***
“Bagaimana keadaannya saat ini?” tanyaku, Violet memalingkan wajahnya dan melihat ke arah belakang punggungnya, Larissa tengah tertidur pulas di atas kasur berselimut panjang dan tebal.
“Dia belum terbangun sampai saat ini, mungkin kondisinya masih belum benar-benar fit,” ucap Violet.
Ia tarik kembali selimut yang ada di atas kasur dan mulai menutupi tubuh Larissa yang terlihat gemetar kedinginan. Benar-benar wanita yang hebat, ia memikul penderitaan dan dan kesendirian seorang diri.
Kumelangkah mendekati Larissa dan duduk di samping kepala wanita tersebut, wajahnya benar-benar menarik ketika tengah tertidur. Namun, semakin kutatap erat wajah Larissa, semakin kumencintai Misa dan Rafael yang menunggu dengan cemas di Filipina.
“Cavid sudah menunggu di Bandara,” jelas Violet, aku tersenyum tanpa mengalihkan pandanganku dari wanita yang tengah tertidur di depanku.
“Apa kamu menyukainya, Revan?&rdquo
*** “Menjadi seseorang yang terus terlena dengan masa lalu, hanya akan mengundang kesedihan di masa depan.” Larissa berkata demikian, usianya yang lebih tua dariku tentu membuatnya memiliki segudang pengalaman tentang masa lalunya. Aku yakin, ia juga menempuh banyak jalan untuk bisa melewati penderitaan yang ia rasakan selama ini. “Aku sama sekali tidak terlena, kami sudah saling melupakan satu sama lain,” balasku, Larissa berdecak merespon perkataanku barusan. “Aku tidak percaya, tatapanmu barusan menyiratkan kalau ada sesuatu yang masih kamu rasakan dalam hatimu,” jelas Larissa, untuk hal ini, aku tidak ingin menimpal atau membalas perkataannya lagi. Ia tampak sudah menyadari kalau aku memang masih belum mampu melupakan Tiara, kenangan selama beberapa tahun menjalin kasih dengannya tidak mudah kuhapuskan begitu saja. Jauh dari lubuk hatiku yang terkecil dan dalam, aku memiliki sedikit perasaan untuk kembali ke dekapannya. “Tidak muda
“T-Tidak ada, apa kamu pikir aku menyembunyikan sesuatu tentangnya?” tanya Larissa. Meskipun ia mencoba mengelak dengan meyakinkanku kalau ia tidak ada kaitannya dengan Stefano. Namun, aku tidak mudah dibodohi begitu saja, aku bisa melihat dengan jelas raut wajah kebohongan yang tengah ia tunjukan. “Iya, kamu bukan hanya menyembunyikannya, kamu sedang mencoba menghindariku tepat ketika tahu kalau aku akan membunuh Stafeno dan para kroconya,” jawabku dengan tegas, hal itu sontak membuat Larissa terkejut dan semakin terlihat gemetar pucat. “Tidak, aku sama sekali tidak bermasuk untuk—” “Beritahu aku sekarang, apa hubunganmu dengannya?” tanyaku, tanpa banyak mendengarkan ucapan Larissa aku langsung mengajukan pertanyaan demikian padanya. Wanita itu terdiam, ia benar-benar terpaku tak mampu berbicara sama sekali. Aku manfaatkan momen ini untuk terus memojokan posisinya, membuatnya mengakui apa yang kutuduhkan padanya. “Baiklah, tapi hubung
*** Pada akhirnya, Larissa akan melakukan apa yang kuperintahkan. Ia tak bisa menolaknya, benar-benar tidak bisa mengorbankan puluhan anggotanya yang tak bersalah karena keegoisan atas pilihannya. “Aku tidak bisa memberikan keringanan apa pun, apa kamu pikir kamu bisa selamat setelah membohongi dan membuatku terlihat seperti orang bodoh karena silsilah keluargamu?” tanyaku. Seharusnya aku mengeceknya sendiri, mulai dari identitas, kelompok, hingga silsilah keluarganya. Kuingat kembali saat itu aku benar-benar sibuk menyusun rencana, jadi aku menerimanya karena tidak ada pilihan lain lagi. “Aku menyediakan beberapa orang kepercayaanku yang akan menemanimu membunuhnya.” Kubalikan tubuh ini dan memandang tubuh Larissa yang sudah berpakaian rapi dan berseragam lengkap dengan rompi anti peluru. “Jika mereka mendapati kamu ragu atau justru berkhianat denganku, salah satu dari mereka akan melubangi kepalamu saat itu juga,” sambungku. Kuraih r
***“Siapa sebenarnya yang menangkap Tiara?” tanyaku dengan cemas.“Dari yang kudengar, mereka hanyalah penjahat simpatisan dari kelompok kita,” jawab Nathan.Aku tidak bisa menyalahkan mereka, bagaimana pun juga mereka sudah melakukan yang terbaik untuk melindungi informasi seputar Cincin Hitam. Namun, yang kusesalkan adalah kenapa mereka bertindak melakukan penyekapan terhadap orang tersebut, Tiara.“Apa kamu akan menghukum mereka semua?” tanya balik Nathan.Aku yang duduk di kursi depan melirik ke arah luar mobil, memandangi gedung-gedung bertingkat yang terlihat besar dan mewah. Aku memutuskan dalam keheningan dan ketenangan hati kalau aku tidak akan menghukum mereka.“Mereka tidak akan mendapatkannya,” balasku.Aku yakin, Nathan pasti terkejut mendengarnya. Akan tetapi, ia tidak balik bertanya atas keputusanku, tata krama yang bagus ia tunjukan dalam menyikapi perintahku.&ld
“Lepaskan ikatannya,” ujarku, Nathan segera mengambil pisau yang ada di atas meja dan memutus tali yang mengikat tangan dan kaki Tiara. Tiara terjatuh di dekapanku, segera kuangkat dan kubawa pergi dari gubuk kayu tersebut. Mereka, orang-orang yang menyekap Tiara hanya bisa melongo kikuk melihatku membawanya. “Kemana kita akan membawanya?” tanya Nathan. Pertanyaannya menghentikan langkahku, aku tidak mungkin membiarkannya berada di salah satu markas cincin hitam, ia bisa saja bertindak lebih nekat dengan menyusup ke kediamanku. “Kita bawa saja dia ke rumahnya, ia tidak akan menyadari kalau kitalah yang menyelamatkannya,” ucapku, Nathan mengangguk tanpa membantah. Nathan langsung melajukan mobilnya, melintasi gelapnya malam ibukota menuju daerah tempat Tiara tinggal. Kuletakan wanita itu di belakang dan masih dalam keadaan yang tak sadarkan diri. Setengah jalan menuju rumahnya, mobil Nathan berhenti tatkala aku memerintahkannya. Pria it
*** Kami langsung melaju dengan kencang menuju kantor polisi, menjenguk dua orang yang sangat kunantikan raut mereka, Soo dan Reno. Cavid tidak banyak bertanya tentang alasanku, ia juga akan menyadarinya ketika mendengar percakapanku dengan kedua orang tersebut. Nathan mengirimkanku pesan teks, di dalamnya mengatakan kalau dia sudah mengantar Tiara sampai ke depan rumahnya. Ia bisa mengetahui alamat yang kukasih dengan baik karena dia sudah beberapa tahun di Jakarta tatkala menemani Violet. “Kerja bagus,” tulisku dalam pesan yang terkirim ke Nathan. “Tentang kunjungan kita ke kantor polisi, apa mereka tidak akan mencurigaimu?” tanya Cavid, kedua matanya masih fokus mengamati jalanan di depannya. Itu sama sekali tidak menjadi kekhawatiran bagiku, Soo dan Reno tidak dibawa ke Markas besar polisi. Mereka berdua masih ditahan di kantor polisi tingkat kota, sehingga para perwira polisi itu tentu tidak akan mengenal diriku dengan pasti. “Tid
*** “Apa kalian menikmati sel ini?” tanyaku dengan wajah sinis. Reno bangkit dan menatapku sedari dekat, hanya jeruji besi yang dingin yang hanya membatasi jarakku dengannya. Kutatap matanya seraya melipat kedua tanganku di hadapan pria pengkhianat tersebut, ekspresi Reno begitu mengkerut, memandangku dengan arti kebencian yang terpendam. “Bagaimana kamu masih hidup?!” tanya Reno, tegas. “Panjang kisahnya, satu hal penting yang perlu kamu tahu,” jawabku, kumelangkah maju mendekati telinga Reno. “Aku memiliki rekan setia yang mau berkorban untukku,” timpalku berbisik. Mendengar kalimat satire dariku membuatnya semakin berang, tangannya yang besar langsung mencengkeram kerah bajuku dan menariknya mendekat. Alhasil kepalaku terbentur jeruji besi dengan keras hingga orang-orang di belakangku tersentak kaget. “Sialan! Apa kamu mencari mati?!” bentak Cavid. Ia melepaskan cengkeraman Reno dan justru berbalik menarik tubuh pria
***Terdengar teriakan dari dalam ruang interogasi, suara seorang wanita yang begitu tak terima dengan perlakuan yang ia dapatkan. Kubiarkan Stefano mendengarnya agar ia bisa menyadari kalau hidup Larissa tak lagi berarti kecuali sebagai alat untuk pelaksana tugasku.“Ia tersiksa, terpaksa memilih jalan kotor ini karena memilih untuk mengikutimu. Apa kamu sama sekali tidak merasa bersalah atas hidupnya?” tanyaku dengan perlahan, aku berdiri di samping Stefano dan melirik kepadanya dengan sorot mata penuh arti.“Aku tidak ingin melakukan ini. Ia bisa menjadi kaki tanganku yang sempurna untuk rencana-rencana Cincin Hitam di Indonesia.”Kuputar tubuhku dan kini kami berdua kembali saling berhadapan satu sama lain, beradu pandang dalam pusaran emosi yang menggebu-gebu. Aku memilih bersikap tenang agar ia merasa terpojok atas ucapannya sendiri.“Jadi, kamu menyalahkanku atas pilihannya mengikutiku?” tanya Stefano.