Share

Bab 2

"Di mana anak miskin itu?" tanya Monica pada sang kepala pelayan.

Semenjak David dinas ke luar kota, wanita itu benar-benar memperlakukan Laura sewenang-wenang.

Bahkan, beberapa pelayan menaruh simpati pada gadis muda tersebut.

"Baru saja saya suruh istirahat Nyonya, sepertinya Nona Laura sedang tak enak badan. Biarlah saya yang melanjutkan tugas ini Nyonya," jawab bawahannya itu.

"Jangan panggil dia dengan sebutan Nona! Panggil namanya saja, dia tak pantas diperlakukan baik di rumah ini! Panggil dia sekarang, dan suruh bersihkan guciku!" perintahnya lagi.

"Baik Nyonya."

Sang kepala pelayan pun langsung ke kamar yang ditempati oleh Laura.

Dia mengetuk pintu sebanyak tiga kali, tapi tak ada jawaban dari Laura.

Wanita paruh baya itu pun akhirnya membuka pintu kamar Laura dan mendapati gadis malang itu sedang terlelap.

Hatinya sangat terenyuh kala melihat Laura yang masih menyesuaikan diri di West Country–harus dipaksa untuk langsung melakukan pekerjaan pelayan.

Andai saja Tuan David mengetahui semua ini, dia yakin pria itu akan membela Laura.

"Kasihan sekali Nona Laura," gumamnya.

Kepala pelayan itu pun berjalan mendekati Laura dan menggoyangkan tubuh Laura beberapa kali, sampai membuat gadis itu kaget.

“Siap!” Laura seketika menegakkan tubuhnya panik. Tampak sekali, ia takut bila sang Nyonya Rumah yang datang ke kamarnya. Kala melihat sang kepala pelayan, ia tampak lebih tenang, “eh, bibi. Ada apa?”

"Maafkan Bibi, Non. Nyonya memanggil Anda," ucapnya penuh rasa kasihan.

Laura meneguk habis air mineral yang masih berada dalam genggamannya, lalu mengangguk. "Baik Bi, di mana Nyonya?" tanyanya.

"Beliau ada di ruang tengah. Yang sabar ya, Non." ucapnya sambil mengusap lembut lengan Laura.

Gadis itu tersenyum sambil mengangguk, lalu berjalan keluar mendahului sang kepala pelayan untuk segera menemui sang Nyonya rumah.

"Permisi Nyonya, ada yang bisa saya bantu?" tanyanya setelah berada di samping Monica.

"Bersihkan semua guci di rumah ini! Cepat kerjakan sebelum David pulang kantor!" serunya lagi.

"Baik Nyonya. Saya permisi dulu," pamitnya.

Laura pun menemui sang kepala pelayan, lalu menyampaikan apa yang diperintahkan oleh sang Nyonya rumah.

Sang kepala pelayan memberikan alat untuk membersihkan guci-guci berharga fantastis milik Monica.

"Anda bersihkan dulu dari yang ujung sana, sampai ke ruang tengah ya Non, sini biar Bibi contohkan cara membersihkannya," ucap wanita tua itu.

Laura pun mendengar dengan seksama karena dirinya memang belum pernah sama sekali membersihkan guci berukuran besar ini.

Untungnya, kepala pelayan membantu Laura dengan telaten, hingga gadis itu benar-benar bisa mengerjakannya.

Tampak senyum terbit di wajah Laura setelah berhasil menyelesaikan tugasnya membersihkan satu guci berukuran besar.

"Terima kasih, Bi sudah mengajarkanku. Sekarang, biarkan aku yang melanjutkannya," ucapnya. Jujur, Laura tidak ingin sang kepala pelayan kena marah oleh Monica.

"Baik Non, tolong berhati-hati ya. Jangan sampai ada yang lecet karena harganya sangat mahal. Gaji bibi satu tahun saja, tidak bisa membeli 1 guci ini," ucapnya berpesan pada Laura.

Gadis itu pun mengacungkan kedua jempolnya kepada sang kepala pelayan.

Setelahnya, Laura dengan cekatan membersihkannya.

Sang kepala pelayan bahkan berkali-kali memuji cara Laura membersihkan guci tersebut, sampai akhirnya Laura pun tiba di ruang tengah untuk membersihkan guci terakhir yang kebetulan berada persis di samping Monica.

“Permisi, Nyonya,” sapanya.

Namun, wanita glamor itu hanya tertawa sinis melihatnya lalu kembali menonton televisi sambil sesekali memainkan ponselnya.

Laura menahan sakit hati dan fokus pada pekerjaannya.

Hanya saja, saat sedang membersihkan bagian akhir, matanya mulai berkunang-kunang.

"Kenapa kepalaku sakit sekali ya?" batinnya bingung kala badannya pun ikut limbung.

Prang!

Suara pecahan guci terdengar nyaring.

Bahkan, dalam waktu singkat, guci itu sudah hancur berkeping-keping. Bersamaan dengan itu, Laura juga terjatuh.

"Lauraaaaaaaaaaaaa!" bentak Monica. Wanita itu seketika murka.

Menyadari kesalahannya, jantung Laura berdetak dengan kencang. Ia bahkan melihat sang kepala pelayan juga berjalan mendekatinya dengan wajah panik.

"Apa yang kamu lakukan ini, hah?!"

"Ma–maafkan saya Nyonya," sahutnya gugup.

"Kamu tahu berapa harga guci ini?" tanyanya dalam keadaan marah.

Laura menggeleng lemah.

Wajah Ibu dari David itu semakin merah. "Dengar, ya! Tubuhmu pun kau jual, tak akan mampu mengganti biaya guci ini! Dasar pembawa sial! Ikut aku sekarang!" teriaknya kencang.

Monica pun menyeret Laura dan membawanya ke sebuah gudang kosong di belakang rumahnya.

Tanpa perasaan, wanita itu mengunci Laura di sana.

"Nyonya, maafkan saya. Saya mohon jangan kunci saya di sini."

Laura memohon pengampunan sambil menangis.Ia sungguh takut gelap.

Namun, Monica mengabaikan tangisan gadis itu dan pergi begitu saja.

Sementara itu, para pelayan di rumah itu tak ada yang bisa mencegah keinginan sang Nyonya rumah untuk menghukum Laura.

Mereka hanya bisa diam-diam mendoakan gadis itu bertahan.

Tak terasa, penderitaan Laura sebagai “pelayan yang paling dibenci Nyonya Monica” berlangsung satu bulan lamanya.

Namun, David tak pernah tahu itu.

Pria itu mengira sang mama yang memang tidak suka dengan Laura, hanya menganggap gadis itu tak ada.

Jadi, ketika David kembali, pria itu dengan tenang mengajak Laura ke salah satu kampus terbaik di New Capitol.

"Apa kamu sudah siap untuk menjadi mahasiswa di kampus itu?" tanyanya di hari yang sudah mereka tentukan.

"Iya, Om," jawab gadis itu cepat. Ia memasang senyum palsu agar David tak curiga.

Tak lama, keduanya pun berada dalam salah satu mobil sport keluaran terbaru milik David.

Hari ini, pria itu memang sengaja tak ingin menggunakan sopir.

Dia lebih memilih untuk menyetir mobilnya sendiri agar bisa lebih dekat dengan anak dari kakak angkatnya itu. Lagipula, David juga berencana mengajak Laura makan siang bersama setelahnya. Dengan demikian, Laura bisa bersenang-senang meski di negara yang asing baginya.

Begitu tiba di kampus, David segera mendaftarkan Laura sebagai calon mahasiswa.

Untungnya, proses pendaftarannya sungguh cepat karena ternyata dosen dan staf kampus sudah mengetahui kalau David adalah salah satu donatur utama di kampus mereka.

Bahkan, dalam waktu 2 jam, David sudah membayar lunas biaya kuliah Laura sampai gadis itu tamat sarjana.

Laura tersenyum bahagia lalu mendekat ke arah David yang saat ini sedang menunggunya di parkiran. Pria itu bersandar di badan mobil, tersenyum ke arah Laura.

"Om David, terima kasih ya sudah membuat Laura bisa mewujudkan keinginan Ayah," ucapnya tulus.

David mengangguk. "Belajarlah yang rajin agar cepat jadi sarjana, Ayah dan Ibumu pasti bangga."

"Laura janji akan jadi mahasiswa yang baik agar Ayah dan Ibu bangga pada Laura."

"Baiklah. Bagaimana kalau hari ini kita rayakan dengan makan siang di salah satu restoran di Mall? Sekalian, aku mau membelikan perlengkapan kuliahmu," ucap David.

Laura mengangguk sambil tersenyum.

Namun, dalam hati, ia membatin, "Kenapa Om David berhati malaikat, sedangkan Mamanya berhati iblis?"

Sementara itu, David mengusap lembut kepala anak sang kakak angkat.

Hanya saja, diam-diam, ia bingung mengapa senyum Laura membuat jantungnya berdegup kencang.

David pun memilih melangkah cepat untuk mengenyahkan perasaannya.

Ketika di parkiran, dibukakannya pintu mobil untuk Laura sebelum ia duduk di balik kemudi.

Namun, baru saja David hendak menutup pintu mobil, suara seseorang memanggilnya.

"David!"

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Chy Doang
Mazama bestie
goodnovel comment avatar
Atieckha
mksi kesayangan sdh mampir
goodnovel comment avatar
Chy Doang
Semangat bestie
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status