Share

BAB 5: Millia

Tujuh tahun yang lalu. Di sebuah rumah sakit.

Satu keluarga. Suami, istri, dan dua anak mereka terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Tubuh mereka terbalut perban di sana sini. Alat bantu nafas, sensor detak jantung, infus dan instrumen lainnya terpasang di sekujur badan mereka. Mereka tak dapat bergerak banyak karena parahnya luka-luka yang diderita. Gegar otak, patah tulang, memar, luka potong, dan sebagainya.

Tiga hari yang lalu, sang ayah, tipe laki-laki yang sayang keluarga, mengangkat pemukul baseball dan hendak meremukkan kepala istri dan anak-anaknya. Seperti mimpi buruk yang orang tak bisa terbangun darinya.

Semua berawal dari putri mereka bermain jelangkung. Dan yang datang dan tak mau pulang adalah satu makhluk astral yang memiliki kesenangan mempengaruhi sesama anggota keluarga untuk saling membunuh.

Kini pandangan mereka tertuju pada malaikat penolong mereka yang berdiri di dekat pintu. Seorang wanita paruh baya berkulit sawo matang. Rambutnya bagian atas diikat ke belakang, sementara sisanya dibiarkan terurai sebahu.

Bola mata satu keluarga itu berkaca-kaca. Sang istri sampai meneteskan air matanya. Lalu mereka semua mengangguk lemah kepadanya. Rasa haru meyelimuti perasaan wanita tersebut. Apalagi ketika si kecil yang perempuan memberikan simbol hati jari kepadanya. Ia senang mereka sekeluarga selamat. Kemudian ia membalas dengan anggukan dan senyuman, sebelum akhirnya memohon diri.

Saat wanita itu melangkah keluar dari kamar rawat, seorang wanita bercelana kodok bangkit dari bangku tunggu, menghampirinya dan berjalan di sampingnya. Ia bertanya, “Bagaimana tingkat harapan hidup mereka?”

“Mereka akan bertahan, Jeni.”

Jeni mengatup bibirnya rapat beberapa saat. Ia ragu untuk mengutarakan sesuatu yang dikandung hatinya. Akan tetapi kepedulian terhadap sahabatnya mendorongnya untuk bicara. “Lo harus berhenti membantu orang, Millia.”

Millia menghela nafas. Sahabatnya sudah sering memberikan nasihat yang sama seperti tombol replay di aplikasi audio.

“Bagaimana gue tidak membantu, Jen. Lo lihat kan kondisi mereka. Kematian sudah hampir di ujung mata. Jika waktu itu gue gak turun tangan…..” Millia berhenti sejenak, memikirkan opsi itu dan konsekuensinya. Lalu ia menggeleng. “Gak bisa, nurani gue bakal tersiksa, mengetahui ada orang yang akan celaka, sementara gue punya kekuatan untuk mencegahnya,” argumen Millia.

Jeni terdiam, ia paham sifat sahabatnya yang punya kepedulian yang hiper. Sifat yang mulia namun pada akhirnya akan merugikan dirinya sendiri.

“Tapi, bagaimana dengan anak lo? Dia masih kecil. Sementara tubuh lo sudah hampir mencapai batas maks. Lo bisa mati, minimal gila lah. Lo sudah terlampau banyak menyerap makhluk gaib. Bisa lo ngerawat dia, kalau kondisi lo berantakan?” ujar Jeni, mencoba memberikan alasan emosional yang logis.

Kekhawatiran Jeni bukan tanpa alasan. Memasukkan makhluk gaib berhawa negatif, mempengaruhi kestablian mental sahabatnya. Belum lama ini ia melihat amarah Millia meledak, hanya karena anaknya menumpahkan air putih di meja. Millia menggampar buah hatinya sampai sempoyongan.

“Gue terpaksa Jen. Lagipula semua yang masuk ke tubuh gue, gak bisa lagi keluar. Tak tahu pula gue cara mengeluarkan mereka. Dan kalau pun gue tahu dan mereka keluar, mereka akan mengacau dunia lagi,” ujar Millia beralasan.

Jeni mendongkol dengan keras kepalanya Millia. “Anak lo akan kehilangan seorang ibu. Lo gak akan selamat di kasus berikutnya. Jangan egois. Lo gak hidup sendiri. Kalau ini berlanjut, terus-terang, gue juga was-was membiarkan lo bersama anak lo. Ingat waktu itu, dia sampai masuk ke rumah sakit. Karena lo lepas kendali.”

Langkah Millia berhenti di jalan setapak yang membelah taman rumah sakit. Ia berkacak pinggang dan menghela nafas. Lalu menengok ke Jeni, “Lo curang, bawa-bawa anak gue ke masalah ini.”

“Biarin. Wanita keras kepala, harus ditusuk di titik yang menyakitkan biar sadar.”

Millia tersenyum dengan mata setengah menutup.

“Apakah metode gue berhasil?” tanya Jeni.

Millia diam sejenak, sebelum berkata, “Berhasil.” Lalu Millia memiting leher Jeni. “Ok, ok gue berjanji kasus kemarin itu, adalah kasus terakhir. Mulai hari ini gue akan menjadi manusia biasa seperti penduduk bumi lainnya.”

Jeni mengangkat tangan sedada dengan telapaknya menghadap ke atas, meminta sesuatu dari Millia.

“Apa?” tanya Millia.

Jeni hanya menggoyang-goyangkan jemarinya seperti belalai gurita.

Millia menggulirkan matanya memutar. “Baiklah..,” Ia memahami maksud tarian jari-jari itu. Millia membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah hape yang berstiker Ghostbuster. Benda itu sudah cacat di sana-sini akibat ia gunakan dalam menyelesaikan kasus-kasusnya selama ini. “Ini, kukembalikan. Harusnya lo jual saja penemuan lo ini. Pasti kaya raya.”

“Yah. Bisa saja sih. Masalahnya semua penemuan di dunia ini, selalu digunakan untuk militer. Gue gak mau orang mati karena penemuan gue. Gue cukup idealis mengenai hal itu. Kalau boleh sombong, penemuan gue ini sejajar levelnya dengan artificial intelligent dan rekayasa genetika. Bisa merevolusi segala bidang.”

“Lo memang JENI-US. Mungkin lo satu-satunya orang di bumi yang membuat penemuan di bidang supranatural. Lo bisa memenangkan hadiah nobel kategori baru.”

“Kelihatannya begitu, hahahaha….” Jeni memejamkan matanya tersenyum, membayangkan dirinya mendapatkan penghargaan bergengsi itu.

Jeni adalah seorang peneliti dunia gaib. Berbeda dengan penggiat supranatural lainnya yang melakukan pendekatan secara spiritual, ia mendekatinya dari sisi ilmiah. Menurutnya dunia gaib itu adalah parrarel universe atau multiverse yang sering diperdebatkan oleh para ilmuwan. Alam kembaran yang memiliki hukum alam yang berbeda.

Sebenarnya berbagai kitab suci telah menuliskan kesaksian tentang persinggungan interaksi antara alam tersebut dengan alam manusia. Hanya saja agama bukan ilmu pengetahuan yang dapat dipegang. Hanya sebatas kepercayaan yang bahkan kebenarannya dipeributkan di antara pemeluknya.

Saat ini dunia ilmu pengetahuan menganggap parrarel universe masih sebatas teori. Namun Jeni telah membuktikan keberadaannya secara ilmiah dan membuat teknologi dunia gaib, seperti hape dengan kamera yang bisa melihat makhluk-makhluk astral.

Millia dan Jeni berjalan keluar dari rumah sakit. Lalu Millia berkata, “Ngafe, yuk?”

Jeni tersenyum. “Traktir yak…”

“Traktir gak ya?” Millia berpikir dengan keras. “Hemm….”

Jeni memicingkan matanya, lalu ia nyerocos dengan cepat, “Menurut teori relativitas, ruang dan waktu tidaklah konstan. Karena itu, benda yang memiliki panjang L0 akan teramati sebesar L oleh pengamat yang bergerak sejajar dengan benda tersebut dengan kecepatan v. Semakin besar kecepatan pengamat…..”

“Ampun! Ampun ok, gue traktir. Tolong hentikan mantra saktimu itu. Rasanya gue jadi seperti Sun Wu Kong dibacain mantra oleh Pendeta Tong,” seru Millia, menutup kuping.

“Amitaba….” Jeni tersenyum. “He..he..”

Akhirnya Millia dan Jeni mengunjungi sebuah kafe bernuansa modern terletak di Jalan Amboa. Begitu pintu masuk dibuka, semerbak harum kopi langsung menyambut. Lebih cepat dibanding pelayan berdasi yang memandu mereka ke meja kosong. Warna coklat yang dominan, hitam dan kuning, terasa kental menyapu funitur, tembok, dan langit-langit serta lantai.

Millia duduk di kursi anyaman rotan, dengan bantalan bermotif floral. Sementara Jeni duduk di kursi sofa yang memanjang untuk beberapa meja. Mata mereka berkeliling memperhatikan ruangan kafe yang cukup luas dan agak penuh.

Sisi depan kafe terbuat dari kaca seluruhnya, sehingga cahaya matahari menerangi seluruh isi ruangan.

Di dinding sebuah jam ukuran jumbo tanpa kerangka, hanya jarum jam, dan batang-batang lurus penunjuk jam, menunjukkan pukul 10:17

“Brrr... ini kafe dingin amat, ya?” kometar Millia, “Salah pilih tempat nih.”

“Dingin? Yaelah ini paling cuma…” Jeni membasahi ujung telunjuknya dengan lidah, lalu mengukur temperatur ruangan dengan ujung syaraf jarinya. “18 derajat celsius. Lemah kali kau kedinginan,” ejek Jeni.

Millia cemberut, memajukan bibir bawahnya. Ia pegang cangkir kopi yang panas untuk menghangatkan telapaknya.

Tak sengaja mata Millia menangkap sosok yang ia kenal. Siska, tetangganya. Posisi duduknya memang berseberangan agak jauh. Jadi Siska tidak mengetahui keberadaannya.

Siska tidak datang sendiri. Ada seorang laki-laki bersamanya, tapi bukan suaminya. Millia tak dapat mendengar percakapan mereka, namun ia melihat sesuatu yang membuatnya melotot. Siska mencium lelaki itu di bibir.

Buru-buru Millia menutupi matanya dengan tangan. Ia berharap ia tak melihat perselingkuhan yang barusan saja ia lihat. Ia tak ingin tahu urusan rumah tangga orang.

“Hei, ada apa?” tanya Jeni.

Millia menggeleng. “Tak ada apa-apa.”

“Eh, apa lo tahu, hari ini, hari apa?” tanya Jeni.

“Sabtu?”

Jeni menggeleng, “Bukan.”

Millia membuka hapenya untuk memastikan. “Sabtu tuh?” katanya sambil menunjuk-nunjuk layar hape.

Jeni tersenyum, “Hari ini hari Bulan Gerhana Merah.”

“Memang kenapa?” tanya Millia.

“Ini fenomena alam yang jarang terjadi loh. Spesial. Posisi matahari, bumi dan bulan akan berada sejajar, dalam fase Supermoon. Jarak bulan dengan bumi berada dalam jarak yang terdekat. Sehingga ukurannya menjadi 30% lebih besar dari biasanya. Dan ini berlangsung hanya beberapa saat saja.”

“Terus kenapa?” tanya Millia, mengantuk mendengarkan hobi temannya yang senang dengan hal-hal semacam itu.

“Ah kau ini, tidak pernah tertarik dengan hal-hal penting. Dalam fenomena alam seperti ini akan ada sesuatu yang terjadi.”

“Apa tuh?”

“Makhluk-makhluk halus akan tampak.”

“Ah, yang benar?”

“Yaa, tidak terlalu kelihatan jelas sih. Ada sesuatu yang membuat tubuh halus mereka menjadi lebih memantulkan cahaya di momen itu. Mungkin sekitar 10%. Jadi terlihat samar-samar.”

“Kalau fenomena ini jarang terjadi, bagaimana lo bisa tahu akan hal seperti ini?”

“Dari internet.”

“Wow, okay,” kata Millia menggulirkan matanya memutar.

“Hei, lo pikir, ilmu dari mana gue bisa membuat hape yang lo gunakan selama ini. Jangan meremehkan internet.”

Jeni memang tidak pernah kuliah formal. Paling hanya sampai SMU. Setelah itu dia mempelajari hal-hal yang dia sukai dari internet. Millia seringkali kagum dengan kecerdasan sahabatnya.

“Terus kalau nampak, kenapa? Gue ajak kenalan?” kelakar Millia.

Jeni tertawa sambil berseloroh, “Yaaa, cuma info saja. Supaya lo gak kaget ntar kalau di WC, pas mau boker, tahu-tahu ada kepala kakek-kakek lagi mangap di lubang toilet.”

“Ih!” Millia melempar kertas tissue ke wajah temannya. Geli dia membayangkan itu. “Ha..ha..ha..”

Saat Millia tertawa, Jeni menyadari sesuatu. Asap putih yang keluar dari mulut sahabatnya makin ketara. Aneh.

Seharusnya suhu di ruangan itu tidak cukup dingin untuk membuat orang mengeluarkan uap seperti itu.

Apakah itu artinya….?

Millia berhenti tertawa. Ia juga menyadari hal yang sama. Ia memandang sahabatnya sesaat, lalu melirik ke hape Ghostbuster yang tergeletak di atas meja.

“Tidak,” potong Jeni sambil mengambil hape itu cepat-cepat dan menyimpannya di kantong. Ia tahu apa yang ada di pikiran Millia.

Mata Millia dan Jeni saling beradu. Seolah mereka sedang bertempur lewat pandangan. Masing-masing mencoba saling melancarkan tekanan tanpa berkedip. Siapa yang berkedip kalah dan harus tunduk pada keinginan lawannya.  

Energi yang terpancar dari mata keduanya seakan berkata,

“Berikan hape itu.”

“Tidak, lo dah janji.”

“Berikan hape itu.”

“Lewati mayat gue.”

“Hapeee…”

Fuck you!”

Selagi keduanya panco mata, Siska, tetangga Millia pergi meninggal meja. Ia dan selingkuhannya keluar dari kafe.  

Tak berapa lama kemudian Millia tersenyum. Ia mengedipkan mata, mengalah dan  berkata, “Ok. Kamu menang. Yuk, kita pulang.”

Jeni berbalas senyum. “Ok.”

Akan tetapi, senyuman Jeni bukanlah senyuman kemenangan, melainkan kecurigaan.

Jeni tidak menerima bendera putih Millia begitu saja. Ia merasa sahabatnya sedang merencanakan sesuatu. Ia sudah berteman cukup lama dengannya untuk bisa membaca nada suara Millia. Seolah ada satu set kombinasi nada tertentu yang bila tertangkap oleh kuping Jeni, menandakan ada sesuatu yang patut untuk dicurigai.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status