Rintik hujan menyambut Tika saat dirinya keluar dari dalam taksi. Awalnya Axel menawari untuk menjemput Tika, tapi dia bersikeras untuk datang sendiri ke tempat pertemuan. Tika ingin merasakan kencan yang biasa tanpa kemewahan ataupun fasilitas yang berlebihan.
"Ax, aku ingin berangkat sendiri seperti wanita lain," ucap Tika saat Axel menawarkan untuk menjemput Tika.
"Tika, banyak juga wanita lain yang dijemput oleh kekasihnya saat pergi berkencan," sanggah Axel.
"Iya, aku tau. Tapi, Ax, aku beneran ingin pergi sendiri. Aku ingin merasakan debaran selama perjalanan menemuimu." Tika tetap ngotot, bahkan dia mengubah suara dan mimik mukanya demi membujuk Axel.
Axel yang melihat kekasihnya begitu menggemaskan saat bersikap manja membuatnya luluh, "Baiklah, Nona muda. Aku kabulkan permintaanmu."
"Terima kasih, Axel. Aku tidak akan mengecewakanmu." Tika mengatakan itu dengan hati riang. Dia sudah bertekad akan tampil secantik mungkin apalagi Axel
"Rei, tolong cepat atau kita akan kehilangan jejak Tika!" perintah Axel pada Reiden usai mereka menemukan lokasi Tika melalui pelacak yang diletakkan pada sepatu Tika. "Axel, ini sudah kecepatan paling maksimum. Aku takut kalau lebih cepat dari ini, kita sudah lebih dulu mati karena kecelakaan sebelum berhasil menemukan Tika," ujar Reiden seraya tetap fokus dengan jalanan yang dilaluinya. "Baiklah, baiklah. Apakah masih jauh?" "Tidak, di persimpangan depan, kita belok ke kanan. Disitu pelacaknya terdeteksi." "Oke. Semoga mereka tidak menyadari keberadaan pelacak itu,"harap Axel. Sayangnya, harapan itu harus kandas. Saat mobil yang membawanya dan Reiden sampai pada titik, yang ditemukan hanyalah sepasang sepatu yang tadi Tika pakai. Para penculik sepertinya menyadari bahwa di dalam sepatu itu terdapat pelacak dan memilih meninggalkannya untuk mengecoh pengejar. Axel mengangkat sepatu Tika lalu memeluknya. "Sial!" pekik Axel.&nbs
"Axel, axel, aku dapat rekaman kamera dasbor dari mobil yang kebetulan berada di jalan yang sama dengan mobil yang membawa Tika," ucap Reiden buru-buru pada Axel. Wajah Axel yang kusut setelah semalam suntuk tidak tidur karena harus melihat semua rekaman CCTV bahkan kamera dasbor mobil berubah lebih cerah. Bahkan senyum simpul mulai tampak di sana, "Benarkah? Tolong perlihatkan padaku!" Axel berjalan menuju ke tempat Reiden berada. "Lihat! Bukankah itu mobil yang membawa Tika? Platnya sesuai yang kita ingat," ujar Reiden senang. "Kamu benar. Di daerah mana ini?" "Sepertinya mengarah ke daerah di sekitar gunung Michellin." "Baiklah, ayo lekas kita kesana!" Axel langsung bergegas menuju pintu. Reiden mengikuti dari belakang. Dia merasa bersyukur akhirnya memiliki titik terang. Dia belum tidur sejak Tika menghilang meskipun tubuhnya terasa sangat lelah dan mengantuk. Namun, Reiden tahu, Axel pasti yang paling menderita jadi dia tidak protes."Rei, biar aku yang membawa mobil." Axel
"Bagaimana kondisi kekasih saya dok?" cerca Axel pada pria berjas putih yang baru saja memeriksa kondisi Tika. "Dia baik-baik saja, lukanya tidak parah dan sudah diobati," jelas sang dokter. "Tapi kenapa dia belum bangun dok? Sudah hampir 10 jam dia pingsan." Suara Axel masih penuh kecemasan. "Itu hal wajar, Pak. Nona Tika baru saja mengalami kejadian yang traumatis, sehingga tubuhnya ingin beristirahat. Saat cukup beristirahat, saya yakin dia akan bangun." Sang dokter menjelaskan dengan penuh pengertian. Axel tak mampu berkata-kata lagi setelah mendengar penjelasan dokter sebab semua yang dikatakan sang dokter benar. Tika mengalami kejadian yang buruk, kondisi psikologisnya pasti terganggu. "Kalau begitu, saya permisi dulu ya, Pak," pamit sang dokter seraya berlalu meninggalkan Axel. Sepeninggal sang dokter, Axel terpekur memandang wajah Tika. Wajah itu terlihat damai saat tidur seperti ini. Axel menghela napa. "Setidaknya, kau bisa sejenak melupakan kejadian menyakitkan itu, T
"Tika, apa yang terjadi sama kamu? Kenapa kamu sampai masuk rumah sakit?" cerca Rose saat menjenguk Tika di rumah sakit."Ceritanya panjang, Rose, bingung mau darimana mulainya," jawab Tika."Ih, kamu, ya. Aku mau tahu ceritanya tau," rengek Rose."Umm, aku nggak kuat mau cerita." Wajah Tika berubah sedih."Sudah, sudah, Rose, jangan tekan Tika kayak gitu dong," sela Reino yang ikut menjenguk Tika bersama Rose."Siapa yang nekan sih? Aku cuma ingin tahu apa yang terjadi sama sahabatku," ucap Rose sebal."Rose, aku memang belum bisa cerita. Kamu jangan marah sama Reino, dia pasti merasa iba melihat kondisiku," ujar Tika menenangkan Rose."Reino, makasih ya udah coba ngertiin aku. Tapi aku nggak tertekan karena pertanyaan Rose, kok. Nanti aku bakal cerita, tapi emang nggak sekarang," imbuh Tika sembari menatap Reino dan Rose bergantian."Oke deh, maaf ya, Tika, aku terlalu maksa. Ini aku khawatir sama kamu," sesal Rose.
Seorang wanita berambut violet tampak gusar. Berkali-kali dia melihat jam tangannya lalu mengumpat. "Sial, apa yang dilakukan lelaki itu, aku menunggunya hampir 15 menit," ucapnya gusar. "Laura, Laura," panggil seseorang. "Kau!" Mata Laura melotot. "Maafkan aku, Laura, aku tidak bermaksud membuatmu menunggu. Ibuku memerlukanku," ujarnya sambil mengatur napas. "Tidak ada dua kali. Aku cukup bersabar karena kau bilang akan menyampaikan sesuatu yang penting." Laura sudah kembali tenang."Terima kasih, Laura. Kau dan ayahmu selalu baik padaku dan ibuku.""Cukup, sekarang sampaikan yang kau bilang penting.""Ini tentang Tika dan Axel. Belum lama ini Tika diculik sampai harus masuk rumah sakit.""Hah? Apa? Siapa yang berbuat selancang itu?""Aku kurang yakin. Tapi setelah itu, Tika menjauhi Axel.""Aneh. Bukankah perempuan itu cinta mati pada Axel?""Iya, ini memang cukup aneh.""Aku yakin pasti ada sesuatu tentang penculikan itu, kamu dekati Tika atau teman dekat nya dan cari tahu tent
Sejak kembali bekerja, Tika belum pernah bertemu Axel sendirian, sehingga dia merasa cukup nyaman. Sayangnya hari itu, Tika tak seberuntung biasanya. Dia bertemu Axel saat kembali dari departemen lain. Lelaki itu tidak mengucapkan sepatah kata pun, melainkan hanya menatap Tika dengan dingin. Mata biru itu tampak begitu kejam dan asing. Tepat seperti pertama kali Tika melihatnya di New York. Tika merasa merinding, jantungnya berdebar. Dia ingin segera berlalu, tapi tubuhnya tiba-tiba kaku seperti patung. Setelah Axel berlalu dari hadapannya barulah Tika merasa lega. 'Ada apa denganku? Kenapa perasaanku berubah secepat itu?' tanya Tika pada dirinya sendiri. Saat melihat Axel, berbagai perasaan bercampur menjadi satu dalam hatinya hingga Tika sendiri bingung mana yang betul-betul hatinya rasakan. Mata biru Axel yang dingin membuat Tika takut, tapi kenangan saat mereka mendaki gunung membuat Tika merindukan lelaki itu."Lagi ngelamunin apa kamu, Tika," tegur Rose
"Selamat pagi, Tika." Sapaan Reino menyambut Tika yang baru saja keluar dari gedung apartemen. "Hai, Rei, selamat pagi," balas Tika. "Kamu tidur nyenyak semalam?" tanya Reino. "Hem, ya, aku tidur sangat nyenyak." "Syukurlah, aku senang. Aku harap kamu selalu sehat dan bahagia, Tika," tutur Reino penuh perhatian. "Ih, gombal sekali anda, ya." "Aku serius, Tik." Reino menghentikan langkahnya. Tika turut berhenti lalu menatap Reino, "Oke, oke, aku mengerti. Makasih, ya." Reino tersenyum lalu melanjutkan langkahnya kembali. "Tidak perlu berterima kasih, itu bukan hal yang hebat." "Siapa bilang itu bukan hal yang hebat?" Reino mengernyit. "Mendoakan orang lain bahagia dan sehat adalah hal yang hebat, Rei. Melakukan itu butuh ketulusan dan nggak semua orang bisa melakukannya. Makanya aku bilang itu hebat," cerocos Tika. Reino tersenyum mendengar jawaban Tika, "Terima kasih, Tik, sudah memujiku." "Sama-sama. Oh ya, kamu mau sarapan dimana? Ditempat kemarin?" "Boleh. Aku ikut ka
Bandara New York City "Hallo," jawab Axel pada orang yang tengah meneleponnya. "Ah, Ax, kau sudah sampai?" suara Reiden menyambut Axel. "Iya, aku baru saja mendarat. Ada apa Rei?" "Tidak ada, aku hanya ingin memeriksa kondisimu." "Aneh, tidak biasanya. Katakan padaku ada apa?" "Emm...," Reiden ragu-ragu. "Katakan saja." "Aku tidak yakin apakah ini penting." "Soal Tika, ya?" "Kurang lebih." "Katakan saja, Rei. Aku baik-baik saja." "Baiklah. Jadi begini, hari ini nona Tika kembali tidak masuk kantor." "Kenapa? Apa dia sakit lagi? Apa dia diculik lagi?" "Tidak, tidak, dia tidak diculik. Dia juga sehat." "Lantas apa yang membuatnya tidak masuk kerja?" "Sepertinya nona Tika diteror." "Teror? Apa maksudmu?" Axel menghentikan langkahnya lalu memilih menepi, keluar dari kerumunan orang yang sedang menuju pintu kedatangan. "Aku juga tidak tahu, Ax. Aku tidak bisa menghubungi nona Tika." "Lalu, bagaimana kau bisa tahu kalau Tika diteror?" "Aku tidak sengaja mendengar teman se