“Kak Bi!” Sheila melambaikan tangannya saat melihat Bianca keluar dari kerumunan wartawan setelah acara peresmian itu selesai.
“Shei!” Bianca tersenyum lebar di hadapan adiknya. “Gimana tadi?”
“COOOOLLLL!!!!” Sheila mengangkat kedua ibu jarinya penuh semangat. “TOP BANGET POKOKNYA!”
Bianca terkekeh pelan melihat reaksi penilaian Sheila. Bianca pikir mereka akan terjebak dalam lautan keputus asaan setelah kepergian sang ibu. Namun, akhirnya Bianca sadar, ia memiliki satu hal yang begitu penting yang harus tetap ia jaga. Seperti janjinya dulu, ia akan meninggalkan dunia ini setelah membuat dunia yang aman bagi Sheila. Dan ia akan bekerja keras untuk mewujudkan itu semua.
“Iya, kamu keren banget, Bi.” Tini menghampiri dengan sebuah senyuman penuh haru. Ia sudah tidak menggunakan alat bantu apa pun, tapi kecelakaan itu membuat cara berjalan Tini sedikit tertatih.
“Daaaaannn lihat dong viewers pas aku live selama acara tadi!!!” Leslie melompat ke h
“Ini adalah conton layout klinik Peruka yang akan dibangun. Dengan memperhatikan kebutuhan konsumen milenial masa kini, kami mendesain klinik yang sangat instagramable.” Sheila mengarahkan pointernya ke layar di ruang meeting. Desain-desain cantik yang sudah dipersiapkan dengan matang diperlihatkan kepada tamu undangan sebagai target investor di cabang yang baru.“Dan, salah satu target market kami juga adalah ibu muda yang tidak punya waktu untuk pergi ke klinik kecantikan karena terlalu sibuk mengurus rumah dan anak. Di klinik Peruka, kami menyediakan playground yang sangat aman untuk anak-anak dan dua petugas playground yang akan siap memperhatikan anak-anak selagi ibunya menerima perawatan.”“Itu menarik, tapi tentu membutuhkan effort yang lebih juga,” ujar seorang wanita cantik berpakaian mahal. Ia adalah salah satu pengusaha sukses di Surabaya.Sheila tersenyum professional. “Ya, dan saya yakin effort yang lebih in
“Jadi, di kantor baru banyak yang kasih cokelat ke Pak Indra hari ini?” tanya Leslie. Mata sipitnya sampai membulat penuh. “Wahhhh berani banget mereka!” gumamnya tak habis pikir. Ia melirik sosok Bianca dengan pandangan ngeri. “Dia nggak tau Pak Indra itu punya siapa,” tambahnya penuh arti. Bianca yang tengah memeriksa data penjualan di laptopnya hanya mengulum senyum. Padahal ia tidak mengatakan tentang hal itu kepada siapa pun, tapi sepertinya kabar tentang cokelat yang didapatkan Indra sudah tersebar, dan Bianca tidak terkejut sama sekali.“Apa perlu aku intai lagi, Bu?” tanya Dinda dengan wajah serius. Gadis itu sekarang memang bekerja di bawah Bianca, dan di luar dugaan, Dinda benar-benar sudah berubah. Sambil terus mengurus ibunya yang tengah dirawat di rumah sakit jiwa, ia juga melanjutkan kuliah dan bekerja di perusahaan Bianca.Pletak.Tini menyentil kening Dinda sambil lewat. “Memangn
“Kenapa harus aku yang pegang cabang Surabaya?” tanya Indra saat berbaring di samping Bianca. Bianca masih menempelkan kepalanya di atas dada telanjang Indra. Kini, irama detak jantung Indra menjadi simfoni yang paling menenangkan bagi Bianca. Ia menelusuri dada bidang pria itu dengan jemarinya, dan menghirup dalam-dalam aroma pria itu.“Ini kan cabang baru, aku nggak bisa kasih ke sembarang orang.”“Tapi ada banyak orang yang lebih kompeten dari aku, Bi.”“Tapi yang aku percayai cuma satu, Kak.”Indra menggeram pelan. Ia memalingkan wajah, menatap gorden yang bergerak perlahan terkena embusan angin. “Aku juga akan tempatin Sheila di sana buat belajar. Aku butuh Kakak buat pantau dan ajari dia. Kalau dia tetap di sini, dia nggak akan bisa mandiri.”“Tapi aku nggak mau jauh dari kamu.”
“Jadi Pak Indra beneran punya pacar?”“Ah, pokoknya rahasia. Lihat nanti aja, sudah yah aku harus ke ruang meeting lagi, duluan semuanya!” ujar Sheila seraya melambaikan tangan kepada semua orang yang masih mengajukan protes dengan tatapan mereka.Sheila langsung menyelinap dengan cepat sebelum ada yang menahannya lagi. Ia melemparkan tas make up ke atas meja, lalu mengambil ponsel dan berlari menuruni tangga menuju ruang meeting. Kalau mereka melihatnya berada di meja, mereka pasti akan menghadang Sheila dan menanyakan hal yang sama.Tepat saat Sheila sampai di lobi, ia melihat rombongan Reno yang berjalan bersama Indra. Wajah-wajah itu tampak serius di tengah terik matahari kota Surabaya yang menyengat. Sheila berani bertaruh mereka belum makan siang, dan tampak sama sekali tidak berani mengingatkan jika waktu makan siang sudah hampir habis.Saat bekerja, Indra memang hampir selalu melupakan hal-hal lai
Hujan.Tetesannya kini membaur bersama angin malam, menyembunyikan bulat sang bulan di balik awan-awan kelamnya.Sheila menatap tetesan hujan itu dari balik jendela rumah sakit. Lagi-lagi tempat yang sama, tapi duka yang lebih besar. Ia mengerjap beberapa kali, mencoba mengenyahkan genangan air di kedua matanya. Padahal ia sudah menangis berjam-jam, tapi ternyata air matanya tak juga berhenti mengalir.Ia masih ingat kejadian siang tadi, saat tanpa sengaja melihat Indra di depan kantor. Entah itu sebuah keberuntungan atau tidak. Namun Sheila yakin, andai ia tidak secara langsung memergoki Indra, pria itu pasti tidak akan membawanya pulang.Sheila bahkan sudah dengar jika Dinda dan Leslie diperintahkan ke Surabaya hari ini juga untuk menemaninya. Seakan mereka ingin menghibur Sheila dan menyembunyikan semua luka itu darinya.Padahal, jika sesuatu yang buruk terjadi, dan Sheila menjadi orang terakhir yang mengetahui hal itu, tentu akan semakin menyik
Bianca membuka matanya dengan perlahan, dan sama sekali tidak terkejut saat menemukan sosok Indra yang terlelap di kursi samping ranjangnya. Kedua mata Indah Bianca menyapu ruangan itu. Ia pikir ia akan menemukan Sheila juga di sana.Selama beberapa saat Bianca hanya terdiam sambil menatap langit-langit kamar rumah sakit. Ia tidak pernah menyangka akhirnya datang juga waktu di mana ia akan menjadi pasien.Apakah sudah waktunya? Batin Bianca nyeri.Saat Bianca bangkit dari ranjang, Indra langsung terjaga.“Kamu sudah bangun, Bi? Gimana keadaanmu sekarang?” Wajah tampan Indra terlihat cemas. “Aku akan panggil dokter.”“Tunggu, Kak.” Bianca menahan lengan Indra. “Aku nggak apa-apa. Di mana Sheila? Apa Dinda dan Leslie sudah berangkat ke Surabaya?”Indra menggeleng, dan lagi-lagi Bianca tidak merasa terkejut sama sekali. Ia sedih sekaligus lega saat menyadari jika Sheila mengetahui keadaan
Tini tau ia sudah berkali-kali meminta Sheila untuk tegar dan mendukung Bianca sepenuhnya. Namun ternyata, saat mereka masuk ke ruangan Bianca setelah menangis selama beberapa waktu di taman, lalu mencari sarapan yang terlambat, ternyata keduanya sama sekali tidak bisa membendung lebur luka yang mereka miliki.Ketika pintu ruangan Bianca terbuka perlahan, mereka mendapati sosok lemah Bianca tengah duduk di hadapan makan siangnya. Saat Bianca tersenyum tipis kepada mereka berdua, Sheila lah yang pertama kali melompat memeluk Bianca.Seperti saat mereka masih kecil, setiap kali merasa sedih dan terluka, Sheila selalu melompat ke dalam pelukan Bianca, mengadukan kesedihannya.“KAK BIIANNN!!” isak Sheila keras. Ia menangis di dalam pelukan Kakaknya. Menumpahkan seluruh lukanya. “Kakak nggak boleh tinggalin aku. Aku nggak mau sendirian. Kakak nggak boleh sakit,” tangisnya pilu.Indra menghela napas panjang, lalu menggeser
“AKU AKAN JADI TANTEEEE…. AKU AKAN JADI TANTEEE!!!!”Sheila berputar-putar sambil memeluk salah satu baju bayi yang ia ambil dari tumpukan pakaian di ruang tamu. Baju bayi itu berwarna merah muda dengan aksen renda dan pita memenuhi dadanya.“AKU AKAN JADI TANTEEE!!!!” teriaknya girang.Dibantu Mario dan Haris, ketiga gadis muda itu mengeluarkan berkantong-kantong belanjaan dari dalam mobil. Lalu menumpahkan belanjaannya di ruang tamu apartment yang ditinggalinya bersama Bianca setelah kematian Claire 8 bulan yang lalu.“DUUUUHHHH LIHAT LUCU BANGEEET KAAANNNN…,” teriak Sheila sambil mengeluarkan bungkusan barang belanjaannya.“LEBIH LUCU YANG AKU BELI INI, LOH!” Leslie tidak mau kalah, ia mengeluarkan sebuah piyama bergambar dinosaurus dari kantong bawaannya.Bianca meringis pelan saat melihat keributan di ruang tamu apartmentnya. Ia pikir, ia akan bisa istirahat setelah kepulanga