“Apa yang engkau tanam hari ini, itulah yang dituai di kemudian hari.”
🌹🌹🌹
Mendengar cerita yang dituturkan oleh amaknya, ada rasa bangga yang tumbuh di hati Maiza. Betapa tidak? Keluarganya adalah keturunan orang baik dan berada. Nenek moyang mereka juga pejuag sekaligus tokoh masyarakat.
Sampai saat ini nama baik itu sering diceritakan dari orang tua ke anak-anak. Ia ingin ketika Anton dan Rayya sudah besar kelak dapat meniru semangat pendahulunya. Ia ingin sekali menceritakan kisah yang sama supaya anak-anaknya mengenal nenek moyang mereka.
“Hebat ya, Nek. Kakek kita seorang pejuang. Dengar tuh, Anton … Rayya. Kita contoh semangat kakek kita,” ujar Maiza mengajari anaknya.
“Iyo, Bu,” sahut Anton dengan antusias mendengarkan cerita, umurnya sudah cukup besar untuk mengerti silsilah keluarga. Sedangkan Rayya yang berjarak tiga tahun dari Anton, hanya asyik bermain boneka. Ia belum mengerti tentang obrolan mereka, hanya menoleh sambil menatap dengan sorot mata binarnya, sesekali mengoceh dengan bahasa yang hanya dimengerti olehnya sendiri.
Sementara mata Mak Saidah sudah mulai berkaca-kaca. Ada beban berat di hati yang membuat mulutnya terkunci selama ini. Ia menjadi gelisah lalu menyandarkan tubuhnya di dinding. Beban yang dipikulnya selama bertahun-tahun, yang belum juga berjumpa jalan terang. Namun, bagaimanapun itu, Maiza harus tahu mengenai warisan keluarga yang turun-temurun menyiksa.
“Mak, kalau sudah capek, tidurlah dulu!” ujar Maiza yang sadar melihat kondisi amaknya yang lelah.
“Nggak bisa tidur, dia kerap kali datang mengganggu,” kata Mak Saidah resah.
“Siapa yang datang, Mak?” tanya Maiza lagi.
“Peliharaan kakekmu itu yang telah membuat abakmu sakit!” jelas Mak Saidah dengan intonasi yang lebih cepat nafasnya terdengar keras, rahangnya yang sudah keriput itu mengeras karena teringat pada pengorbanan sang suami.
Semasa Abak Jalal hidup, ia telah melarang memelihara barang simpanan itu bahkan berniat menghancurkannya, tetapi belum ada cara yang lebih mudah. Sehingga dia menjadi tameng, daripada anak dan istrinya teraniaya. Ia menjadi benteng pertama yang menghadang.
Akan tetapi, Maiza masih tidak yakin sebab belum pernah melihat langsung barang itu. Kerap kali dia menyangkal tuduhan orang tentang keluarganya, perihal bersekutu dengan setan. Namun, ketika amaknya sendiri yang berbicara, Maiza terperangah tak percaya.
“Betul tu, Mak? Mana ada hal yang begitu sama kita, Amak jangan bercanda,” tanya Maiza, ia menyakinkan diri kalau keluarganya tidak memilikinya, tetapi ia sendiri mulai goyah pada kenyataan yang terjadi.
“Tolong, Amak.” Mak Saidah menggapai tangan Maiza. Putrinya itu pun membantu amaknya berdiri, berjalan arah ke bilik. Mak Saidah minta ditidurkan di kasur. Kemudian mengajak Maiza duduk bersamanya.
“Dulu Nenek bercerita, ada tiga buah guci sebesar jempol kaki. Amak nggak tau, entah moyang yang mana mambawanya. Barang itu sudah ada di rumah kita sejak lama," jelas Mak Saidah, suaranya memelas antara kesedihan dan penyesalan.
Mak Saidah menunjuk ke arah pagu di sudut rumah seperti mau memberitahu sesuatu, tetapi berat mengatakannya. Kemudian dia berdiri mendekati lemari dengan langkah tertatih. Meraba-raba tangannya di bawah lipatan baju terdapat sebuah dompet kecil dari sana. Maiza tercengang, mulutnya membulat-melihat benda yang dikeluarkan oleh amakny. Terasa familier sering dilihatnya ketika sedang membersihkan baju di lemari.
“Ini … saya pernah melihatnya ketika membersihkan baju,” ucap Maiza.
“Iya.” Ibunya menjawab dengan singkat.
“Jika nanti saya tak ada, beri makan dengan ini, ya!" titah Mak Saidah sambil memperlihatkan serbuk berwarna kuning yang terbuat dari emas murni.
"Hhhmmm, jika tidak mau, segera binasakan! Jangan sampai terlambat kalau tidak, mana yang ketemu orang itulah yang dimakannya. Akibatnya bisa dapat penyakit aneh susah cari obat penyembuh. Obat dari rumah sakit pun tidak akan manjur karena panaruah ada penunggunya," jelas Mak Saidah menambahkan.
Maiza hanya kebingungan mendengar penjelasan dari ibunya, baru saja tabir rahasia keluarga mereka terbuka. Awalnya dia menyangka hanya gosip semata, ternyata semua menjadi jelas yang tersebar selama ini benar adanya sama seperti yang dikisahkan Mak Uwo Tini. Keluarganya menyimpan rahasia yang jika orang lain mengetahuinya tentu akan mengutuk mereka.
“Untuk apa manfaatnya untuk Maiza, Mak? Tidak perlu, gimana cara menghilangkannya?” tanya Maiza penasaran.
“Kato orang pintar yang pernah ketemu dengan Abakmu, cara menghancurkannya dengan dibakar. Tidak hanya barang simpanan itu, tetapi juga seluruhnya, rumah tempat bernaung dan harta benda yang dijaganya tidak boleh diambil sedikit pun bahkan pakaian juga mesti ditinggalkan. Amak tidak sanggup seperti itu, Za. Miskin sekali. Makanya barang itu masih ada.”
Maiza hanya terpana mendengarnya, kepalanya menjadi pusing penglihatannya berkunang-kunang. Bagaimana mungkin caranya harus keluar rumah tanpa sehelai benang melekat di badan lalu membakar semua kekayaan sama saja dengan membunuh harga diri dan membinasakan semua keluarga.
Berbagai pertanyaan menggerogoti kepalanya. Apakah benar selama ini abaknya sudah menjadi tameng mereka, apakah anak-anaknya korban tumbal? Bagaimana ia akan menghadapi Pakiah nanti, suaminya yang pasti belum tahu juga keberadaan panaruah itu. Apakah Pakiah akan menceraikannya, bagaimana Aanton dan Rayya? Semua pikiran yang negativ menghabiskan tenaga Maiza, pelan-pelan dia mengayunkan langkah yang berat, keluar menjauh dari bilik.
Kemudian mendekati kedua anaknya lalu mendekap mereka. Maiza tidak dapat lagi menahan kerusuhan dalam hatinya. Dipeluknya erat kedua balita tersebut lantas dicium dengan penuh kasih sayang. Pipinya sudah terasa panas oleh buliran air bening terus saja bergulir.
Menjadi keluarga pemelihara tubo sangatlah berbahaya, jika orang sempat mengetahuinya dia dan anak-anaknya akan sengsara. Seperti hidup segan mati tak mau, dikucilkan dalam hal apa pun yang berkaitan dengan sosial masyarakat.
“Bu, kok nangis, Ibu?” tanya Anton dengan wajah lugu sambil mengusap pipi ibunya yang rinai oleh air mata, hati Maiza semakin hancur menatapnya.
“Ibu sayang Uda, sayang Rayya. Maafan Ibu, Nak.” Maiza mengungkapkan kasih sayang yang dalam pada kedua anaknya. Ia belum tau harus berbuat apa hanya kata maaf yang terlontar dari mulutnya.
“Bagaimanapun kita buang barang yang menyiksa itu,” gumam Maiza sendiri. Kemudian Maiza menggendong Rayya dan menggandeng Anton ke dalam biliknya, ia butuh ketenangan dengan merangkul anak-anaknya.
Sementara Mak Saidah menyaksikan kegelisahan putrinya juga tidak bisa berbuat banyak untuk menghibur perasaan Maiza yang hancur. Ia sudah lebih dahulu mengalaminya pada beberapa waktu yang silam. Ketika kebahagiaan dalam berumah tangga sedang pada puncaknya. Suaminya mendapatkan kabar dari orang lain perihal warisan itu hingga tidak ada pilihan selain bersedia menjadi tumbal
Menyaksikan Maiza saat ini seperti melihat bayangan dirinya pada waktu itu, ketika ia juga diberitahu oleh sang Ibu tentang rahasia keluarga. Namun, cinta yang tulus dari suaminya sanagt besar masih setia dan tidak meninggalkannya. Sedangkan nasib putrinya belum ada kepastian sebab menantunya tidak tahu menahu soal itu.
“ Langgengnya sebuah hubungan disebabkan karena saling jujur dan terbuka”Hari-hari Maiza tidak seperti sebelumnya, ia seperti orang yang sedang kalimpasingan, tidur gelisah duduk resah berjalan pun gundah hatinya, wajahnya yang elok berubah murung, sudah seminggu larut dalam pikirannya sendiri. Sampah bekas makanan anak-anak belum dibersihkan. Dapur juga diabaikannya tidak sekali dua kali piring kotor menumpuk dalam panci.Pakaiannya tampak lusuh karena sudah dari kemarin dikenakan, kodek bermotif batik yang membentuk di pinggangnya juga sudah kotor oleh tumpahan minum Rayya. Hal yang dilakukan Maiza hanyalah berkurung diri dalam bilik atau bercengkerama dengan kedua anaknya. Pakiah yang melihat perubahan mood
“Berbaiklah saat ini dengan saudarakarena mereka adalah tempat kamu mengadu di masa depan.”🌹🌹🌹“Pakiah …,” ujar Mak Uwo Tini, Mak Saidah dan Mak Palindih serempak berdiri.“U--da, dah lama U--da di sana?” tanya Maiza gagap, ia menelan saliva membasahi tenggorokan yang kering.Sementara Pakiah masuk ke dalam rumah, duduk dengan tenangnya lalu bersikap bijaksana padahal amarah membara dalam jiwa. Wajahnya memerah dari biasanya, sorot mata yang tajam seakan akan memotong-motong lawan bicara. Melihat suaminya tidak menanggapi, ia beranggapan kalau suaminya tidak mendengar pembicaraan mereka. Kemudian Maiza beranjak ke dapur, membuatkan secangkir teh.
“Akar penyakit adalah hati yang kurang bersyukur."🌹🌹🌹Usai perdebatan yang terjadi tempo hari dengan Mak Palindih dan Mak Uwo Tini, Pakiah mengajak Maiza pergi jalan-jalan, tujuannya ke Pakan Rabaa. Tiga lembar uang bergambar monyet berjuntai diberikan pada istrinya untuk belanja. Maiza sangat bahagia dengan sikap Pakiah yang kembali ramah, tidak kaku seperti sebelumnya.“Uda, adik minta maaf soal kejadian kemarin.” Maiza menyalami punggung tangan Pakiah.“Sudah uda maafkan. Sekarang ayo kita bawa anak bermain. Biar dapat angin segar. Cepatlah berkemas.” Pakiah menyuruh Maiza bersiap-siap.Kemud
“Kasih orang tua sepanjang masa, Kasih anak sepanjang jalan ke surgayaitu doa anak yang saleh” 🌹🌹🌹Perawat membawa Rayya ke ruang penanganan. Maiza dan Pakiah juga ikut serta. Maiza sangat tersiksa melihat Rayya terbaring di kasur yang beralaskan perlak selebar satu meter itu. Tubuh mungil yang tergolek lemas karena suhu tubuhnya masih panas, jari-jarinya yang kecil terkulai di tepi ranjang. Ibu siapa yang tidak teriris melihat putrinya yang semakin pucat. Naluri keibuan mengatakan, biarlah ia menjadi pengganti, tidak tahan melihat Rayya yang menderita.Perawat datang bersama seorang dokter muda. Langkah mereka cepat sehingga hentakan sepatu yang keras membuat lantai semen itu mengeluarkan lengkingan.&ld
“Orang munafik, manis di luar, busuk di dalam.”🌹🌹🌹Mendekati waktu senja Maiza dan Anton telah sampai di Pakan Rabaa. Tidak ada lagi oto cigak baruak yang mangkal. Alamat ia dan anaknya berjalan sejauh tiga kilometer. Ketika azan Maghrib berkumandang, Maiza dan anaknya masih melatih kaki untuk kuat berjalan. Ketika seperempat jalan sudah ditempuh mereka berpapasan dengan Tukang Angkat yang mengendarai becak, si Tukang Angkat menawarkan Maiza dan Anton pulang bersama. Maiza menjadi lega dia tidak sendiri di kegelapan yang hanya ditemani remang-remang cahaya bintang.Sesampainya di rumah, disambut oleh Mak Saidah. Perempuan tua itu tidak melihat keberadaan menantu dan c
“Harta yang didapatkan dengan jalan menzalimi tidak akan berkah”---Di Batu Gading, nagari yang terletak di kaki gunung dekat ke Pakan Rabaa. Nagari Batu Gading menjadi perlintasan, jika mau ke kampung Rayya mesti melalui nagari ini dulu. Di sana tepat di pinggir jalan terdapat kantor urusan Nagari. Sekarang sedang ramai dikunjungi oleh penduduk, mereka menanti keputusan sidang tentang siapa yang akan menjabat sebagai Pak wali berikutnya.Sidang yang sedang digelar dalam gedung sederhana Balai Kerapatan Adat Nagari (KAN) berlangsung dengan alot, setelah lima calon peserta PILWANA[1] yang berkompetisi, hanya dua orang yang lolos dalam seleksi. Mereka adalah Syaiful Tuanku Labai, putra asli Batu Gading, sosok yang cerdas tamatan Pondok Pesantren ternama di Agam, setelah tamat Diploma, ia menetap di kampung sebagai guru mengaji dan baru menikah setahun yang lalu dengan anak bako.[2] Bernama Santi, yang saat ini
“Fitnah lebih kejam dari pembunuhan.”----Hari ini Pakan Rabaa sangat ramai banyak orang berjualan di los-los. Pembeli juga banyak dari biasanya, ada yang memang berniat untuk belanja ada pula yang hanya datang untuk bermain saja mencuci mata bahkan ada yang sekedar sarapan pagi makan lontong sayur di kedai Kak Meri. Rasanya yang legit berpadu dengan kuah tauco memang menggugah selera. Meskipun tempatnya kecil, hanya ukuran 4 x 3 sentimeter. Namun, orang antri hendak makan di sana. Begitu pula dengan dua orang perempuan itu, mereka beasal dari Batu Gading. Mereka juga sedang menikmati makan lontong di sana. Sembari makan, mereka bercerita tentang kejadian yang sempat menggegerkan seantero Nagari, yaitu tentang kematian Wali Nagari Baru.“Masa iya? Pak wali yang sehat bugar itu tetiba aja sakit, sedang bicara di podium lagi, banyak orang yang menyaksikan.” Seorang gadis yang berselendang biru memulai otanya.[1]&l
“Perselisihan dalam keluarga seperti Pariuak dengan sanduak Jika Tidak berselisih maka tidak akan ada rindu” 🌹🌹🌹 Ketika sampai di rumah, Mak Saidah menjadi bersemangat naik tangga hendak menemui Maiza. Mulut orang tua itu, mengeluarkan sumpah serapah yang tidak habis-habisnya untuk si pemetik lado. “Kalera!”¹ “Hidup dengan orang seperti benalu, tapi menggigit pada induk semangnya.” “Ular berbisooo!” “Cucuku … cucuku yang malang sekali.”