Nyai Pitaloka seketika membelalakkan kedua matanya lalu tersenyum, seolah mengetahui sesuatu yang luar biasa, "Astaga! Puji Bethari!Wah, tak salah lagi, anakmu telah dikaruniai berkah para Bethara, ia kelak akan mempunyai kekuatan besar untuk merubah dunia," ucapnya penuh semangat. Mata Arya melotot karena terkejut dengan pernyataan gurunya itu, "Hah? Merubah dunia? Gak terlalu lebay tuh, Nek? Emang di kira Naruto apa?" celetuknya asal nyeplos. "Naruto? Apa itu?" sahut Prameswari penuh kepolosan. Arya menjawab dengan asal, "Tetangganya Bambang kang parkir," dengusnya. "Kekuatan apa nek maksudnya?" Dilla memotong obrolan Arya dan kakak iparnya dengan menimpali sebuah pertanyaan. "Dilla, apa kau bermimpi atau mengalami sesuatu yang aneh sebelumnya?" tanya Nyai Pitaloka dengan raut wajah serius. "Nahh itu dia guru yang mau aku jelaskan," tutur Prameswari sambil menepukkan kepalan tangan kanan ke telapak tangan kirinya, "Biar Dilla saja yang menceritakan semuanya guru," imbuh Prame
"Arrrghhhhh!" Keceriaan yang semula terpancar dari wajah mereka berempat, seketika berubah menjadi kekhawatiran yang sangat mendalam pada kondisi Dilla yang sedang memegang perutnya sembari menjerit kesakitan. "Dilla! kamu kenapa!" teriak Arya terkejut dengan kondisi istrinya itu. Dilla bergerak tak menentu di atas kasur, sembari terus memegangi perutnya, "Perutku sakit sekali Arya, tolong! Aku gak kuat!" Dilla merintih dalam kesakitannya. "Apa dia sedang kontraksi Guru?" tanya Prameswari. Nyai Pitaloka mencoba memeriksa perut Dilla, "Sepertinya begitu, Arya! kalau kau hendak ke rumah sakit, aku akan memindahkanmu dan Dilla dengan teleportasi saat ini juga, ia butuh penanganan medis segera, sebenarnya aku bisa saja menolong Dilla untuk melakukan persalinan, tetapi alangkah baiknya ia mendapatkan persalinan secara normal sebagai manusia," ujarnya memberi jalan keluar. "Iya guru, aku mengerti, tolong antar aku ke rumah sakit segera guru!" ucap Arya sedikit memohon. Nyai Pitaloka
Di sebuah ruangan bersalin yang bernuansa putih dan biru di penjuru ruangan, terlihat seorang wanita tengah berjuang antara hidup dan mati berusaha untuk menjalani proses persalinan yang disaksikan oleh makhluk yang berbeda alam. Setelah lebih dari dua puluh menit melakoni proses yang mendebarkan itu, akhirnya tibalah saat ketika terdengar suara tangisan seorang bayi mungil memecah kesunyian di dalam ruangan itu. "Oeeeekkk, oekkkkk!" terdengar suara tangisan malaikat kecil yang akhirnya terlahir di dunia ini. Perawat tadi langsung memotong tali pusar yang terhubung pada ari-ari si jabang bayi. Dokter wanita itu kemudian mengangkat bayi yang masih berlumuran air ketuban dan juga sedikit dar*h, "Alhamdulillah bayinya sehat dan juga tampan Mas, mbak," ucap dokter itu lalu meletakkannya di atas perut Dilla yang masih bermandikan keringat. "Mas, mbak maaf saya permisi dulu, saya masih harus menangani pasien lain yang sudah menunggu," ucap dokter wanita itu seraya menyunggingkan senyum
Fajar mulai menyingsing di ufuk timur memancarkan cahaya jingga kebiruan, yang menyeruak memenuhi hamparan langit pagi itu. Hawa sedikit dingin disertai hembusan angin lirih menyibak kalbu, membawa kedamaian hati tiap insan yang bernyawa. Ayam jantan berkokok sahut menyahut di kejauhan, di iringi suara kendaraan yang mulai berlalu lalang di jalan raya yang sebelumnya hening. Terlihat beberapa orang mulai sibuk dengan aktifitas pagi harinya, termasuk beberapa pegawai rumah sakit tempat Dilla melahirkan buah hatinya beberapa saat yang lalu. "Arghhhhhh!" terdengar teriakan dari dalam kamar pasien. Ketika Arya dan Prameswari sedang bercengkrama di ruang terbuka rumah sakit, mereka tiba-tiba mendengar suara teriakan dari dalam kamar Dilla yang tengah beristirahat untuk memulihkan kondisinya pasca persalinan. "Dilla!" teriak Arya sambil beranjak dan berlari menuju sumber suara teriakan yang baru saja ia dengar bersama Prameswari, kakaknya. Ketika mereka berdua sampai di ruangan
Suasana genting di dalam kamar pasien,"Udah mbak gak perlu tanya, yang jelas sekarang mbak pergi menjauh dulu ya mbak, bisa kan ndorong sendiri?" Arya tersenyum lalu meninggalkan wanita yang beberapa saat lalu mengangguk mengiyakan pertanyaan Arya. Dhuarrrr! Gubragggg! Makhluk besar itu terpental dan menabrak meja kotak yang ada di samping ranjang pasien, "Uwarghhhhh!" geram Reksakarna setelah terkena sabetan pedang Prameswari di dada kirinya. "Mbak, kau tak apa-apa?" teriak Arya ketika baru saja kembali ke dalam ruang pasien yang sudah porak poranda itu. "Iya dek, mbak gak apa-apa, tolong kamu diam saja di situ, tunggu aba-aba dari aku!" perintah Prameswari kepada adiknya yang sudah dalam mode waspada itu. "Oke kak siap!" Arya langsung mengeluarkan cincin yang sebelumnya ia kantongi, lalu mengenakannya pada jari tengah tangan kanannya. "Huh huh, lumayan kuat juga makhluk ini!" gumam Prameswari sembari kembali merapalkan sebuah mantra untuk melancarkan serangan selanjutn
Suasana yang sebelumnya tenang dan jauh dari keramaian tiba-tiba menjadi heboh karena kejadian abnormal di ruangan Cempaka 2 tepat di sebelah ruangan istri Arya yang sedang dirawat. Terlihat 2 jin wanita, 1 manusia, dan 1 siluman tengah berada di dalam ruang yang telah hancur akibat pertarungan sengit dua sosok tak kasat mata beberapa saat yang lalu. Beberapa barang yang ada di tempat itu pun tak luput dari mereka, menyebabkannya hancur dan berantakan. Di tengah ruangan telah berdiri sesosok makhluk tinggi besar yang menyeramkan. Makhluk yang bernama Reksakarna itu tengah di amati oleh Nyai Prameswari, guru spiritual Arya dari alam jin. "Loh? Apa ini!" matanya terbuka lebar ketika melihat tanda aneh di punggung Reksakarna. "Guru lihat apa?" tanya Prameswari dengan nada sedikit penasaran. Ia lantas beranjak dan menghampiri gurunya yang tengah menunduk memperhatikan tanda itu. "Ini, rasanya aku pernah melihat tanda ini, tapi di mana ya, aku lupa! Nduk, apa kau tau tanda ini?" ucap
Suasana terasa begitu hening tatkala beberapa pasang dari mereka tengah menatap makhluk yang sedang berdiri tegap itu. Mata Prameswari sekarang menatap gurunya itu, "Kutukan? Apa maksud guru?" Nyai Pitaloka beranjak dari tempatnya lalu duduk di atas meja yang sedikit rusak, "Iya, tanda ini mengandung sebuah mantra kutukan yang membuat pemiliknya bersumpah untuk selalu setia kepada kelompok pemberontak itu," ujarnya dengan sorot mata serius. "Hmm, terus kalau gak setia gimana nek?" celetuk Arya yang terkesan asal nyeplos. "Yah konsekuensi umum yang sudah pasti kalian ketahui, yakni kematian. Apabila salah satu anggotanya berkhianat atau membocorkan rahasia perkumpulan itu, tanda ini akan secara otomatis menyebarkan racun mematikan di tubuh pemiliknya." jawab Nyai Pitaloka dengan wajah tanpa mimik, sengaja di buat sedemikian rupa untuk menakuti kedua muridnya. Arya yang tak begitu memperhatikan wajah gurunya hanya bisa menjawab seadanya tanpa keseriusan, "Waduh, udah kayak di pile
Ruangan semi VIP yang sebagian besar di penuhi warna biru dan putih itu mendadak sedikit gempar karena kehadiran sesosok makhluk tak kasat mata berwujud bapak-bapak berjubah putih. Sosok familiar itu berdiri di samping ranjang pasien sedang bercengkrama dengan Dilla. Ketika mereka bertiga memasuki ruangan, sosok jin itu langsung menoleh dan tersenyum santai ke arah mereka seakan tak terjadi apa-apa. "Loh? Kenapa kau tiba-tiba ada di sini?" teriak Nyai Prameswari kepada sosok tua itu. "Haha, jangan kaget begitu Nyai, aku hanya menjenguk istri dari muridku, sekaligus melihat anaknya, iya kan Nduk?" ucap santai sosok berkumis itu sambil mengerling ke arah Dilla. "Ahh i-iya kek," sahut Dilla sedikit terbata-bata. "Argadhanu! Seharusnya kau mengabari dulu kalau mau ke sini," ucap Nyai Prameswari seraya berjalan menghampirinya. Argadhanu menghela nafas panjang, "Ah, buat apa, wong ya nantinya juga bakal ketemu, lagian aku bosan sendirian di alam jin, Chandranala pergi tak tahu