Share

Si mesum jatuh sakit

Setelah pulang dari puncak, mendadak kondisi Kalvi tidak sehat. Ia tidak berhenti bersin-bersin, dan badannya terasa panas.

Saat ini hanya ia dan asisten rumah tangga yang berada di rumah. Sedangkan kedua orang tuanya sibuk bekerja dam sedang berada di luar negeri.

Ketika ia menghubungi ayahnya, ia mengatakan akan kembali satu minggu lagi, dan ibunya juga mengadakan gelar pameran busana di Singapura.

Diam-diam Kalvi menggerutu kesal kepada kedua orang tuanya. Di saat kondisinya tidak stabil, kedua orang tua yang diharapkan bisa memberikan perhatian, tidak pernah ada untuknya.

Selama ini ia telah sering tinggal sendirian, hanya ada bibi Ina yang selalu menemaninya. Karena sering ditinggal pergi, ia lebih dekat kepada sang pembantu.

“Kalvi, ayo minum air wedang jahe dulu, bibi rasa kamu masuk angin. Ayo bangun dulu,” kata bibi Ina menbangunkan Kalvi.

Kalvi masih bergelung di bawah selimutnya. Badanya meriang, rasanya benar-benar tidak enak. Entah kenapa fisiknya mendadak lemah setelah pergi tadi siang bersama Migy.

“Bibi, aku mau minum teh manis saja. Tenggorokanku terasa seret, pengen minum yang hangat-hangat.” Kalvi beringsut untuk duduk.

“Baiklah. Tapi minum dulu jahe ini biar lebih enakan badannya.”

Kalvi meminum air wedang jahe yang dibuatkan oleh bibi Ina. Rasanya lumayan hangat dalam tenggorokannya. Melihat wajah bibi Ina yang memandangnya penuh perhatian, tiba-tiba Kalvi teringat sosok ibunya.

Dari kecil ia telah diasuh oleh bibi Ina. Sedangkan ibunya sering bepergian keluar negeri. Jarang sekali ada waktu untuk berkumpul. Tetapi, bibi Ina adalah ibu kedua bagi Kalvi.

Wanita paruh baya tersebut mampu menyayanginya sepenuh hati. Jika sudah sakit begini, bibi Ina akan selalu ada untuknya.

“Bibi, terima kasih untuk selalu menjaga Kalvi.” Kalvi menatap lembut pada bibi Ina.

“Iya, Kalvi. Bibi akan selalu ada untuk Kalvi, jadi mulai sekarang Kalvi harus terus semangat. Jangan pikirkan yang berat-berat, oke?” bibi Ina selalu penuh semangat untuk menghibur Kalvi.

Dalam hati, bibi Ina mengerti apa yang tengah dirasakan oleh Kalvi. Remaja tersebut pasti menginginkan sosok ibunya jika sedang sakit. Sudah bertahun-tahun ia bekerja sebagai asisten di rumah itu, jarang sekali ibu Kalvi meluangkan waktu untuk anak semata wayangnya. Jika ada, itu hanya 2 hingga 3 kali dalam satu bulan.

Mereka berdua beranggapan jika semua hasil usaha mereka hanya untuk kepentingan Kalvi. Jadi sekuat mungkin mereka mencari uang, tanpa berpikir jika uang bukanlah yang pertama dibutuhkan oleh anak mereka.

Setelah membuatkan teh manis hangat untuk Kalvi, bibi Ina membawakan ke kamarnya. Tampak Kalvi duduk bersandar pada sandaran kasur. Wajahnya terlihat memerah, mungkin efek panas dalam yang dirasakannya.

“Ini teh manisnya. Setelah ini minum obat penurun panas ya, Kalvi? Bibi sudah siapkan. Ini minum dulu,” kata bibi Ina menyodorkan secangkir teh beserta obat penurun demam.

Kalvi menerima obat itu dan langsung menelannya. Kerutan di keningnya menandakan jika obat tersebut pahit. Dari kecil Kalvi paling tidak suka memakan obatnya, karena ia paling anti sama obat.

“Ya sudah. Kalvi tidur dulu ya, biar panasnya turun. Bibi mau membuatkan sup ayam dulu,” kata Bibi Ina menyelimuti sebagian tubuh Kalvi.

Kalvi mengangguk patuh. Ia juga merasakan panas dingin. Mau tak mau, ia lebih memilih untuk beristirahat sebentar. Pusing yang melanda kepalanya membuatnya lelah.

Sementara Migy, ia telah selesai makan malam bersalam nenek. Usai makan bersama, ia pergi menuju kamarnya. Tiba-tiba perasaannya sangat aneh, penasaran dengan keadaan Kalvi. Tumben cowok itu belum menghubunginya, padahal tadi ia berkata bahwa akan menelepon.

Migy masih mempertimbangkan untuk menghubungi Kalvi. Ia tidak ingin dianggap bersemangat menghubungi kalvi, sementara hatinya tidak tenang ingin segera menghubunginya.

Dengan memberanikan diri, ia mengetik nomor Kalvi dan menekan tanda panggilan. Namun, panggilannya tidak dijawab.

Setelah mencoba sekali lagi, juga tidak ada jawaban. Migy menjadi penasaran, apa yang terjadi kepada Kalvi?

Ia mengetik pesan kepada kalvi, menanyakan bagaimana kabarnya. Apakah baik-baik saja sehabis bertemu tadi?

Hanya ceklis satu. Berarti pesannya belum dibaca.

Migy mulai tidak tenang. Ia meletakkan ponselnya di meja belajar dan beralih pada buku pelajaran fisika. Kebetulan besok adalah ulangan harian, jadi ia mempersiapkan diri dengan mengulangi pelajaran.

Keesokan harinya, seperti biasa Migy pergi ke rumah Kalvi. Ia sudah berjanji akan menjadi tukang antar jemput Kalvi selama satu semester. Tepat di depan rumah Kalvi, ia menghentikan motornya.

Sambil celingak-celinguk menanti kedatangan Kalvi, Migy memeriksa ponselnya. Terdapat satu pesan masuk dari Kalvi, mengatakan jika ia tidak bisa hadir ke sekolah karena sakit.

Migy melihat ke halaman rumah Kalvi, ia agak ragu untuk masuk. Tetapi tidak ada salahnya untuk sekedar melihat sebentar keadaan Kalvi. Lagipula dari semalam ia memikirkan si cowok mesum tersebut.

Saat Migy mengetuk pintu, seseorang membukanya.

“Iya, dengan siapa ya, nak?” kata bibi Ina memperhatikan seragam Migy.

“Saya Migy, temannya Kalvi. Kalvinya ada, bu?”

“Ada. Migy temannya Kalvi? Ya sudah, ayo masuk ke dalam. Kebetulan Kalvi baru saja sarapan di kamarnya.”

Bibi Ina membawa Migy masuk dan menuntun jalan ke kamar Kalvi. Sedangkan Migy, ia asik melihat semua tata letak ruangan rumah Kalvi.

Ruangan yang begitu klasik dan luas. Sekilas pandangannya tertuju pada pas foto yang berada di dekat jam besar di pojok ruangan. Itu adalah foto Kalvi kecil yang tidak memakai apapun.

Migy tersipu melihat betapa imutnya Kalvi saat bayi. Pantas saja si mesum itu ganteng, orang masa kecilnya aja sangat imut dan tampan begitu. Tapi matanya terhenti pada bagian si kecil Kalvi.

Sangat lucu. Itu adalah senjata yang satu minggu lalu dianiayanya . Migy terkikik geli mengigatnya, hingga tak sadar bibi Ina memperhatikan arah pandagan Migy tertuju.

“Itu foto Kalvi ketika berumur dua tahun.” Bibi Ina bersuara.

Migy terkejut. “Eh, iya bi. Dia lucu ya, bii?”

“Iya. Dari kecil dia memang sangat lucu. Bibi sangat suka menjaganya, karena dia tidak pernah rewel,” kata bibi Ina tersenyum sambil mengingat masa kecil Kalvi.

Setibanya di depan kamar Kalvi, bibi Ina membuka pintu. Dan terlihat Kalvi sedang tidur dengan selimut menutupi semua tubuhnya.

“Kalvi, bibi mau mengantar temanmu. Di Migy,” kata bibi Ina membangunkan Kalvi.

Perlahan Kalvi membuka selimutnya. Matanya masih terlihat memerah, dan pandangannya sayu. Tidak ada keceriaan dari wajah Kalvi.

“Hai, aku tadi ke sini untuk menjemput ke sekolah. Tapi aku baru tahu jika kamu sakit saat ada pesan masuk.” Migy berjalan ke ranjang Kalvi.

“Bibi tinggal dulu, ya. “

“Baik bi.” Kata Migy tersenyum.

“Iya, nggak tahu nih. Pas pulang dari puncak kemarin, tiba-tiba aku nggak enak badan. Semalam juga meriang,” jelas Kalvi mencoba untuk duduk.

Migy melihat Kalvi yang telihat agak lemas. Jadi dia mengulurkan punggung tangannya dan menempelkan ke kening Kalvi. Terasa hangat, mungkin efek dari panas yang belum turun.

“Kamu sudah berobat?” tanya Migy.

“Sudah. Bibi Ina sudah membelikan obat. Mungkin sebentar lagi aku akan mendingan.”

Migy melihat jam di pergelangan tangannya. Terlihat hari sudah menunjukkan waktu masuk sekolah. Ia tidak ingin terlambat, tetapi ketika melihat Kalvi kurang sehat ia jadi ragu untuk pergi.

“Sudah, kamu sekolah dulu sana. Aku tidak apa kok, nanti setelah istirahat akan sehat lagi.” Kalvi  mengetahui kegelisahan Migy.

Migy jadi tidak enak hati. “Ya sudah, aku ke sekolah dulu ya? Soalnya sebentar lagi aku ada ulangan. Kamu sudah minta izin ke sekolah?” tanya Migy.

“Sudah. Aku sudah minta Peter mengabari ke wali kelas.”

Migy pun pamit. Ia mengatakan jika akan kembali lagi setelah waktu pulang sekolah berakhir. Dan ia juga meminta Kalvi untuk banyak minum air putih terus beristirahat dengan nyaman.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status