"Mbak, ada tamunya di bawah." Tutur Mak sambil mengetuk pintu kamarnya beberapa kali.
"Iya, Mak sebentar." Jawab Rere dengan malas, terdengar olehnya suara langkah milik Mak yang semakin lama semakin jauh dan akhirnya tak terdengar
Rere bergegas bangun dari tidur, membenahi penampilan dengan kerudung instan di atas kursi yang langsung dia pakai. Mematutkan diri di depan kaca. Baru kemudian keluar dari kamar.
"Siapa tamunya, Mak?" Tanya Rere saat kakinya sudah menapaki tangga paling bawah.
"Nggak tahu, mbak. Laki laki ganteng." Jawab Mak, tanpa ada niat untuk menggoda.
Sambil berjalan ke ruang tamu, benak Rere mengira ngira, siapa gerangan tamu yang datang mengunjunginya sore sore begini.
"Dew ...."
Alis mata Rere langsung naik, dengan mata membulat, seakan tak percaya kalau yang ia liat sekarang adalah orang yang tadi pagi menolaknya habis habisan.
<Rere berjalan di koridor kantornya menuju ruangannya, pagi itu ia memenuhi janjinya ke Dewa untuk kembali bekerja di kantor."Kamu siapa?" Tanya Rere pada seorang perempuan berdandan menor dengan baju kurang bahan sekali. Duduk di kursi depan ruangannya, di meja terdapat plakat berwarna putih dengan tulisan sekretaris berwarna hitam."Saya Ina, Bu. Saya adalah sekretaris anda." Jawab perempuan yang memperkenalkan dirinya dengan nama Ina. Langsung berdiri dan menundukkan badannya sedikit.Rere tak menjawab dia hanya bisa mengerucutkan bibirnya hingga membentuk huruf 'o'."Kalau gitu, Ina, tolong bawa apa yang harus saya kerjakan hari ini!" tanya Rere dengan wajah tegas, kemudian beranjak membuka pintu dan masuk ke dalamnya tanpa ditutupnya lagi daun pintu ruangannya itu.Rere meletakkan tas yang ia tenteng tadi di atas meja kemudian menghempaskan tubuhnya ke sofa tun
Melihat mimik muka Dyah yang cemas, bukannya kasihan, Rere malah tak bisa menahan rasa ingin tertawa."Bu ...." Muka Dyah tampak sangat membutuhkan pertolongan, apalagi saat Rere yang menggodanya dengan tersenyum yang ditutupi oleh salah satu tangan.Rere hanya bisa menganggukkan kepalanya berulang kali, dengan mulut masih menahan senyum.Toook! Tooook!Rere mengetuk pintu ruangan milik Dewa dengan sangat keras. Mata miliknya dan mata Dyah masih saling memandang, tentu dengan ekspresi wajah yang berbeda."Masuk!"Terdengar suara berat dari dalam ruangan, yang menyuruh Rere masuk.Rere hanya bisa membesarkan matanya dengan sempurna, saat tangan kanannya membuka pintu, dan tampaklah di depannya, punggung seorang wanita berambut panjang dengan warna blonde, berbaju kurang bahan berwarna hitam, yang duduk di atas meja, hingga menghalangi pandangan n
"Kenapa kau tak mematuhi apa yang tadi aku perintahkan padamu?"Dewa yang memerah wajahnya, langsung bertanya dengan emosi pada Rere yang tampak masih kaget akibat bunyi keras yang disebabkan oleh ketukan tangan Dewa di pintunya tadi.Rere masih terdiam, matanya memandang tajam pada lelaki yang masih berdiri di depan mejanya itu, lelaki yang baru saja membuat jantungnya hampir berhenti berdetak karena kaget."Maaf, pak Dewa yang terhormat, tolong beritahukan, letak salah yang saya lakukan di mana? Hingga anda dengan sangat percaya diri menuduh bahwa saya tidak mematuhi perintah anda?" tanya Rere masih dengan tenangnya, malah dia tidak berdiri dari kursi untuk sekedar basa basi."Bukannya tadi aku suruh kamu duduk, kenapa malah keluar dari ruanganku? Kamu sengaja kan tidak hormat padaku di depan klien kita?" Tanya Dewa dengan suara yang penuh tekanan walau di ucapkan dengan volume yang sangat pelan.
"Dew. Nanti jam sepuluh siap siap, kita meeting di luar. Tiga puluh menit sebelumnya kau harus sudah stand by di ruanganku."Setelah mengatakan pesannya, Dewa yang kebetulan bertemu dengan Rere di dalam lift yang sama, langsung pergi begitu saja mendahului dengan langkah cepat ."Ok ...." desis Rere, yang pasti tak akan di dengar oleh Dewa yang sudah melesat jauh meninggalkannya yang masih kaget saat mendengar pesan.Dengan menarik nafas panjang, Rere kembali melangkahkan kakinya dengan gontai, sejak menyetujui untuk kembali bekerja, Rere sepertinya harus mempunyai stok sabar tiada batas."Pagi, Bu." Sapa Ina, spontan berdiri dari kursinya saat melihat Rere."Pagi, Na. Kalau laporan dan jadwal sudah siap, kamu segera masuk ya." Jawab Rere lemas. Langkahnya tak terhenti, walaupun tadi sempat memberikan pesan pada sekretarisnya.Rere terus melangkah ke ru
"Hei ....!" Alman berteriak, tampak wajahnya tak suka saat mendengar apa yang baru saja Rere katakan tentang dirinya."Alman, aku tidak yakin kamu akan kesepian di sana, kamu tahu tidak? Orang Palembang itu banyak yang cantik, mereka berkulit putih, berhidung mancung, dengan etika yang jempol, aku tidak percaya jika sampai melewatkan pesona mereka. Kamu carilah satu, lalu kau nikah. Biar aman hidupmu.""Hahahaha. Setelah kau menolakku lalu sekarang kau mau aku menikah secepatnya, wow ... terimakasih doanya." Sahut Alman dengan nada setengah mengejek."Aku tahu kamu, Man. Malah aku lebih paham dirimu bila di bandingkan dengan Dewa. Jadi aku yakin kamu pasti akan mendapatkan perempuan cantik itu dalam waktu tidak lama." Rere kembali menjelaskan, karena dia yakin dengan apa yang ada dalam pikirannya pasti akan terjadi."Jadi sekarang, kau mulai membandingkan aku dengan Dewa. Ah, sudahlah. Kamu sudah nggak asyik,
Ina terdiam, ia terlihat sedang meremas kedua tangannya, tampak sekali kalau dia sedang berperang sendirian."Na. Aku berjanji, apa pun nanti yang akan kamu katakan, tidak akan merubah sikap ini kepadamu, malah itu bisa saja membuatku semakin berhati-hati, percayalah." bujuk Rere saat melihat perempuan yang sekarang menggunakan lagi hijabnya itu, tampak gelisah."Aku hanya takut bila ibu nantinya akan menganggap saya tukang ngadu dan bila apa yang saya ucapkan tidak benar benar terjadi, bakalan menjadi fitnah .... Tapi sumpah Bu, saya benar benar mendengarnya.""Tidak, aku tidak bakalan melakukan apa yang kau pikirkan saat ini. Jadi cepatlah, katakan apa yang kau dengar, waktuku tidak banyak." Desak Rere, matanya sesekali melirik jam tangannya dengan gelisah.Setelah meragu, akhirnya Ina pun memberanikan diri bercerita walau dengan terbata bata menceritakan kepada Rere apa yang tadi di dengarnya saat p
Rere tersenyum saat mendengar pertanyaan dari si perempuan, sungguh miris, dia yang ngaku beruang tapi tidak mempunyai rasa malu.Apalagi saat melihat si perempuan yang tak juga pindah dari pangkuan Dewa, mungkin kehadirannya dianggap angin saja oleh kedua orang yang sedang jatuh cinta itu.Perlahan Rere melangkah mendekat dan duduk di kursi depan mereka hanya saja di batasi oleh sebuah meja yang berbentuk segi empat. Dengan sebuah taplak meja berwarna kuning gading dan sebuah vas bunga di tengahnya."Kenalkan, Diana ini Dewi, dia adalah partner kerja aku dalam mengambil keputusan untuk perusahaan." Ujar Dewa sambil sesekali memagut mesra bibir si perempuan, namun matanya melirik Dewi yang berada di depannya."Kenapa harus bermitra dengan dia. Bukankah perusahaan ini milikmu." Rengek manja si perempuan, dilihat dari wajah mungkin usianya lebih tua dari Dewa, dengan polesan make up yang tebal, dan baju yang s
Rere tersenyum saat melihat Dewa yang ada di dalam mobil sedang menunggunya dengan wajah penuh kesal."Bisa cepat nggak, sih?!" Tanya Dewa dengan kening mengkerut dan terus saja menggerutu, saat Rere sudah duduk di sampingnya.Rere terdiam, sepertinya tak ada niat untuk menjawab, dengan meletakkan kedua tangan di atas tas yang ia letakkan di atas pangkuannya. Rere merobohkan punggung ke sandaran jok, kemudian memandang ke luar mobil dengan arah yang berlawanan dari posisi Dewa.Membiarkan Dewa terus saja menggerutu tak karuan, hingga akhirnya diam dengan sendirinya, mungkin sudah capek. Dan itu membuat Rere bersorak dalam hatinya.Hingga sampai ke tempat yang mereka tuju, keduanya masih menunjukkan sikap saling tak perduli, saling diam antara satu dengan yang lainnya.Rere membiarkan Dewa keluar dan langsung melangkah tanpa menoleh ke arahnya."Makasih, pak T