***
Setelah situasi dirasa cukup kondusif. Aku berpamitan dan tak lupa berterima kasih pada keramahan pemilik rumah yang telah menerimaku.
Mereka hanya terdiam dengan wajah yang kaget, itu terjadi setelah aku menjelaskan apa yang terjadi belakangan ini pada organisasi Cincin Hitam.
Tanpa sepatah kata pun, mereka membiarkanku pergi dan segera menutup pintu rumah mereka rapat-rapat.
Aku menyadari sikap mereka, sudah cukup buruk tinggal dan hidup di tempat kumuh seperti ini, mereka enggan berurusan dengan polisi terkait diriku.
Aku berjalan sempoyongan, seragam staf hotelku lusuh. Ini diakibatkan pertempuran dengan polisi yang banyak membuatku kerepotan. Malam hari semakin gelap dan dinginnya malam semakin terasa menyeruak masuk ke setiap rongga tubuhku.
“Akh … aku sangat lelah,” keluhku.
Kususuri setiap jalan di daerah tersebut, hanya ada satu tempat yang bisa aku tuju, persembunyianku di rumah kecil. Di sana biasanya Tiara sudah menungguku dengan banyak kejutan yang menanti.
Jaraknya sekitar 1,5 meter dari tempatku berada, berada di daerah pelosok yang jarang orang ketahui. Hanya beberapa orang terdekatku, termasuk Reno yang mengetahui rumah kecil tersebut.
Aku mengkhawatirkan keadaan Gisele, wanita itu yang terjebak dalam keadaan yang runyam bersamaku. Pasalnya, Gisele mungkin tipe wanita yang tak tahan jika harus menghadapi interogasi keras dari polisi.
Aku melintasi jalan tepat di dekat hotel Viscara. Kulihat ada beberapa mobil yang masih bersiaga, tidak sebanyak saat dini hari tadi.
Aku juga melihat dengan samar kalau Gisele sedang ditanyai beberapa hal oleh petugas, untungnya ia tidak panik dan bisa mengontrol dirinya dengan baik, aku bisa menilainya lewat wajah murah senyum yang ia tunjukan.
Sebuah mobil SUV berwarna hitam tiba dan berhenti tepat di depanku. Pintu mobil terbuka dan melihat Reno yang datang menjulurkan tangannya untuk membawaku pergi, aku melihat di dalamnya terdapat orang-orang selain Reno.
“Apa Tuan baik-baik saja?” tanya Reno, cemas.
“Iya, aku hanya lelah bertempur dengan mereka, para aparat sialan!” bentakku.
Mereka membawaku pergi, ingin kuajak Gisele sebenarnya. Namun, melihat situasi wanita itu tengah berada di antara para polisi, sangat tidak dimungkinkan untuk menariknya kemari.
“Sekarang apa yang akan kita lakukan, Tuan Revan?” tanya Reno.
Aku terdiam, ada beberapa hal yang harus kupastikan. Kepolisian pastinya menggunakan banyak alat canggih untuk mendeteksi keberadaan setiap anggota Cincin Hitam. Oleh karena itu, membuat identitas baru menjadi pilihan utama untuk keselamatan anggotaku.
Reno dan beberapa orang di dalam mobil itu masih memandangku penasaran, mereka menunggu titahku untuk menyelamatkan cincin hitam yang dijebak. Kulihat mobil ini mengarah kepada rumah kecil tempat aku bersembunyi.
“Suruh anggota kita untuk mengganti nomor ponsel mereka dan hentikan aktifitas cincin hitam selama 1 bulan ke depan,” perintahku.
Reno tanpa banyak meragukan langsung mengangguk pelan, begitu juga dengan orang-orang di tempat tersebut. Dalam sekejap, keadaan di dalam mobil itu berubah menjadi ruang rapat darurat, mereka menelepon para pimpinan daerah untuk menyampaikan apa yang kuperintahkan.
Tak terasa, mobil ini sampai di depan gang tempat rumah persembunyianku berada. Mereka masih berada di dalam mobil dan beberapa masih sibuk mengatur situasi di berbagai daerah.
“Bersembunyilah beberapa hari. Keadaan Jakarta sangat mencekam bagi Cincin Hitam,” perintahku kepada mereka semua, teman-teman kerja dan rekan terpercayaku.
“Baiklah. Jaga dirimu, Tuan Revan,” ungkap Reno, pria itu berpamitan seraya menutup pintu mobil SUV tersebut.
Kini aku hanya terdiam sendiri, memikirkan langkah selanjutnya yang perlu aku lakukan. Gang besar yang mengarah ke rumah kecilku ini tampak sepi, tentu saja, siapa juga orang yang akan berkeliaran di sini jam 3 pagi dini hari.
Kulangkahkan kaki ini menyusuri jalan di gang tersebut, jalan yang cukup bagus dan sudah diaspal dengan baik. Rumahu berada dijajaran kedua dari belakang yang langsung menghadap ke arah sawah kecil.
Kubuka pintu dan tertampak jelas kalau Tiara sudah terlelap di atas kasur kecil. Wanita itu tak sungkan-sungkan tidur di rumahku ketika ia bosan berada di rumahnya, bahkan aku dengannya pernah berbagi ranjang berdua.
Rasanya penat sekali, serasa setiap tulang di tubuhku hendak terlepas. Pertempuran dahsyat antara aku dengan para polisi itu pasti akan terjadi lagi di waktu dekat, aku harus segera mempersiapkannya sebelum hal itu terjadi.
“Kamu baru pulang?” tanya Tiara yang sontak mengejutkanku.
Ia berjalan dari dalam kamar dan menatapku dengan mata lelahnya. Ia tidak menyadariku yang masih memakai seragam hotel Viscara, jika saja ia menyadari bisa berbahaya mengingat kepolisian tahu kalau akulah yang membunuh anggota mereka.
“Iya, aku akan segera mandi. Kembalilah tidur, Sayang,” ungkapku, kukecup pelan kening Tiara membuat wanita itu tersenyum bahagia.
Sesuai dengan perintahku, ia langsung beranjak dan kembali tidur, sedangkan aku harus segera menyingkirkan pakaian ini agar Tiara tidak menemukannya.
Tetesan air mulai membasahi kepala dan tubuhku, aku masih bersandar pada dinding kamar mandi ketika shower itu mulai memberikan keteduhan padaku.
Kasus yang dialami oleh cincin hitam bukan sesuatu yang bisa dianggap remeh, karena banyak orang yang terancam karena kasus ini.
***
Alarm di atas nakas membangunkanku dari tidur singkat ini. Kulihat di sampingku, Tiara tampaknya sudah pergi dari rumah ini. Ia harus kembali bertugas di kepolisian sebagai seorang detektif muda.
Kuangkat tubuh ini dan melihat ada sarapan yang terbungkus plastik makanan. Tampak sebuah catatan kecil yang berada di atasnya, pesan yang berisi kalau Tiara harus pergi untuk menyelidiki kasus kematian Anggota Dewan.
Aku hanya tersenyum, Tiara harus memulai penyelidikan kasus cincin hitam di samping ia padahal sudah berada dekat dengan pemimpin cincin hitam, aku sendiri.
Kusantap sarapan yang disediakan Tiara untukku, rasanya sangat enak dan gurih. Ia memang pandai memasak dan aku sangat menantikan setiap masakan yang ia buat.
Hari ini menjadi hari pertamaku berada di persembunyian, kulihat seluruh berita di TV berisi tentang penggerebekan polisi di Hotel Viscara. Dengan berita yang terus menerus diulang bukan tidak mungkin kasus pembunuhan Anggota Dewan Luqman bisa membooming.
Pintu rumah diketuk pelan, kuberjalan menuju arah pintu masuk dan kubuka perlahan. Mereka yang datang bertamu, orang-orang berjas hitam dengan kaca mata hitam yang cukup elegan. Mereka adalah orang-orang yang semalam menyelamatkanku dan membawaku ke dalam mobil.
Aku merasa kedatangan mereka kemari untuk memberitahu kabar terbaru dari perintah yang kuberikan. Benar saja, mereka menjelaskan detail progres perintah yang kukatakan.
Mereka mengatakan hampir seluruh anggota di seluruh Indonesia mulai menutup diri dan memutus komunikasi dengan Organisasi Cincin Hitam.
“Beberapa eksekutif juga sudah melakukan hal yang sama, sekarang Cincin Hitam sudah sepenuhnya nonaktif,” tegas salah satu wanita, ia meletakan map berisi dokumen dan grafik yang menunjukan efek dari penonaktifan cincin hitam selama 1 bulan.
Memang benar, ada beberapa agenda yang harus dihentikan, salah satunya adalah pertemuanku dengan Nyonya Missa terkait pembelian senjata. Aku harus merelakan beberapa pertemuan penting demi keselamatan cincin hitam.
“Cukup banyak sektor yang terdampak, bagaimana dengan saham?” tanyaku.
“Saham sama sekali tidak terdampak, karena kepemilikannya adalah individu. Mereka para eksekutif akan menjaga aset saham semampu mereka,” ujar wanita tersebut.
Syukurlah, saham bisa dipertahankan dan aku bisa membantu mereka para eksekutif untuk menjaga saham yang secara tak langsung sebenarnya milik cincin hitam.
Kuberikan map itu kembali dan menyuruh mereka untuk pergi, penjelasan pagi itu cukup jelas bagiku untuk menyusun strategi.
“Apa Reno tidak datang bersama kalian?” tanyaku.
“Reno ada urusan dengan keluarganya, mungkin dia akan datang siang nanti, Tuan,” pamit mereka.
Segera kututup pintu tersebut dan kutarik gorden jendela agar terlihat rumah ini kosong. Benar-benar seperti berada di pengasingan. Aku mulai menelepon beberapa orang dan menanyakan mengenai kejadian pembunuhan tersebut, salah satunya adalah Lucas. Anak dari Luqman.
“Baiklah, aku akan segera ke sana!”
*** Setelah mendengarkan penjelasan dari mereka, aku mulai memfokuskan agenda hari ini untuk mengunjungi beberapa orang, salah satunya Lucas, anak dari Anggota Dewan Luqman. Kuraih pakaian sederhana di dalam lemari kayu, sebuah setelan sweater berwarna abu dengan celana jeans hitam, ditambah topi dan kaca mata membuatku seolah-olah bertransformasi menjadi orang yang berbeda. Aku dengan Lucas sudah beberapa kali bertemu di berbagai kesempatan, umurnya yang tidak terpaut terlalu jauh denganku membuat perbincangan kami terasa mengalir layaknya anak muda. Kini, fasilitas seperti mobil, penjagaan, dan senjata tidak kumiliki. Semuanya aku tinggalkan agar identitasku tidak diketahui dengan mudah oleh kepolisian, hal yang sama juga kuperintahkan kepada seluruh jajaranku di Cincin Hitam. Setelah dirasa semua rapi, kulangkahkan kaki ini menjauhi kamar dan membuka pintu rumah sederhana tersebut. Cuaca di siang hari itu begitu terik, bahkan panas
Tak kuduga kalau Tiara akan berpapasan denganku di rumah Luqman. Ia tengah berjongkok di depan noda darah seraya memegang sebuah plastik dengan tangan yang terbalut sarung tangan plastik berwarna putih.Ia seketika menghentikan aktivitas pemeriksaan itu dan berjalan dengan lenggang melewati garis polisi menghampiriku. Aku sama sekali tidak menemukan raut kecurigaan dari Tiara, ia bersikap ramah layaknya seorang kekasih menyapa pasangannya.“Kukira kamu pergi bekerja, Revan. Apa kamu sedang mengunjungi Lucas?” tanya Tiara, ia tersenyum membuat hatiku cukup lega.“Iya, aku sedang istirahat makan siang, karena lokasi yang berdekatan, aku sekalian mampir ke rumahnya,” ucapku.Baik Lucas atau Tiara tidak ada yang mengetahui identitasku yang sebenarnya. Mereka hanya mengetahui kalau aku adalah pekerja kantoran yang mendapatkan gaji standar UMR.Tiara juga tidak berniat mengulik kehidupanku lebih jauh, karena kita berpegang teguh p
Pria misterius itu masih berdiri di depanku, memegangi revolver yang tampak begitu nyata dan menatapku tajam. Reno dan Violet berada di belakang mengawasi dengan seksama.“Ikutlah denganku, kita bicara di pojok ruangan sebelah sana,” pinta pria tersebut.Aku mengangguk, kulangkahkan kaki ini bersamaan dengan pria itu yang mulai pergi. Tak hanya dia, hampir setengah dari pengunjung kedai kecil itu tampak misterius, mereka menatapku dan tak sedikit yang berdiskusi.“Apa kalian lakukan di sini sebenarnya?” tanyaku.Pria itu berhenti, ia segera mengeluarkan revolver dari dalam saku celana dan menodongkan benda itu tepat di depan dahiku.“SIALAN KAU!”“Jika kau maju, kepala bosmu akan berlubang saat ini juga,” ujar pria tersebut.Aku menyadari, mereka tidak bisa bertindak gegabah saat ini, semua yang mereka lakukan bisa menyebabkan nyawaku hilang di tangan para sialan ini.Namun, dari
Seperti dugaanku, ketika mobil kami sampai di depan rumah kepala kepolisian. Tampak kosong dan sepi penghuni, hanya ada beberapa orang yang berjaga seperti petugas keamanan.“Sepertinya mereka sedang tidak ada di sini,” ucap Reno.Aku mengangguk, ingin sekali aku melabrak dan menanyakan tentang semua yang tidak kuketahui padanya. Namun, aku juga tidak bisa terus berdiam diri di sini dengan harapan kedatangan kepala Kepolisian dengan segera.Kulirik jam tangan di tanganku, waktu sudah menunjukan pukul lima sore. Sudah waktunya aku pulang ke kontrakan kumuh nan kecil di pinggiran kota, begitu juga dengan Reno dan Violet yang pasti mempunyai kehidupannya sendiri.“Kita lanjutkan besok hari, sebaiknya kalian berdua beristirahat,” ucapku.Mereka mengangguk, apa pun yang keluar dari mulutku selalu mereka patuhi, meski pun perintah itu buruk bagi mereka. Kesetiaan kedua orang itu tak perlu diragukan lagi, mereka masih berutang budi
***Violet, ia datang melihatku bangun tanpa sehelai benang apa pun yang menempel. Wanita maniak pria atletis itu pasti sangat berhasrat ketika melihat tubuhku yang ia dambakan sejak lama.“Aku … biasa tidur dengan bertelanjang,” ucapku.“Oh apa itu kebiasaan atau memang suhu di ruangan ini cukup panas?” tanya Violet.Aku bangkit dari atas kasur dan memakai celana dalam dan celana pendek untuk menutupi daerah privasiku. Violet masih menunggu di ruang tengah dengan kedua lirikan mata yang masih memandang ke arah tonjolan di antara selangkanganku.“Apa kamu mau aku membantumu?” tanya Violet, dengan wajah malu-malu menunjuk kearah selangkanganku.“Tidak perlu. Apa ada urusan penting sampai kamu datang kemari?” tanyaku.“Oh iya, Aku datang ingin membawakanmu dokumen terkait identitas dari Budi. Ada beberapa hal yang mungkin bisa kamu lihat di dalamnya,” ucap Violet sambil
***“Apa hubunganmu dengan mereka?” tanya pria tersebut, dengan wajah yang cukup memar karena beberapa kali kupukul dengan keras.“Kurasa kau tidak perlu tahu urusanku dengan mereka. Kau hanya perlu menjawab apa kau berada di balik pendanaan ilegal ini?”Aku tidak perlu bertanya lebih jauh lagi, ototku lebih banyak bereaksi dibandingkan otakku. Jika ia masih enggan menjawab, aku bisa saja menghantam wajah pria busuk itu dengan kepalan tanganku.“Aku tidak perlu memberitahumu tentang itu, lagi pula kalian tidak akan bisa pulang ketika menginjakan kaki di rumah ini.” Pria itu mengancam dengan wajah yang menegang, kedua matanya melotot tajam kearahku mencoba mengintimidasi hati nuraniku untuk mengampuninya.“Tuan Revan, ini percuma.”Violet datang setelah mendengar keriuhan di balik pintu ruang kerja Budi. Wanita itu menduga kalau orang di tempat ini mulai curiga karena Budi yang tak lekas datang
***Mereka membawaku masuk ke sebuah gang sempit, di dekat pertokoan besar yang tersambung dengan rute jalan utama Ibukota. Mereka berjalan dibelakang dengan beraturan, tak ada satu orang pun yang kukenali dari mereka semua.“Siapa kalian?” tanyaku berkali-kali. Namun, mereka masih diam membisu seolah-olah mengacuhkanku.Beberapa langkah dari gerbang awal gang tersebut, mataku berjumpa dengan sebuah rumah kecil, sempit dan kumuh tepat di belakang pertokoan megah Jakarta. Rumah itu tampak kosong dan sunyi, seperti tak ada tanda kehidupan di dalamya.“Tunggu di sini.”Dua dari lima orang di belakangku mulai masuk ke rumah tersebut, mereka menyalakan senter dan mulai mencari sesuatu yang tak kuketahui.Datang setelah 5 menit berlalu, mereka membawa sepucuk surat yang tampak berdebu. Surat tanpa tujuan pengirim, hanya ada prangko kuno yang terpasang dan diduga berasal dari tahun 90-an.“Ia menitipkan ini pada
***Tiara datang ke kontrakanku tepat pukul 7 malam, ia masih mengenakan seragam detektifnya dan terlihat keringat mulai mengalir dari ujung kepalanya. Entah kenapa, aku sangat suka melihatnya bermandikan keringat seperti itu.“Apa kamu berlari untuk datang ke sini?” tanyaku sembari menjulurkan handuk kering padanya.“Entahlah, rasanya tubuhku ini sangat gerah sejak tadi siang.”“Mungkin kamu jarang berolahraga belakangan ini,” ledekku, ia mencubit pelan pinggangku dan berjalan dengan anggun masuk ke kamar.Kuraih beberapa sayuran dan daging dari plastik belanjaan, aku sempat membelinya di swalayan terdekat sepulangnya aku dari restoran Jepang. Kubeli kol, sawi, bawang, cabe, dan sayuran lainnya, sengaja kubeli banyak variasi karena kupikir Tiara sangat menyukai sayur-sayuran.“Mandilah, aku akan mempersiapkan makan malam,” ucapku.Tiara mengiyakan dari balik pintu kamar, terdengar suara