10 malam. Lily terus menunduk, sesekali menatap ke arah kiri, jalanan malam hari tampak sepi, sama seperti hatinya yang mendadak hampa setelah mendengar ucapan Alex."Menurutmu bagaimana, Ly, jika aku mendekati anak walikota lagi? Apa Mommy akan kembali mengejarku dengan sapu, atau centong sayur?