"ini rumah makan baru, Bun?" tanya Rere saat mobil yang ayahnya kendarai berhenti di depan sebuah rumah makan yang bila dilihat dari luar cukup nyaman dan agak ramai.
"Ya ... tapi sudah sangat terkenal banget ini, Re. Aslinya bukan dari daerah sini. Tapi saking terkenalnya jadi buka cabang di sini." Bunda mencoba menjelaskan. tangannya meraih pundak putrinya, mengajak melangkah masuk bersama.
Dengan menganggukan kepala. Rere dan bunda masuk ke dalam rumah makan itu, sedangkan ayah yang baru selesai memarkirkan mobil, tidak langsung bergabung. Beliau malah berdiri di belakang orang, seperti sedang mengantri.
"Ayah ngapain, Bun?" tanya Rere, setelah menemukan bayangan sang ayah, setelah tadi sibuk mengedarkan pandangan mencarinya.
"Mesenlah, jadi kalau di sini model mesennya seperti itu."
"Sebentar." Rere sontak berdiri dan langsung mendekati ayahnya.
"Rere aja yang mesen, ayah dud
Tanpa menunggu jawaban, Rere kembali melangkah menuju ke kursi tempatnya tadi duduk."Senangnya yang ketemu dengan sahabat lama." sambut bunda dengan mata menatap wajah putrinya, di bibir beliau ada senyum menggoda."Iya ... ah bunda pasti sengaja mengajak aku ke sini, kan? Biar bisa ketemu dengan Ema?""Iya sih, tapi sebenarnya memang karena masakan bebek sini enak kok, Re?" jawab Bunda."Permisi ...."Seorang perempuan datang mendekati meja mereka dengan kedua tangan menenteng alat seperti rantang namun hanya besinya saja, sebagai tempat membawa piring yang berisi nasi putih, piring berisi lauk, sambal dan mangkok mencuci tangan."Mbak, ini kok beda? Biasanya buat cuci tangan langsung ke wastafel?" tanya Bunda, sesaat setelah semuanya siap di atas meja."Saya tidak tahu, Bu. Ini hanya mengikuti perintah saja." jawab karyawan tadi, yang kemudian pamit u
Rere hanya bisa tersenyum saat bunda mengingatkannya pada julukan yang Ema dan Yuni berikan untuknya waktu sekolah dulu. Si putri tidur."Yuni, gimana, Ma?""Besok aku jemput kamu ke rumah, ya. Kita ke rumah Yuni bersama.""Jam berapa?""Acaranya kan jam sepuluh, Re?""Acara, acara apa?""Kamu nggak Yuni kabarin? Yuni mau tunangan besok.""Aku nggak tahu." jawab Rere dengan wajah tak berdosanya."Ya udah besok datang aja sama Ema. Tapi Ema datang sendirian nggak? Kalau sama pacarnya jangan, Rere biar nggak jadi orang ke tiga.""Besok kami bertiga kok, Bun. Saya ikut." Elang menimpali ucapan Bunda.Bunda tak menjawab, hanya saja bibirnya mengerucut ke depan dan langsung membentuk huruf 'o'."Tapi, aku tak punya gaun, Ma. Aku sengaja nggak membawa baju lebih." Rere kembali memasang wajah sedih.
Mobil yang dikendarai Elang berhenti di sebuah butik dengan halaman yang tampak luas sekali, hanya saja walau pun luas. Namun, sangat rindang, terdapat dua pohon mangga besar di tengah lapangan hingga terasa nyaman sekali."Nanti ada ketentuan warna nya nggak, Ma?" tanya Rere yang berjalan bersisian dengan Ema, meninggalkan elang yang masih memarkirkan mobilnya."Dalam undangan nggak ada sih, Dew. Cuman Yuni minta nanti kita pakai gaun warna biru navy.""Aduh, ada nggak, ya?" seru Rere, khawatir."Semalam aku udah minta Elang buat nelpon kakaknya, katanya sih masih ada, dan kebetulan busana hijab juga." Ema menjawab keresahan Rere, sambil menghentikan langkahnya karena sudah berada di depan pintu masuk."Selamat pagi." Seorang perempuan berjilbab membukakan mereka pintu, dan dengan menggunakan isyarat tangan mempersilahkan mereka masuk."Pagi ...." Jawab Ema
Ema memanggilnya dengan melambaikan tangan meminta supaya melangkah mendekat.Rere melangkah mendekat dengan tangan sembari memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas."Ada apa?""Kamu cobalah dulu, mumpung masih banyak waktu, setelah cocok. Kita langsung berangkat." Ema berkata sambil menaik tangannya masuk ke dalam ruangan."Pagi, Mbak." sapa seorang berhijab lebar ke arah Rere, tangannya terulur, membuat Rere kembali melangkah lebih dekat untuk menyambutnya."Sinta.""Rere!""Hei, sejak kapan kau mengganti nama panggilanmu, bukankah kau dulu lebih suka di panggil Dewi?" tanya Ema yang kaget saat Rere memperkenalkan nama."Sejak ada Dewa!?" jawab Elang dengan alis yang terangkat ke atas berulang kali, menggoda Rere.Semua tertawa mendengar jawaban Elang, yang memang benar adanya."Pada sirik!" Ketus Rere yang melangkah menjauh menuju kamar ganti yang tadi Sinta tunjukkan.Bukannya mereda, semua malah
"Pagi, Pak!?"Dyah yang kaget, langsung berdiri saat melihat Dewa sudah melintasi mejanya dengan langkah cepat."Bawa laporannya, Dyah." suruh Dewa sebelum tangannya menutup pintu dengan kasar hingga terdengar bunyi keras berdebum."Astaugfirulllah!" seru Dyah yang kaget saat mendengar bunyi pintu.Paham kalau suasana hati si boss sedang tak baik, Dyah pun cepat-cepat melakukan perintah yang tadi Dewa suruh.Satu kesalahan saja akan membuatnya terkena imbas. Bahkan bila tidak berhati-hati bisa-bisa besok dia sudah menjadi pengangguran."Ini, Pak ...." ujar Dyah. Tangannya mengulurkan beberapa berkas yang terisi di dalam kurang lebih lima map yang berbeda warna, ke arah Dewa."Duduk!"Dyah dengan takut-takut memundurkan satu kursi di depan meja Dewa untuk memberikannya banyak ruang untuk bisa me
Setengah berteriak, Dewa juga memukul meja dengan sangat kuat, hingga kaca pelapis atas meja tampak retak, tampak sekali terlihat rapuhnya seorang Dewa di mata Dyah saat ini, apalagi saat Dewa membanting badan di kursinya, kemudian mendongakkan wajahnya dengan mata terpejam.Dyah terdiam, matanya menunduk menatap lantai, sungguh dia terjebak di tempat dan waktu yang salah."Kamu boleh keluar, ini kita kerjakan lagi nanti! Sekalian ... kau panggil Ina suruh ke sini!""Baik, Pak. Permisi." Dyah berdiri dari duduknya, memberikan hormat dengan menundukkan sedikit punggungnya, kemudian langsung membalikkan badan menuju ke pintu."Bapak memanggil saya?"Ina masuk kedalam ruangan Dewa, dengan melabgkah sangat berhati hati, mungkin karena sebelum dia masuk, Ina sudah mendapatkan peringatan dari Dyah."Duduklah!"Ina melangkah mendek
Dewa mengangguk saat Ina pamit kembali ke tempatnya, dengan wajah berpaling ke arah ponsel, kemudian tampak senyum di bibirnya saat tahu siapa yang sedang menghubunginya."Halo ...." sapa Dewa dengan senyum yang menghiasi bibir, tampak seperti tidak terjadi apa-apa sebelumnya."Pasti kamu yang nyuruh Ina." Rere langsung menuduh Dewa, dengan dugaannya."Iya, habisnya kamu nggak balik-balik. Pulang dong," rengek Dewa, tak ada lagi wibawa saat di hadapan Rere"Kamu udah selesaikan urusanmu, belum?""Sudah, atau ... kalau tidak, kita kan bisa menyelesaikan bersama, Sayang.""Kenapa ramai sekali, kamu ada di mana?"Rere kemudian menghadapkan ponsel miliknya ke arah Ema dan Yuni yang tersenyum, dan menyapanya dengan lambaian tangan mereka."Yuni nikah, Sayang?" tanya Dewa saat layar ponsel milik Rere sudah kembali ke wajahnya."Nggak, ini acara tunangan aja, kok.""Sampaikan salamku padanya, katakan pada mer
"Terimakasih ya, Pak. Saya nggak nyangka bakalan di ajak makan bersama seperti ini," kata Udin yang duduk di depan Dewa, hanya dengan di batasi sebuah meja, berterima kasih. Sedangkan Ina sibuk membuat dokumentasi untuk di pajang di status aplikasi hijaunya.Dewa mengangguk, hatinya ikut senang walau sedikit ada rasa iri, saat melihat Ina yang perhatian pada Udin dan juga Dyah dengan suaminya, yang dipaksa datang. Maka dari itu sengaja dia mesan meja dengan kursi yang lebih banyak dari biasanya.Bunyi ponsel seketika itu juga membuat Udin menjadi sorotan."Halo, Mbak." Sapa Udin yang sudah mencuci tangannya untuk menerima panggilan video call dari Rere."Statusmu dengan Ina kok bisa sama, di mana itu, Din? Kok makan rame-rame, ada acara apa?" Rere langsung bertanya dengan kekuatan seribu jurus."Iya, Mbak. Lagi pada ngumpul rame-rame.""Siapa saja