Sepertinya banyak hal yang terlewatkan dengan ketidakhadirannya selama 3 hari. Ini baru 3 hari tapi terasa dunia berbeda 180 derajat. Jujur, ia ingin tahu namun ia tak ingin terlalu nampak atau bahkan bertanya kepada orang sekitar karena ia merasa itu bukan haknya.
Seperti sekarang, Lynelle kembali bertugas mengantarkan sarapan pagi untuk para dokter dan perawat seperti sebelumnya. Kepalanya tak berhenti menengok ke kanan dan ke kiri, berjaga-jaga jika ia menemui seseorang atau lebih tepatnya ingin bertemu seseorang?
Namun hingga ia tiba ruang makan dan akan kembali ke toko roti pun, sosok itu tak menampakkan batang hidungnya. Apa yang terjadi? Pikirnya.
Bisa saja Matthew sekarang tengah ada kesibukan lain, di tempat lain bukan? Atau mungkin sedikit terlambat masuk kerja? Bisa jadi.
Tak mau ambil pusing, Lynelle memutuskan untuk ketidakhadiran Matthew di sebabkan oleh hal positif yang ia pikirkan barusan.
Tapi sangat di sayangkan, itu hany
“Lynelle, kau tak merindukanku?” Pertanyaan Matthew itu membuatnya merasa keluh untuk menjawab. Ia hanya diam tak menjawab dan dengan reaksinya tersebut membuat Matthew mengangguk paham seolah-olah sudah tahu akan jawaban atas pertanyaan yang ia lontarkan. Matthew menunduk dan melihat ke arah jemarinya yang saling ia tautkan. “Tak apa jika kau tak merindukanku” ucap Matthew. Lynelle masih memilih diam di sana, hanya menatap kearah Matthew yang masih menunduk dengan perasaan aneh di hatinya. “Kau tahu, aku menunggu tepat di depan rumahmu. Kupikir kau marah atas ucapan Belva tempo hari. Namun sekali lagi ku katakan aku tak akan menikah dengan Belva dengan tujuan apapun dan dengan carapun yang ia gunakan, aku tak akan melakukannya.” Matthew memberi jeda beberapa saat sebelum kembali melanjutkan, “Aku menunggumu, selama kau pergi, aku tetap menunggu. Namun ..” Matthew tak melanjutkan ucapannya, tenggorokannya yang terasa tercekik a
Matthew merasa bahwa hal itu bekerja untuknya. Usai kejadian sore terindah dalam hidupnya beberapa waktu yang lalu, ia dan Lynelle menjadi lebih dekat dari sebelumnya. Bahkan Matthew beberapa kali menghabiskan waktu di rumah Lynelle. Matthew rasa Lynelle sudah mulai membuka hati untuknya. Malam ini tepat perayan natal di mulai. Matthew dan para dokter juga perawat tengah berbarengan berjalan menuju gereja kecil di desa Edensor. Begitu memasuki gereja, Matthew mulai celingak-celinguk, tak lain dan tak bukan tentunya untuk mencari keberadaan Lynelle. “Ayo duduk.” Ajak dokter Agler. Yang lain mulai beranjak untuk menapatkan tempat yang nyaman, namun Matthew memilih untuk tetap pada posisinya. Mata tajamnya belum menangkap objek utamanya. Ia mengeluarkan ponsel genggamnya dari saku mantelnya dan menghubungi Lynelle di sana. “Halo?”“Ly, aku sudah tiba digereja dan tak melihatmu. Kau di mana?”“Ah, aku baru tiba. Ini baru saja masuk”
Ruangan itu terasa begitu sepi, hanya bersuarakan tabung oksigen dan mesin pendeteksi jantung di sampingnya. Wanita itu masih setia memejamkan matanya, menyembunyikan mata coklat indahnya kepada semua orang.Pasangan suami istri yang sudah berumur itu kemudian masuk untuk membuat kehidupan di dalam ruangan tersebut. Sang isri tak henti-hentinya menitihkan air mata. Ia tak tega melihat sang putri terbaring tak berdaya di sana. Hatinya begitu terluka. Sedangkan sang suami hanya mampu menguatkan sang istri dengan terus mendekap di sampingnya.Anak itu tak seperti ini. Anak itu selalu penuh dengan ceria, selalu penuh dengan semangat yang menggebuh-gebuh, namun dalam satu waktu, anak itu berubah menjadi pemurung, tanpa semangat, sampai pada akhirnya melakukan hal tak terduga yang membuatnya terbaring tak berdaya seperti ini.“Sayang,” ucap sang istri pada sang suami “Apa yang harus kita lakukan?”Entah.Mereka hanya harus bersaba
Lynelle memilih untuk tetap berada di sana tanpa ada niat beranjak sedetikpun. Matanya tak pernah bosan menatap wanita yang sudah mulai berumur itu dan tangan kecilnya setia menggenggam tangan keriput wanita di hadapannya.Madam Altha masih memejamkan matanya sejak di pindahkan dari ruang ICU tadi. Lynelle memilih untuk tetap berada di sana sampai madam Altha kembali membuka matanya.Dalam kamar inap yang cukup besar—atas pintah Matthew—ini hanya ada dirinya dan madam Altha. Bibi Zoe kembali ke rumahnya yang sangat kebetulan tak cukup jauh dari rumah sakit untuk mengambil beberapa keperluan menginap, sedangkan Matthew keluar sebentar untuk berbincang dengan doker Agler.Sejam kemudian, pintu kamar inap madam Altha terbuka dan menampakkan Matthew di sana. Pria itu tersenyum kepada Lynelle yang berbalik melihatnya sejenak lalu kembali ke posisinya semula.“Akan ku antar kau pulang begitu bibi Zoe telah tiba” ucap Matthew lembut dan b
Belva benar-benar tak bisa membuat Matthew melangkah dengan bebas. Kemarin dirinya tak menampakkan diri seharian sebab harus kembali ke Edensor untuk acara perpisahan, yang berujung membuat Belva kembali mengamuk dan membabi buta seperti orang kesurupan. Ya, Matthew bersama dengan timnya resmi menyelesaikan tugas dan kembali di rumah sakit. Ini lebih cepat dari dugaannya.Dengan bujukan tuan Brams, Matthew dengan terpaksa kembali melangkahkan kakinya menuju ruangan Belva dan berakhir kembali terkurung disana.“Apa ponselmu lebih menarik dari pada aku?” tanya Belva dengan nada kesalnya.Matthew kembali menyimpan ponselnya di saku celananya, ia hanya terdiam tanpa ada niatan menjawab pertanyaan Belva yang membuat wanita itu kembali mendengus tak senang.“Kau pasti tengah menghubungi gadis itu bukan?”Hening dari Matthew.“Bahkan dengan keadaanku yang seperti ini kau tetap tak berpaling kepadaku?”&ldquo
“Kejar! Cepat”Matthew merasa linglung saat ini. Ia bingung harus membawa dirinya kemana. kembali menolong Lynelle yang terjatuh atau kembali mengejar Belva yang sudah hilang dari jangkauan pandangannya.BRAK!!!Matthew terlambat.Perasaannya kembali berkecamuk saat mendengar suara tabrakan itu dan mendengar jeritan syok orang-orang di sekitarnya.Oh tidak.Matthew bergerak cepat dan menuju ke tempat kejadian dan benar saja. Sial!(.)Lynelle hanya mampu terdiam dan duduk tak berdaya di sana. Ia merasa asing dan canggung juga ketakutan. Lalu masalah apa yang akan ia hadapi setelah ini? Lynelle tak banyak bergerak, hanya mampu menunduk dan mengandalkan pendengarannya untuk memahami pergerakan di sekitarnya. Bahkan saat dokter keluar dari ruang darurat, Lynelle masih tetap berada di sana.“Ly..” panggil Matthew
Benneth hampir saja menyemburkan blue ocean-nya saat Lynelle dengan santainya mengatakan bahwa dirinya akan menikah 2 bulan lagi. “Hey, pelan-pelan” Lynelle menyodorkan tisu kepada Benneth yang di ambilnya dan langsung menyeka bibirnya. “Kau?! Yang benar saja” ucapnya tak terima. “Nelle, aku tak tahu apa yang terjadi tapi, bukan kah ini terlalu cepat? Lalu bagaimana dengan Matthew?” “Kenapa dengan dia?”“Dia.. kalian.. ku pikir..” Lynelle hanya menggeleng. “Biarkan dia dengan dunianya. Kita sudah berjalan masing-masing selama 3 bulan terakhir ini. Lagi pula bukannya aku tak menganggapnya, dia tetap seperti kakakku” Saat ini Lynelle tengah berada di mini kafe bersama Benneth yang terletak di Headington dengan pemandangannya yang sangat sejuk. Mereka baru saja mendatangi kampus Benneth sebelumnya untuk melihat-lihat atas perintah Lynelle sebab dalam perjalanan mereka sedikit bingung harus kemana dan Benneth bercerita tentang masa kul
“Bagaimana kabarmu Matt?” Lynelle membuka suara terlebih dahulu.“Aku merindukanmu”Jangan..“Kau tak merindukanku Ly?”“Tentu saja. Cukup lama kita tak bertukar kabar dan ini untuk pertama kalinya lagi aku melihatmu setelah setengah tahun lebih lamanya sejak terakhir betemu denganmu”“Kau masih bekerja di toko roti?”“Iya, tapi hari ini toko sedang tutup. Tuan Ethan Noah sedang mengantar Nyonya Alda ke rumah sakit untuk check up”Matthew mengangguk dan keheningan kembali terjadi di antara mereka.“Ly, maafkan aku yang jarang memberimu kabar, aku—““Tak masalah Matt. Lagipula aku juga sempat kehilangan ponsel dan baru menggantinya beberapa hari kemarin, aku juga nomor baru”“Tapi sebelumnya aku sudah jarang memberimu kabar, sangat jarang. Maafkan aku.”“Tak perlu minta maaf. Aku bisa mengerti,