“Argh!” Para karyawan dan karyawati memekik terkejut, sangat tidak menyangka bahwa bos mereka akan muncul di pantry.
Segera, semuanya bubar dengan sikap hormat dan takut saat berjalan melewati Juna.
Melihat kelakuan pekerjanya, Juna menarik napas dalam-dalam. Perusahaan ini memang sudah sepatutnya dirombak dan dibenahi.
Namun, yang Juna herankan, meskipun perusahaan dirugikan beberapa oknum, tapi income tetap saja besar. Dia bertanya-tanya di benaknya, apabila dia menertibkan perusahaan, bukankah income akan jauh lebih besar?
Baiklah! Juna sudah mengerti apa yang harus dia lakukan.
Perombakan dan penertiban Juna di PT Kencana Buana benar-benar menimbulkan gelombang perbincangan di perusahaan, hingga akhirnya sampai di telinga Hartono.
Ketika hal itu ditanyakan ke Juna, Hartono mendapatkan kalimat penjelasan yang sangat masuk akal dari menantunya. Kalau sudah begitu, mana bisa Hartono menentang?
Maka, usai berbicara dengan
Keadaan di kantor mulai tertib seperti yang Juna harapkan. Kamera CCTV sudah banyak terpasang di berbagai sudut kantor dan gudang. Semuanya terhubung ke ponsel dan komputer dia, mengakibatkan tak ada lagi karyawan yang berani berbuat macam-macam untuk merugikan perusahaan. Situasi mulai kondusif. Juna menyukainya. Sebagai panglima, mana mungkin dia gagal mendisiplinkan anak buahnya? Sementara, situasi di rumah juga mulai kondusif. Leila tidak datang ke rumah untuk mencari masalah. Lenita juga mulai banyak diam dan tidak meneriaki Juna seperti biasa. Di malam hari, Juna akan kembali menggoda Lenita seperti yang sudah-sudah. Sang istri lagi dan lagi dibuat terhanyut serta terbuai akan sentuhan jemari dan mulut tanpa berjeda dari sang panglima. Namun, kali ini, Juna tidak meneruskan sampai Lenita melakukan pelepasan seperti hari yang sudah-sudah. Dia sangat tepat waktu menarik diri dan menjauh dari istrinya ketika limit wanita itu sudah mulai di ujung ta
Lenita tertawa dalam hati, meneriakkan kemenangannya ketika dia berhasil membengkak-tegangkan pusaka kebanggaan sang suami. Apalagi terlihat jelas bahwa Juna sangat menikmati pelayanan mulutnya. Di hatinya, dia yakin kemenangan akan berada di pihaknya! Dia akan mendapatkan pemuasan secara menyeluruh! Juna mengeluarkan geraman rendah sambil matanya terus tertuju ke sang istri. Jika di era kuno dulu, dia merasa hidupnya merana karena tidak memiliki istri meski terkadang ada wanita yang bisa dijadikan penghangat tempat tidur, tapi kini dia mempunyai seseorang untuk dia sentuh sesukanya dan orang itu cantik serta molek, terlebih lagi … agresif. Bukankah ini sebuah keberuntungan baginya? Teringat olehnya, ketampanan dan kegagahan dia dulu tak perlu dipertanyakan lagi. Banyak wanita akan berebut menjadi penghangat ranjang dinginnya di barak militer. Kadang Juna merespon dan kadang pula dia enggan meladeni pemujaan wanita padanya. Dia bukan p
Di hatinya, Juna membatin sembari menatap sang istri, ‘Kau butuh dijinakkan dan harus tahu artinya disiplin dulu, macan betina kecil.’ Juna melangkah pelan keluar dari kamar itu dan kemudian dia pergi ke ruang baca, hendak tidur di sana saja. Sesampainya di ruang baca, Juna masuk ke selimut bulu domba yang tebal dan nyaman di atas sofa seperti hari-hari lalu. Dia terkekeh membayangkan betapa kesalnya Lenita saat hampir berhasil melakukan penetrasi. *** Hari ini, Juna tidak ingin ke kantor atau gudang. Dia memiliki satu misi. “Pak Iwang?” panggil Juna ketika dia selesai mandi dan sudah berpakaian kasual dengan kaos ketat putih dan celana jins, berdiri di teras depan. “Ya, Den Juna?” Iwang segera mendekat ke bos mudanya. Dia masih berada di tengah-tengah tugas mengelap mobil majikannya. Namun, ketika salah satu majikan memanggil, tentu saja dia harus menghentikan dan sigap datang. “Sibuk, Pak?” tanya Juna pada lelaki berumur 30-an di depannya. “Tidak, Den. Hanya sekedar mengelap
Iwang tertegun sejenak. Majikan mudanya hendak belajar menyetir. Kenapa baru sekarang memiliki keinginan seperti itu? Kenapa tidak dari dulu? Tapi, sebagai pesuruh, Iwang hanya bisa mengangguk patuh pada keinginan sang majikan, apapun itu selama tidak bertentangan dengan norma kebaikan. Juna memang berkeinginan menguasai cara mengemudi mobil. Sejak datang ke dunia modern ini, dia terpukau dengan cara orang modern mengendarai kendaraan, terutama mobil. Jika dia melihat orang berkendara motor, itu mengingatkan dia akan menunggang kuda. Sedangkan mobil mengingatkan dia akan kereta. Yang cukup membuat dia terkejut, ternyata mobil tidak hanya dikendarai lelaki saja, tapi wanita juga bisa! Sungguh sebuah kemajuan era yang tak pernah terpikirkan di benak Juna. Di eranya, peran wanita hanya ada di dapur dan ranjang semata. Bahkan sudah terpatri kuat dalam falsafah jawa kuno mengenai wanita yang Juna ketahui, yaitu tugas wanita yang hanya sebagai konco wingking atau teman belakang, sosok
Juna mengangguk dan mereka bertukar duduk. Dia tak sabar ingin segera menguasai cara mengemudi mobil agar bisa lebih mandiri nantinya, tak perlu repot mengajak supir ketika dia ingin pergi. Iwang dengan sabar memberikan arahan pada Juna. Berkat kecerdasan sang panglima, dia bisa menguasai mobil hanya dalam waktu setengah jam saja. Juna mulai luwes menggerakkan tangan dan kakinya untuk berkoordinasi mengemudi mobil. Laju mobil yang dikemudikan dia juga sudah setara dengan kemampuan Iwang. “Wah! Mas Juna cepat sekali menangkap pelajarannya!” puji Iwang pada majikan mudanya. “Hanya mengandalkan tekad dan keberanian saja, Mas!” Juna merendah. “Kalau begitu, apa aku boleh menjajal mengemudi mobil di jalan raya sekarang, Mas?” Iwang berpikir sejenak. “Hm, baiklah, Mas! Tapi ke jalan raya yang tidak terlalu padat saja, yah!” Juna mengangguk dan langsung melajukan mobil keluar dari kawasan tersebut untuk berbaur dengan kendaraan lainnya di jalan raya. Tadinya, Iwang sudah berdebar-deba
“Mas! Mas! Sini, biar aku saja yang mengemudi!” Tak mau sesuatu buruk terjadi pada majikan mudanya, Iwang lekas keluar mobil dan memapah keluar Juna untuk dibawa ke kabin navigasi. Kemudian, mobil mulai dijalankan Iwang sebelum mobil di belakangnya ribut membunyikan klakson. “Mas, saya antar ke rumah sakit, yah!” Iwang menoleh singkat ke Juna dengan pandangan cemas. Juna menggelengkan kepala tanpa menoleh dan menjawab, “Errghh … tak usah, Mas Iwang … hnnghh … ini … ini tak parah, kok!” Dia tak mau repot ke rumah sakit. Dia yakin dia masih sanggup menahannya. Yang mengherankan bagi Juna, begitu mobilnya sudah cukup jauh dari TKP kecelakaan, sakit di kepala dan dadanya mendadak saja lenyap tak berbekas. Juna sampai termangu keheranan. “Ini ….” “Kenapa, Mas?” tanya Iwang sambil melajukan mobil. “Masih sakit?” “Justru sebaliknya, Mas! Ini sembuh sepenuhnya!” “Sudah sembuh?” Meski heran, tapi Iwang bersyukur majikan mudanya sudah pulih sehingga dia tak akan dimarahi majikan tuanya.
Malam harinya, Juna menenggelamkan diri pada pekerjaan memeriksa semua data perusahaan yang dia kelola. Dia tidak mau dipecundangi seperti Arjuna sebelumnya.Jabatan sebagai CEO memang terlihat bonafid dan membanggakan, tapi kalau tidak becus dan selalu dicurangi anak buah sendiri, bukankah itu menggelikan sekaligus mengenaskan?Sebagai panglima hebat di masa lampau, Juna tak mungkin menginginkan situasi seperti yang dihadapi Arjuna.Sementara itu, di kamarnya, Lenita gelisah menunggu sang suami. Berulang kali menoleh ke pintu, lalu beralih ke jam di dinding. Selalu begitu urutannya seakan sudah menjadi satu paket.‘Kenapa si sialan itu belum datang juga?’ pekik benak Lenita setelah lirikan ketiga puluh sembilan kalinya pada jam di dinding.‘Cih! Bukannya aku mengharap-harap si bodoh itu datang, sih … tapi kan … unghh ….” Lenita malah kesulitan sendiri memikirkan alasan sebagai jawaban atas ucapannya di benak. Dia tak mau mengakui bahwa dia menginginkan sentuhan Juna.Meskipun mungkin
“He he he … ditanya kok malah memaki? Ck ck ck … tidak seharusnya wanita terhormat mengucapkan makian semacam itu.” Juna melipat kedua tangannya di depan dada sambil menampilkan wajah mencemooh Lenita.“Itu gara-gara kau sendiri yang mengagetkan aku!” Lenita sudah melayangkan pukulan manja ke arah dada suaminya.Tapp!Janu lebih dahulu menangkap dua pergelangan tangan Lenita dan berkata, “Kenapa malah menyalahkan aku?”“Dari mana kau, hah?” Lenita melotot tanpa menarik tangan dari genggaman Juna.“Apakah aku punya kewajiban menjawab pertanyan semacam itu?” tantang Juna.“Si—sialan kamu! Ini rumah papaku, maka aku berhak tahu apapun yang ada di sini!” Lenita kesal dan berkata, “Pasti kau baru melakukan hal kotor di luar sana!”“Apakah duduk santai di taman samping termasuk hal kotor? Yah, mungkin juga karena lantainya pasti kotor saat aku duduki.” Juna mengedikkan bahu secara santai.“Bohong!” Lenita terlanjur menuduh dan dia malu.“Aku tidak memaksamu percaya padaku.” Juna memainkan a