"ALEXANDERRRR!" pekik suara Laurent terdengar menggelegar di dalam rumah besar itu. Sudah sepuluh menit ia mondar mandir keliling mencari keberadaan putra itu. Seperti kehilangan jejaknya saja, Laurent bahkan menelfon suaminya, namun tak ia dapati juga keberadaan pria tua itu.
"Kalian benar, tidak ada yang melihat dua laki-laki itu?" Laurent menatap sendu. Semua menggeleng.
"Bantu saya cari mereka, dimana si," tak lama, kedua telinga Laurent mendengar suara tawa yang ia hafal. Ia menunduk dan tersenyum. Langkah kaki nya menaiki anak tangga berlapis karpet itu berlahan, tak mau membuat suara. Ia sampai didepan pintu berwarna coklat yang tersambung dari dalam kamarnya. Ruangan Wadrobe milik Pras dan Laurent. Ia lalu berjongkok dan menggeser pintu lemari yang kemarin baru ia kosongkan karena akan dia gunakan untuk menaruh koleksi sepatu Alex. Dua wajah laki-laki itu menatap wanita cantik yang berjongkok di depan lemari dengan tatapan menahan ke
(Percakapan sesungguhnya dengan bahasa inggris)"Aw!" jerit Laurent saat ia tak sengaja mengiris jari telunjuknya dengan pisau saat ia memotong bawang bombay untuk membuat masakan. Ia meringis, berjalan bergegas ke bak cuci dan menyiram luka itu dengan air keran."Ada apa, Mom?!" suara dari arah ruang keluarga rumah mewah itu terdengar berjalan mendekat. Laurent hanya tersenyum sambil menunjukan jarinya yang terluka."Tunggu, Mom, aku ambil kotak obat. Jangan beranjak Mom!" perintah remaja enam belas tahun itu. Laurent hanya mengangguk.Alexander sudah beranjak remaja, begitu gagah dan tampan. Walau bukan anak kandung Pras dan Laurent, namun, wajah Alex begitu mirip de
Alex duduk di kursi pelataran sekolah, suasana sedang ramai karena ada pertandingan basket dan pemandu sorak nasional. Sekolahnya menjadi tuan rumah dalam kegiatan tersebut. Tatapannya tak lepas mengarah ke Lily yang sedang menjajakan makanan ringan. Murid sekolahnya memang di minta untuk terlibat di kegiatan tersebut, ada yang menjadi panitia bagian penjualan tiket, souvenir hingga makanan ringan seperti Lily, gadis itu memakai seragam panitia berupa kaos kerah warna ungu dan celana jeans hitam. Tak lupa, ia memakai topi juga.Segerombol pemuda datang menghampiri, mereka ingin membeli cemilan tapi sembari menggoda Lily. Wajah Lily tampak ketakutan, ia bahkan begitu risih. Alex segera beranjak, dengan berjalan santai, ia berteriak menegur ke empat pemuda itu. Jaket sekolah yang dikenakan Alex, menunjukan siapa dia.
Laurent berdiri menatap suaminya yang sedang berlari kecil bersama tiga anjing peliharaannya mengelilingi track olahraga dirumah megah mereka. Sejak semalam, Laurent terus memikirkan banyak hal terkait Alexander, putra semata wayang walau berstatus anak angkat. Hatinya sedih seandainya Alex tau jika ia bukan ibu kandungnya.Semakin jelas terlihat seiring usia Alexander yang beranjak diakhir masa remaja. Ia sudah bercerita kepasa adik iparnya -Aira istri dari Galang- yang tinggal di Indonesia, kegalauannya begitu semakin menjadi-jadi."Rent, akan ada masanya Alex tau siapa dia, kalian tidak akan bisa menutupi hal itu. Sebentar lagi, Alex juga akan meniti kehidupannya sendiri bukan? Kau dan Kakakku harus bisa menghadapi itu."Begitu pendapat Aira, yang dijabarkan melalui balasa email. Laurent menatap pemuda yang datang menghampiri Pras, menyusul berlari di udara dingin negara Swiss. Putra dan ayah itu beg
Laurent begitu terkejut saat melihat Alexander masuk ke dalam kamar sambil menanyak hal yang begitu Laurent dan Pras takutkan. Kini, pemuda itu berdiri di depan ranjang kedua orang tuanya. Wajahnya menahan emosi, entah marah, kecewa, sedih atau apa. Yang jelas, Laurent dan Pras baru melihat hal itu di kedua mata putranya. Laurent beranjak, berjalan mendekat dan memeluk Alex yang justru menagis."Mom, katakan, aku putra siapa? Siapa orang tua kandungku, Mom, Dad, katakan kepadaku!" teriak Alexander. Pras tak bisa menahan air matanya. Ia mendekat dan ikut memeluk pemuda tampan bernama Joseph Alexander Hadilaksmono itu."Kau anakku, Lex, kau putraku. Putra kami, putra ... put--"BRUK. Laurent pingsan, bahkan napasnya tersengal, Alexander dan Pras berteriak kencang. Begitu terkejut dengan wanita dihidup mereka yang tergeletak di atas karpet tebal. Alex bersimpuh, memangku kepala Laurent di atas pahanya.
(Percakapan baku dan dengan bahasa inggris)Bagi Pras, melindungi keluarga itu menjadi hal wajib dan mutlak dijalani, ia akan mencurahkan semua yang dimiliki untuk membahagiakan, melindungi, mencintai dengan begitu baik cenderung sempurna. Seperti saat itu, ia sedang berbicara dengan Galang - adinya - dyang tinggal di Jakarta, Indonesia. Lama mereka tak bersua karena jarak dan waktu. Padahal, keduanya sangat bergantung satu sama lain."Kak, apa kau fikir, rencanamu ini akan berjalan lancar? Apa kau tidak takut jika nanti Alex akan marah, atau bahkan tidak enak hati karena apa yang kau akan lakukan dan berikan?"helaan napas Pras terdengar, "Kekayaanku hanya untuk keluargaku, aku menyerahkan kepada kalian. Salah satunya, putraku itu, walau sekarang ia tau jika ia bukan anak kandung kami, tapi aku tak peduli, aku mau Alex terjamin masa depannya. Juga kalian, Galang. Apa kau sudah memeriksa berapa
Sebagai seorang ayah, Pras tak akan tanggung-tanggung dalam melindungi keluarganya, kali ini ia dan Laurent sibuk menyiapkan kepergian mereka ke Roma, Italy. Tujuannya satu, mencari tahu kehidupan ibu kandung Alexander selama tinggal di sana san apa yang sebenarnya terjadi hingga wanita itu bisa di rampok lalu di culik kemudian menghilang. Laurent menyiapkan berkas-berkas adopsi Alex, sementar Pras sibuk menghubungi orang-orang yang bisa ia percayai untuk menyelidi di sana. Dengan bahasa Jerman yang begitu fasih - karena di Swiss bahasa yang dominan memang Jerman - Pras berjalan mondar mandir di ruang kerjanya yang ada di gedung pusat kota Zurich, terus berbicara dengan seseorang.Laurent sesekali menatap suaminya yang tampak putus asa, atau kecewa, jelas sorot matanya saat bertemu dengan mata Laurent, begitu sendu. Laurent beranjak, mendekat ke meja kerja suaminya, menatap lekat Pras yang sudah selesai melakukan pembicaraan di telepon."Ada a
(Percakapan sesungguhnya menggunakan bahasa Italy)Roma-Italy."Jangan bergerak!" tubuh itu menegang sempurna seraya napas yang mencoba lebih santai. Pria itu menatap langit yang berubah menajdi gelap dengan cepat. Mendengkus karena tangannya dipelintir ke belakang lalu di borgol pergelangan tangannya. Ia meringis, karena cengkraman pada pundaknya terasa menekan bekas luka tembak yang baru saja sembuh."Kau suruhan siapa?" geramnya tertahan, namun tak ada jawaban. Kali ini, kedua matanya di tutup kain hitam. Ia tak bisa berkutik, bahkan sekedar untuk merintih menahan sakitpun ia tak bisa.Pria itu di bawa masuk ke dalam mobil. Harum tembakau jelas tercium dari hidungnya. "Kita bertemu lagi, Fausto. Tapi kali ini aku tak ada urusannya denganmu, aku di bayar mahal untuk membawamu ke suatu tempat. Setelah kalian bertemu, baru aku akan memberikanmu misi baru yang cukup berbahaya. Ak
Sepeninggal Pras dan Laurent yang berkata kepada Alexander jika mereka pergi ke Turki - padahal ke Roma, Italy - membuat pemuda itu merayakan hari ulang tahunnya di rumah dengan para pelayan beserta keluarga, juga anak-anak dari yayasan yang Laurent miliki. Harum bau kue tercium dari arah dapur. Gadis cantik dengan rambut di kuncir kuda itu sibuk mengeluarkan bolu rasa lemon dari dalam oven. Ia meletakkan dengan hati-hati di atas meja dapur besar yang terbuat dari marmer. Alex berdiri di ambang pintu sambil bersedekap, melihat sibuknya Lily yang berniat membuatkan dirinya kue ulang tahun besar untuknya."Ada yang bisa aku bantu?" ucap Alex seraya tersenyum menatap gadis itu."Tidak, Lex, kau yang berulang tahun, duduk dan nikmati hari spesialmu ini." Lily melanjutkan dengan mixer dan krim yang ia campur gula bubuk dan perasan lemon. Harumnya begitu menggoda hidung Alex. Pemuda itu mendekat, mencolek krim dengan ibu jarinya lalu ia cicipi. Lily menatap Alex.