“Ma?”
Usia bianca 11 tahun saat itu. Ia terbangun karena angin kencang yang berembus dari jendela kamarnya. Sheila masih terlelap di sampingnya, mengkerut kedinginan.
“Mama?” panggil Bianca. Ada syal ibunya di kaki ranjang, sebuah tas tangan, dan dua gelas minuman yang dibawa ibunya untuk ia dan Sheila.
“Ma?” Bianca melongokan kepala ke luar pintu. Mengapa rumahnya mendadak sehening itu? Ke mana ibunya? Ayahnya? Para pelayan?
Bianca harus mencari mereka. Tapi sebelum itu, ia berjalan ke jendela kamarnya yang terbuka. Jendela kamar itu terhubung dengan balkon, dan tepat di bawahnya adalah kolam renang mereka yang besar.
bianca menarik salah satu pintu gesernya, mencoba menutup jendela itu, tapi ketika ia mendengar suara di luar balkon, ia bergerak perlahan.
Tubuh Bianca membeku di balkon. Matanya menatap balkon lain yang terhubung dengan kamar orang tuanya.
Pukul 9 pagi, Nindi itu masih asyik membeli kopi di kafe lantai satu Abraham Inc Tower, tempat kantor mereka berada. Kaki jenjangnya berhias sepatu hak tinggi berwarna hitam yang seksi, sewarna dengan rok pensil yang membalut pahanya dengan ketat. Ia tersenyum tipis kepada gadis di belakang kasir saat mendapatkan minumannya, lalu melangkah sambil terus menatap ponsel. Biasanya di jam-jam seperti ini kafe akan lebih sepi karena orang-orang sudah masuk ke kantor masing-masing. Namun entah mengapa hari itu ada beberapa anak kecil yang berlarian di dalam kafe. Dua wanita berpakaian necis asyik mengobrol, menempati salah satu meja kafe yang berhiaskan bunga mawar dalam vas. Nindi memutar bola matanya saat melihat keributan itu. Ia jengah melihat anak-anak dan segala kekacauan yang bisa ditimbulkan mahluk-mahluk berisik itu. Sialnya, saat Nindi baru akan membuka pintu kafe, salah satu bocah berkucir dua menabraknya. Praktis ia langsung tersan
“Apa saya terlambat?”Elegan, berkelas, dan jelas begitu mengancam. Karena selangkah kaki itu memasuki ruang meeting, aura di dalam ruangan itu langsung berubah. Wajah para pemegang saham dan sekretarisnya masing-masing tampak membeku dalam keterkejutan. Termasuk Damian dan Dandy. Mungkin hanya Nindi yang tidak mengenali siapa wanita cantik itu. Namun, wajah Nindi tetap ikut memucat saat melihat sosok lain yang berdiri di samping wanita itu.Clara Vivian Peruka adalah putri kedua keluarga Peruka, adik dari pendiri salah satu dari lima perusahaan kosmetik kenamaan di Indonesia, Claire Veline Peruka. Secara sekilas, orang tidak akan bisa membedakan Clara dan Claire, mereka kembar identik tapi dengan dua kepribadian yang sangat jauh berbeda.Claire yang juga seorang dosen bedah kulit dan kosmetologi Fakultas Kedokteran salah satu universitas di Indonesia, pada awalnya mendirikan sebuah laboratorium kecantikan yang ia namai se
“Secara otomatis, jabatan saya sebagai presiden direktur akan dialihkan kepada Bianca, keponakan saya. Dan saya akan mundur.” Deg. Ruangan itu membeku dalam keterkejutan yang lain. Semua wajah menunjukkan ekspresi yang sama, bahkan Indrawan Bimasena. Kedua tangannya terkepal erat. Dadanya bergemuruh, dan matanya menatap tajam sosok gadis bergaun merah di meja presiden direktur. Ini pasti lelucon. Bianca pasti sudah gila, batin Indra panik. Ia melirik ayah gadis itu yang memasang wajah begitu dingin. mulutnya memang terkatup rapat, tapi entah apa yang sudah ia persiapkan di dalam kepalanya yang keji. “Tapi ini tidak bisa diputuskan semudah itu!” ujar Dandy, baru saja terbebas dari keterkejutannya. Clara tersenyum tipis. “Anda bahkan tidak punya hak suara di sini, Pak Wakil Direktur,” senyum Clara membungkam Dandy dengan raut memerah marah dan malu. Ia menatap tajam Bianca yang duduk dengan angkuh di kursi itu.
“SIALAN!” Dandy menyapu bersih seluruh benda di atas mejanya dengan sekali gerakan. Beberapa benda langsung pecah saat terbentur lantai di bawah kakinya. “SIALAN! B*NGSAT KAMU BIANCA!” makinya keras. Wajah tampannya memerah marah. Rambut yang tadi tersisir rapi kini berantakan tak beraturan. Bahkan pakaiannya sudah sangat kusut. Jas yang ia kenakan terongok di lantai, habis ia lempar dan injak-injak. Kenapa jadi seperti ini?! Kenapa harus Bianca?! Kenapa ia tidak pernah memikirkan hal ini sebelumnya?! Kenapa Damian tetap diam?! “SIALAN KAMU BIANCA!” Dandy meninju dinding di belakangnya, membuat ruas jemarinya memerah. Tapi itu tidak mengurangi rasa marahnya sama sekali. Di luar ruangan Nindi tampak cemas. Ia bisa mendengar barang-barang yang pecah dan samar makian Dandy. Ia sendiri tidak berani masuk untuk menemui pria itu. Bisa saja kemarahannya akan tercurah kepada Nindi jika ia masuk sekarang. Di sampi
“Lembur?” Pertanyaan itu menyentak Nindi yang tengah berdiri di depan lobi kantor, menghindari gerimis yang datang bersama embusan angin malam. Pria yang sama seperti yang ditemuinya pagi ini berdiri dengan sebuah senyuman. Wajah ramahnya terlihat jauh lebih tampan. Aroma parfum langsung tercium harum saat ia mendekat. “Harusnya anak magang nggak perlu ikut lembur,” desah Indra, menatap langit yang masih menaburkan rintik gerimis, yang agaknya tidak akan berhenti dalam waktu singkat. “Ah, nggak apa-apa, Pak, justru saat seperti ini saya menjadi merasa melakukan kewajiban saya dengan maksimal.” Contohnya dengan melayani pria itu sebelum ia pulang, dan meninggalkan pria itu karena segudang pekerjaan yang masih menggunung di mejanya Indra tersenyum tipis. “Oya, Pak, ini jasnya akan saya cuci dulu. Terima kasih banyak bantuannya pagi tadi.” Nindi menunjukkan goodie bag tempat ia menyimpan jas Indra. “Lho, itu nggak perlu.”
“Mulai sekarang, sesuaikan semua pengeluaran dengan SOP yang ada. Blokir seluruh ATM atas nama kantor kecuali yang di gunakan oleh divisi masing-masing sebagai dana darurat. Semua uang keluar harus berdasarkan budgeting tahunan per divisi. Di luar itu, harus melalui Permintaan Uang Keluar yang jelas sesuai SOP keuangan perusahaan. Dan pastikan laporan uang keluar harus sesuai dengan penggunaan.” titah Bianca, sambil terus menatap layar komputer di depannya. “Ta…tapi Bu.” Yoshie, sang manager keuangan mendadak tergagap di hadapan atasan barunya. Selama ini, meski perusahaan mereka mempunya SOP dalam mengeluarkan uang perusahaan, tapi SOP itu tidak pernah berlaku untuk Damian dan Dandy. “Kenapa? Ibu takut dipecat Pak Dandy atau Pak Damian?” tebak Bianca tenang. Wajah wanita 49 tahun itu semakin memucat. “Saya sudah lihat data audit dan pencapaian Ibu selama ini. Kinerja Ibu bagus, kenapa saya harus lepas? Dan lagi pula, Ibu lupa seluruh be
Beberapa jam yang lalu.Laksmi duduk gelisah di ruang tamu rumah Dandy dan Bianca. Ia menggenggam erat ponsel di tangannya. Lima menit sekali ia menelepon Dandy yang masih di perjalanan pulang.“KAMU MASIH DI MANA SIH, DAN?”“Aku sudah di jalan, Bu,” jawab Dandy kesal. Ia mengantuk, ia lelah, dan kepalanya sudah hampir pecah karena penat. Ditambah lagi sejak pagi ibunya sudah sibuk menelepon meminta Dandy segera pulang. Andai Dandy tidak harus mengganti pakaian, mungkin ia takkan menemui ibunya sekarang.“DI JALAN MANA? DARI TADI DI JALAN MULU BILANGNYA TAPI NGGAK SAMPAI-SAMPAI!”Arghhh. Dandy memukul kemudinya kesal.“Ini sudah di gerbang!” katanya ketus lalu memutus sambungan telepon.Laksmi langsung berlari ke luar saat mendengar suara mobil putranya. Lalu menyerbu dengan gerombolan pertanyaan yang membuat Dandy semakin geram.“DA
“Apa-apaan ini? Mana mobil saya?!” teriak Dandy kesal saat tidak menemukan mobilnya di parkiran VIP gedung kantor. “SECURITY!” panggil Dandy.Tak lama, seorang pria berseragam keamanan datang menghampiri.“Ada yang bisa dibantu, Pak Dandy?” tanya petugas keamanan gedung Abraham Inc Tower dengan sopan.“MOBIL SAYA HILANG! BR*NGSEK! GIMANA SIH KALIAN KERJANYA?!”Petugas keamanan bernama Tiar itu mengerutkan kening bingung, lalu berbicara kepada seseorang melaluihandy talkydi tangannya. Sejurus kemudian ia kembali menghadap Dandy. “Maaf, Pak, tadi orang-orang dari kantor Bapak yang memindahkan mobilnya,” jelasnya, sesuai informasi yang didapatkan.“JANGAN BERCANDA KAMU! NGGAK ADA LAPORAN APA PUN KE SAYA. MANA MUNGKIN MEREKA BERANI AMBIL MOBIL SAYA TANPA LAPOR DULU?!” teriak Dandy marah. Lagi pula kunci mobil itu ada padanya. “