Share

Bab 2

"Halo, selamat pagi..." sapa Ardan dengan manis. Membuat Arni yang berdiri tidak jauh darinya mengerutkan kening penuh rasa curiga. Tidak biasanya suaminya bersikap seperti itu. Bahkan kepada dirinya, anak-anaknya, anggota keluarga yang lain, atau para tetangga sekalipun tak pernah Ardan tersenyum semanis itu. Tapi setahu Arni, suaminya sering kali bersikap semanis itu saat bertegur sapa dengan orang-orang kampung sebelah, kenalannya atau teman kerjanya.

"Itu telepon dari siapa Mas?" tanya Arni yang dipenuhi rasa ingin tahu. Namun Ardan hanya melirik dengan tajam kearah Arni, seolah mengingatkannya untuk tidak banyak bertanya.

Ah, Arni ingat. Mungkin dulu Ardan pernah tersenyum semanis itu kepadanya. Tapi itu dulu sekali saat mereka masih berpacaran hingga awal mereka memiliki anak pertama. Bahkan saat anak pertama mereka baru berusia lima bulan, mereka pernah bertengkar hebat.

"Sana pulang saja! Tapi jangan bawa anakku!" teriak Ardan dulu saat mereka bertengkar. Namun Arni tak tega bila harus memutuskan air susu untuk anaknya. Jadi saat itu Arni terpaksa mengalah. Saat itu entah apa yang membuat mereka bertengkar sehebat itu, Arni lupa. Tapi sepertinya, pertengkaran itu akan terulang jika kecurigaan Arni benar kali ini kalau suaminya tengah menyembunyikan sesuatu dengan kontak yang diberi nama 'Bu Lurah'.

Usai berteleponan, Ardan pergi begitu saja dengan motor metiknya. Tanpa berpamitan, pada hal Arni ada di teras dan berharap suaminya memberi tahu, siapa yang tadi menelepon. Atau setidaknya, berpamitan. Yah, meskipun Arni tahu kalau suaminya akan pergi bekerja.

Setelah Ardan tak lagi terlihat, Arni masuk ke dalam rumah. Ia segera mengumpulkan cucian kotor di keranjang, untuk ia masukkan ke dalam mesin cuci. Namun saat memegang kemeja yang semalam Ardan kenakan, Arni terpaku. Ia meraba kerah kemeja berwarna biru muda itu, teringat betapa tanda merah pada leher Ardan amat mengganggunya. Entah dengan dorongan apa, Arni berinisiatif untuk merogoh saku kemeja itu. Ada selembar kertas tisu yang sudah kumal. Arni mengernyit heran, "untuk apa Mas Ardan menyimpan tisu yang sudah kumal ini?" bisik Arni. Dengan jantung yang berdegup kencang, ia membuka perlahan tisu kumal itu. Betapa kagetnya ia, saat melihat sebuah nomor telepon tertulis di sana dan disebelahnya terdapat bekas ciuman menggunakan lipstik berwarna merah tua.

Hati Arni terasa teriris, perih sekali. Mendapati bukti yang semakin memperkuat prasangka buruknya terhadap Ardan. "Mas, apa kamu selingkuh?" tanya Arni dalam hatinya. Setetes air mata lolos dari matanya, dengan nelangsa Arni menyeka air mata itu.

Lalu ia segera mencari nota kecil yang biasanya digunakan untuk meninggalkan pesan kepada suaminya. Di tulisnya nomor telepon itu, dan ia kembalikan lagi kertas tisu itu ke dalam saku kemeja berwarna biru muda milik suaminya. Arni tak jadi mencuci. Ia letakkan kembali kemeja itu ke dalam keranjang pakaian kotor, untuk melihat apakah nanti suaminya akan mencari-cari kemeja ini.

Arni duduk termenung di meja makan. Menatap nasi goreng spesial dengan telur ceplok berbentuk hati yang ia buatkan untuk Ardan teronggok menyedihkan. Arni yang memang tak memiliki ponsel tengah berpikir, bagaimana caranya dia bisa tahu itu nomor telepon siapa. Di rumahnya juga tidak ada telepon kabel. Kalau mau menumpang ponsel teman atau tetangganya, takut malah menjadi rumit. Lalu dengan mantap, ia bangkit dan melangkah ke kamar. Ia lihat uang simpanannya di lemari, uang yang ia kumpulkan dari berjualan jajanan dengan dititipkan ke warung-warung tetangga. Ia hitung dengan seksama, ternyata cukup untuk membeli ponsel. Namun ia berpikir sayang, karena selama ini Ardan juga tak pernah memberinya uang lebih. Hanya pas-pasan untuk belanja sehari-hari dan membayar tagihan listrik maupun air saja. Bahkan uang saku anak-anak, harus ia ambilkan dari hasil berjualan jajan itu. Meskipun sesekali ibu atau bapak Ardan akan memberinya uang jajan untuk anak-anak. Sementara orang tua Arni, sudah meninggal semua. Ia hanya memiliki seorang kakak perempuan dan paman. Namun ia juga merasa tak enak kalau harus berharap diberi oleh mereka. Meskipun sebenarnya mereka tidak keberatan kalau Arni meminta sesuatu kepada mereka.

Arni melihat jam dinding yang terus berputar, sebentar lagi anak-anaknya akan pulang. Ia segera mengambil uang tabungan itu dan memasukkannya ke dalam dompet lusuh miliknya, lalu bersiap-siap menjemput mereka sekaligus mampir ke pertokoan terdekat untuk membeli ponsel. Tapi ia merasa tubuhnya amat lemas, tak mampu berjalan jauh. Sedangkan jarak ke sekolah anak-anak satu kilo lebih. Tak ada kendaraan lain di rumahnya, hanya ada motor metik yang suaminya pakai. Sedangkan kalau harus naik angkot, sayang ongkosnya. Karena keuangan rumah tangganya sangat pas-pasan.

Namun ia kembali memikirkan anak-anaknya, kalau Arni tidak menjemput, kasihan mereka harus pulang berdua. Mereka masih terlalu kecil untuk pulang sekolah sendiri tanpa di dampingi. Jadi, meskipun terasa lemas, Arni tetap memaksakan tubuhnya agar bangkit dan berganti pakaian yang rapi. Karena saat ini ia masih menggunakan daster lusuh seperti pagi tadi.

Arni mematut dirinya di cermin besar yang menempel pada dinding kamarnya. Ia berputar ke kanan dan ke kiri sambil berkacak pinggang. Kulitnya yang mulus kini tampak kusam karena tak pernah lagi dirawat. Ia terlalu sibuk merawat anak serta suaminya, sampai lupa pada diri sendiri.

Kini Arni sudah berganti pakaian menggunakan celana panjang longgar dengan kaus oblong lengan panjang. Lalu ia memakai jilbab instan untuk menutupi aurat di kepalanya.

"Memangnya apa kurangnya aku mas? Sampai kamu melirik perempuan lain? Apa karena sekarang aku tampak lusuh? Aku tak lagi molek seperti saat muda dulu? Tapi harusnya kamu tahu, aku jadi seperti ini juga karena lebih mementingkan merawatmu dengan anak-anak agar selalu tampil rapi dan bersih. Lagi pula, aku tetap berusaha rapi dan bersih meskipun tidak pernah lagi bersolek seperti dulu."

Arni berbicara pada cermin besar yang memantulkan bayangannya, seolah ia tengah bercakap dengan Ardan. Ia menatap telapak tangannya, di sana ia menggenggam sobekan kertas nota berisi nomor telepon yang tadi ia salin. Arni semakin merasa penasaran, sebenarnya siapa pemilik nomor telepon itu? Kenapa sampai ada tanda kecupan bibir di sana? Hati Arni kembali terasa sakit saat mengingat tanda merah pada leher suaminya. Ia bahkan semakin berprasangka kalau pemilik nomor telepon itu pasti orang yang berbeda dengan pembuat tanda merah pada leher Ardan. Karena tak mungkin Ardan akan menyimpan nomor telepon dalam tisu kumal kalau orang itu sudah meninggalkan tanda merah pada lehernya. Mungkin itu adalah kenalan baru Ardan, pikir Arni.

Setelah selesai bersiap-siap, Arni segera berangkat untuk menjemput kedua anaknya di sekolah. Ia tak mau kalau anak-anaknya harus menunggu terlalu lama. Cuaca yang panas tak membuatnya merasa malas, ia berjalan menyusuri jalanan tepi kampung sambil memakai payung untuk menghalau teriknya cahaya matahari. Untuk sampai ke sekolah mereka, ia harus melewati deretan pertokoan dan beberapa tempat makan. Saat melewati tempat makan dengan jendela-jendela besar, tanpa sengaja ia menoleh kesana. Tubuhnya yang semula terasa lemas, kini semakin tidak bertenaga. Kakinya tak kuat lagi menopang tubuhnya yang agak kurus. Dengan hati yang hancur, Arni jatuh terduduk di trotoar. Payung yang semula di pegangnya juga terjatuh begitu saja, beruntung tak ada angin yang menerbangkannya. Tangis yang sudah Arni tahan sejak subuh tadi, kini pecah. Ia beruraian air mata. Tak peduli lagi pada tatapan orang-orang di sekitarnya. Matanya masih menatap lurus ke dalam salah satu tempat makan dengan jendela besar, ia dapat melihatnya dengan jelas meskipun orang itu duduk memunggunginya. Kini prasangka buruknya benar-benar terjadi. Kecurigaan Arni terbukti. Ardan, suaminya ada di dalam sana bersama perempuan lain. Mereka tampak asyik bercanda, bahkan tak risih saling bergandengan di tempat umum. Namun ada sesuatu yang mengganjal, perempuan yang bersama suaminya saat ini Arni merasa sangat mengenalnya. Tapi ia juga merasa lupa, pernah bertemu dimana.

Saat perempuan itu menoleh ke arah Ardan yang duduk di sampingnya, samar-samar Arni mengenalinya. Meskipun masih belum pasti.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status