Di Zurich, tepatnya tempat tinggal Kent yang terletak di kawasan elite, pria itu duduk dengan sebelah kaki bertumpang di kaki satunya, menatap Dre yang berdiri menatap Kent tanpa bisa tergambarkan arti tatapan itu. Bukan kemarahan, atau kecewa, justru tampang kosong.
Kent menyecap wiski mahal digelas kristas yang ia pegang. Terkekeh sinis menatap Dre. “Kau pikir kau anakku? Aku memang membiarkanmu memanggilku Dad, dan hanya sebatas itu. Aku juga tidak sering berada di dekatmu bukan? Anak… pungut?” ucapan Kent membuat Dre seperti tertusuk hatinya. Ingatannya benar-benar tak bisa kembali saat ia dulu di stasiun, ia hanya ingat dirinya diurus pelayan dan hanya sesekali memang berkomunikasi dengan Kent secara langsung, semua fasilitas memang diberikan pria itu, tapi tak menyangka jika semuanya akan berakhir untuk membayarnya. Bukan dengan uang, tapi pengabdian demi tujuannya.
“Aku terkejut kau mengetahui ini sekarang, jauh lebih cepat dari rencanaku. Kau sudah 17 tahun s
Liburan usai, Lily terpaksa harus berpisah dengan semua orang di negara Italy itu. Alex menatap Lily yang sedang merapikan pakaian di koper miliknya. Pemuda itu menatapnya dengan perasaan khawatir. Mengingat Lily sudah tau Dre siapa.“Jangan melihatku begitu, Lex? Aku akan terus menghubungimu,” ucap Lily seraya menatap Alex yang sendu. Gadis itu menutup koper, kemudian beranjak ke atas ranjang menghampiri Alex yang sudah merentangkan tangannya.“Aku akan sangat merindukanmu, Lex…” peluk Lily erat sembari merebahkan kepalanya ke dada bidang Alex. Alex mencium pucuk kepala Lily, memberikan ciuman yang lama sembari memeluk erat.“Aku juga, Sayang,” usapan Alex di punggung Lily membuat gadis itu terpejam. “Ingat, sebisa mungkin kau hindari Dre, jangan terlihat mencurigakan. Pengawal akan mengawasimu dari jauh, Ly, kau paham itu, kan?” Alex menunduk menatap Lily yang mengangguk lalu menatap mata kek
Gerold dan Kent berdiri dengan mantel bulu yang tebal di tengah hutan salju pegunungan Alpen yang tertutup dan tak akan ada orang yang menjamah daerah tersebut. Keduanya saling menatap dan tertawa sinis saat melihat kedatangan 4 orang yang menaiki motor salju menuju ke arah mereka.Pras datang, ia tak bersama Fausto atau Bruno, namun bersama El yang sehari sebelumnya sudah menemukan keberadaan Gerold. Pras dan El turun dari atas motor salju warna hitam itu, kedua pengawal yang juga menjadi pengendara motor itu di minta menjauh dari keduanya. Pras berjalan menghampiri, El mengikuti, keduanya juga sudah menyelipkan Glock masing-masing dengan peluru penuh. Jangan kira Pras tak akan sanggup mengarahkan peluru supaya bersarang di tubuh kedua orang yang merasa dendam kepadanya, jangan salahkan Pras jika sisi dirinya yang tidur kini terbangun demi menjaga dan melindungi keluarganya.Begitu pun dengan El yang tampak tenang, namun juga mematikan. Entah siapa yang bodoh di sini,
Bukan Pras namanya jika tidak memiliki segudang strategi juga rencana matang, apalagi jika ini menyangkut keluarganya. Ia akan sangat total dan mati-matian dalam melindungi. Semua sudah bersiap dengan perlengkapan masing-masing, helicopter pertama sudah berangkat, sedangkan Pras dan timnya berangkat melalui jalur darat, guna mengekabui sehingga Dre atau bahkan kedua bajingan tengik itu menyadari kedatangan mereka. Tak perlu menunggu waktu, tiga mobil berjalan dengan cara berpencar, plat nomor dipalsukan, dan, itu semua tak lepas dari Edmon juga yang terkejut saat mengetahui putrinya tak ada di apartemen. Edmon menjadi orang terakhir yang datang ke rumah Pras setelah mencoba mencari tau sendiri lebih dulu tentang keberadaan Lily. Namun Nihil.Opsir polisi itu bahkan menanggalkan lencana juga atribut polisi, ia tak peduli jika nanti bertindak tak seperti layaknya seorang polisi karena ini menyangkut putrinya. Pras tak memberi tau keadaan Lily, itu
Laurent dan Belinda sudah duduk di sofa warna merah dalam pondokan yang mereka sewa. Keduanya tampil dengan begitu menggoda walau hanya dari mekap yang dibuat semenarik mungkin. Suara ketukan pintu terdengar, Belinda memutuskan ia yang akan membukakan pintu. Pintu kayu itu terbuka lebar, tampak dua pria yang mereka tunggu datang, tapi tidak hanya mereka, di belakangnya berdiri Kent dan Gerold yang tersenyum sinis. Fausto menatap tajam ke Belinda, istrinya itu tau apa maksud suaminya.“Silakan masuk, tuan-tuan,” ucap Belinda. Lalu menutup pintu kayu itu lagi.Pras menyapa Laurent dengan mencium keningnya. Terdengar suara siulan menggoda dari Gerold dengan tatapan genitnya ke arah Laurent yang tersenyum menggodanya. Gerold jelas tergelak, dengan santai ia berjalan mendekat, mencoba membelai kepala Laurent namun di tepis tangan Gerold dengan pelan.“Tidak semudah itu tuan tampan,” ucap Laurent yang sesungguhnya jijik memgucapkan itu kepada s
Jeritan tak hanya terdengar dari Alexander, tapi juga dari Edmon yang segera melompat dari dalam mobil saat melihat mobil yang membawa putrinya terguling hingga berposisi terbalik. Alexander dan Edmon mendekati mobil. Dengan tangannya, mereka berusaha keras membuka pintu. Fausto dan El mengarahkan Glock mereka ke arah mobil tersebut untuk berjaga jika tiga bajingan di dalamnya lebih dulu menodongkan senjata ke arah Edmond an Alexander.“ARGH!” teriak Alex saat merasakan kakinya seperti tersayat pisau. Darah perlahan merembes dari celana jeans yang di kenakan pemuda itu. Kent yang melakukan hal itu, lalu tanpa mereka ketahui. Gerold sudah keluar dari pintu sisi lainnya sambil menyeret Lily menjauh dari mobil itu.“Lepaskan Lily bajingan!” teriak Alexander dengan Glock di tangan yang moncongnya mengarah ke Gerold.“Ck..ck…ck…, kamu mau Lily? Wanita yang tubuhnya sudah dinikmati Dre? Sahabatmu sendiri, huh?” Gerold
Tiga bulan berselang, Alexander masih saja tidak tau keberadaannya di mana, semua memutuskan untuk menghentikan pencarian, mereka memasrahkan ke Tuhan apa pun yang terjadi pada Alexander. Pras, ia kembali ke PLJ Tower, tapi tidak untuk bekerja, melainkan merapikan kekacauan yang dibuat oleh Kent beberapa waktu sebelumnya.Ruang rapat dengan meja oval di tengahnya itu terisi orang-orang penting di kepemerintahan. Dengan setelan jas licin mahalnya, Pras berdiri di depan podium dengan standing microphone di hadapannya, menatap satu-satu mata peserta rapat di sana.“Selamat pagi, terima kasih karena kalian semua mau hadir di sini. Aku langsung saja, tanpa perlu basa-basi. Gedung ini, Pras Laurent Joseph Tower, akan kuserahkan semua pengurusannya kepada saudara Bruno yang nanti akan terbagi lagi sebanyak 50 : 50 dengan pemerintah. Bruno akan memakai separuh gedung untuk kantor yang sebelumnya sudah kami jalankan akan dilanjutkan olehnya, sementara pemerintah
Hari-hari Lily jelas tak sama lagi, bergelut dengan kesendirannya di rumah keluarga Fausto, hingga berusaha menyibukkan diri dengan ikut membantu Belinda mengawasi pekerja di perkebunan, masih saja tak membuatnya merasa hidupnya lengkap. Ia merindukan kekasih hatinya. Jemari tangan Lily memetik buah anggur yang menggantung di pohon, kemudian ia duduk di kursi kayu yang ada di sana. Dres warna merah muda yang ia kenakan, membuatnya begitu cantik dan senyuman manisnya saat menyapa para pekerja, mampu membuat suasana juga menjadi damai.Semalam, ia baru saja menelpon Edmon, yang akhirnya bisa membuka kasus pembunuhan istrinya dan penculikan Lily walau pelakunya jelas sudah mati. Polisi menggeledah rumah tempat tinggal Gerold, bersama Pras juga Bruno sebagai saksi. Mereka terkejut karena banyak berkas-berkas bisnisnya yang melibatkan jual beli manusia dan organ tubuh. Rumah itu akhirnya dihancurkan tanpa tersisa, pun, Edmon, Bruno juga Pras bekerja sama untuk menyisir anak buah G
Lily bersiap untuk tidur, ia menutup pintu kaca balkon kamarnya, lalu tirai renda putih ia rapatkan juga.“Maaf…” Lily terkejut, lengan kekar itu melingkat di pinggangnya, membuat ia mau tak mau memejamkan kedua matanya. Perlahan, Lily melepaskan pelukan itu, lalu berjalan keluar pintu, ia membuka lebar lalu mengusir Alex dengan tatapan dan tangannya yang meminta Alex keluar. Pemuda itu menggelengkan kepala, ia bersedekap, bersandar di pintu lemari pakaian Lily dengan langkah terpincang. Lily diam, hatinya kembali seperti di remas, namun ia juga marah dengan pemuda tampan itu, walau bekas luka masih tampak di wajahnya. Hanya luka lecet.“Keluar, aku mau tidur.” Ucap Lily ketus. Alex menggeleng lagi. “Terserah.” Ketus Lily sembari beranjak ke atas ranjang, merebahkan tubuhnya ke posisi kanan, menghadap dinding, memunggungi Alex.“Aku merindukanmu, Sayang,” suara itu terdengar, Lily masih diam, ia masa bodoh.