Dia adalah Sherly, sahabat baik Senja selama ini. Sherly berkerja sebagai model majalah dewasa. Bukan hanya cantik, tubuh Sherly juga molek berisi. Jadi tidak heran jika dia sering menjadi model pria dewasa.
"I_itu 'kan Sherly," tunjuk Senja pada wanita yang memakai gaun merah dengan potongan leher rendah yang hampir menyembul buah dadanya. Panjang gaunnya pun hanya sebatas lutut dan terlihat ketat. "Ngapain dia di sini?" Riki mulai curiga. Apalagi Sherly terlihat melangkah menghampiri mobil Han yang terparkir tak jauh dari tempat mereka sekarang. "Mungkin ada kerjaan, Mas." Senja sempat curiga, tapi ia tidak boleh gegabah. Siapa tau mereka berdua terlibat kerja sama. Senja mencoba mengenyahkan pikiran buruknya. Matanya masih fokus melihat interaksi keduanya. "Kita tunggu saja." Ketika Senja berniat akan turun dari mobil, dengan cepat Riki meraih lengannya untuk menghentikan niat Senja. "Kenapa kamu melarangku, Mas? Aku ingin menghampiri mereka berdua," Senja protes tidak terima. Riki hanya diam. Kemudian menunjuk dengan dagunya apa yang ia lihat sekarang. Senja yang awalnya tidak melihat itu segera menoleh ke mana arah pandangan sang kakak. Ia menutup mulutnya terkejut dengan apa yang ia lihat. "Setidaknya kita harus punya bukti kuat untuk melaporkan mereka ke polisi atas tuduhan perselingkuhan. Mereka akan terkena tindak pidana jika kita mempunyai bukti yang kuat di pengadilan. Jadi Mas minta kuatkanlah hatimu untuk sebentar saja." Senja shock melihat pemandangan di depan matanya. Ia melihat Sherly dan Han saling memeluk mesra, bibir mereka pun saling menyapa dengan berpagut mesra di depan umum, seperti dua insan yang sedang di mabuk cinta. Tidak tau malu. Tubuh Senja kaku, tidak bisa bergerak. Bahkan untuk bernapas pun seolah oksigen sudah habis di sekitarnya. Ia mati rasa saat itu juga ketika melihat mereka bergandengan bersama memasuki hotel tersebut. "Shiit!!! Dasar pria tak tau malu. Bisa-bisanya dia menghianatimu dengan sahabatmu sendiri. Apa yang ada di otak Han saat ini. Aaarrgght!! Berengsek kamu Han!" geram Riki seraya memukul kemudi untuk meluapkan rasa sakit hatinya. Ia tidak menyangka jika pria yang dia percaya menjaga adiknya, dengan tega menghianati Senja dengan begitu kejam. Ingin sekali ia keluar dari mobil dan memberi pelajaran pada pria itu. Namun dia juga tidak bisa gegabah dalam mengambil tindakan. Bisa saja mereka menyangkal tuduhan itu dan berganti melaporkannya atas tuduhan pencemaran nama baik yang juga akan merugikannya dan Senja. "Aku mau turun, Kak!!" Tangan Senja sudah berada di pintu mobil, berniat untuk turun dan memergoki suami dan sahabatnya. Tapi tangan Riki dengan cepat menahannya. "Jangan, Nja. Kita tunggu saja dulu." "Kenapa, kak? Kenapa? Apa kamu senang melihat adikmu tersiksa seperti ini, hah?" Senja menyentak tangan Riki yang berada di lengannya. Ketika sudah terlepas, Senja segera membuka pintunya dan langsung turun dari mobil. Tapi lagi-lagi niatnya terpatahkan karena tiba-tiba tangan Riki merangkul tubuhnya dan berusaha menenangkan dirinya yang sudah bergetar karena tangisnya. "Jangan, Senja. Kita perlu bukti konkret untuk membuktikan semua. Kamu harus sabar. Ini juga untuk kebaikan kamu ke depannya. Aku tidak ingin keluarga Han menyalahkanmu atas perselingkuhan yang dilakukan anaknya. Kamu tahu sendiri bagaimana sifat mamanya yang menganggap Han adalah anak yang paling sempurna." Riki membawa Senja kembali ke mobil agar tidak menjadi pusat perhatian para pengunjung hotel. Senja hanya bisa diam dan menangis di dekapan sang kaka. Dadanya terasa nyeri, merasakan ribuan tikaman pisau menghunus jantungnya. Apalagi mengingat senyum tulus Bina saat menyambut sang Papa pulang seperti biasanya, sangat menyakitinya sebagai seorang ibu yang harus dengan tega memisahkan dia dengan sang papa karena kelakuan bejat papanya. Setelah lama menunggu, akhirnya Senja sudah tak tahan lagi. Tanpa persetujuan sang kakak, dia langsung keluar dari mobil dan berlari menuju ke dalam hotel. Riki yang melihat adiknya berlari pun segera mengejarnya. Dia berteriak memanggil Senja agar menghentikan langkahnya. Tapi sayangnya Senja seolah tak mendengar panggilan itu dan terus melangkahkan kakinya menuju ke meja resepsionis. "Selamat pagi. Ada yang bisa kami bantu?" sapa resepsionis itu dengan ramah. "Maaf, Mbak. Saya mau bertanya, di nomor berapa pasangan yang baru masuk barusan tadi?" tanya Senja langsung to the poin. Terlihat kening resepsionis itu berkerut. "Maaf, yang mana ya, Bu? Karena pengunjung di sini banyak, Bu." jawab Wanita itu lagi. "Yang baru saja masuk, Mbak. Yang wanita memakai gaun berwarna maroon dan yang pria memakai kemeja warna hitam." Senja seolah sudah kehilangan kesabaran karena merasa wanita itu terlalu bertele-tele menjawab pertanyaannya. "Oh, maafkan kami, Bu. Kami tidak bisa memberitahu privasi tamu kami kepada sembarangan orang." Jawaban resepsionis itu seketika membuat Senja meradang. Dia menggebrak meja resepsionis dengan keras sehingga membuat tamu sekitar menatap ke arahnya. Brakk.. "Mbak, Apa kamu tahu yang masuk barusan dia adalah suamiku, dan wanita di sampingnya adalah pelakor yang merebut ayah dari anakku. Apa yang Mbak bakal lakukan jika berada di posisiku saat ini? Apakah Mbak tega membiarkan pelakor itu merebut papa dari anakku? Sedangkan kita sama-sama wanita, Mbak. Di mana hati nurani Mbak saat ini?" Senja histeris karena mendapat penolakan dari resepsionis. Resepsionis itu hanya diam seraya menundukkan wajahnya. Dia malu sekaligus merasa sedih melihat keadaan Senja yang terlihat mengenaskan. Dia ingin membantu, tapi tentu saja ada resiko yang harus di tanggungnya untuk ke depan. Dan dia juga tidak mau mengorbankan pekerjaannya. Tubuh Senja hampir saja ambruk membentur lantai jika saja Riki tidak menangkap tubuhnya dari belakang. Senja benar-benar kecewa. Hingga tubuhnya tidak mampu lagi menopang berat beban dalam hatinya. Tubuhnya lemas seketika dan air mata turun dengan derasnya. Banyak mata yang menatap iba pada Senja, tapi mereka seolah tidak bisa berbuat apa-apa. Riki memeluk tubuh Senja dengan erat. Menyalurkan kekuatan untuk menghadapi kenyataan. Ia juga akan menemani Senja bagaimanapun keadaannya. "Sabar, Senja. Kita bisa mencari jalan lain untuk mendapatkan nomor kamar Han. Kamu sabar ya." Mata Riki memerah, melihat adiknya yang terpuruk seperti itu. "Mas Han jahat, Mas. Mas Han jahat!!" Senja masih meraung di pelukan Riki. "Iya, habis ini mas akan mencoba berbicara pada resepsionis itu. Siapa tahu mereka bisa memberikan nomor kamar Han pada kita. Kamu tenang dulu, ya?" Riki mencoba menenangkan adiknya. Karena dia juga sedikit malu karena banyak pasang mata yang melihat ke arah dirinya dan Senja. Keributan itu berhasil memancing seorang pria mendekati Senja yang masih terduduk di lantai itu. "Ada apa ini?" tanya seorang pria seorang pria mendekati Senja yang masih terduduk di lantai itu. "Pak Langit." Dua resepsionis itu menunduk takut. "Jelaskan ada keributan apa di sini?" langsung saja salah satu resepsionis itu menjelaskan kedatangan Senja yang berniat menangkap basah suaminya yang tengah berselingkuh dengan sahabatnya. "Lalu kenapa kalian tidak memberikan kunci pada wanita itu?" tanya pria itu lagi. "Kami takut kena sanksi, Pak." "Berikan kunci itu, atau kalian yang akan saya pecat sekarang juga."Senja mendongak menatap pria itu. Tapi detik kemudian ia menunduk saat mata mereka saling bertabrakan. Merasa tidak sopan. Perlahan Senja bangkit di bantu oleh Riki. Ada kekuatan entah dari mana yang membuat ia kuat menghadapi kenyataan hidupnya. "Terima kasih tuan sudah membantu saya mendapatkan kunci itu," lirih Senja seraya tetap menunduk. Hanya kalimat itu yang bisa ia katakan untuk membalas kebaikan pria di depannya saat ini. Malu jika harus menangis di depan pria yang sudah menolongnya. Jangan sampai pertolongan pria itu terasa sia-sia saat ia terlihat lemah melawan suaminya "Hemm.. Jadilah wanita kuat. Pria brengsek seperti dia tidak pantas mendapatkan air mata tulus dari wanita sepertimu. Lepaskan. Penghianat seperti mereka pantas untuk bersama. Sama-sama sampah dan tidak berguna." Kalimat Langit menjadi tamparan bagi Senja. Ya. Han memang tidak pantas untuk di tangisi. Penghianat seperti mereka harusnya di kasih pelajaran agar lebih tau diri. Sampah memang harus dibu
Sherly tergagap mendapati Senja yang sudah berada di depannya saat ini. Sesungguhnya dia terkejut, tapi dengan cepat dia berusaha menguasai rasa terkejutnya dan memasang wajah pura-pura berdosa. Ketika Sherly melangkahkan kakinya untuk mendekati Senja, seketika Senja mengangkat tangannya. "Stopp!! Jangan mendekat. Aku tidak sudi di sentuh wanita pelakor sepertimu, Sherly!" sentak Senja dengan suara tercekat. Hatinya masih berusaha kuat untuk melihat cobaan yang mungkin akan lebih dahsyat. Tangan Riki terkepal kuat. Rahangnya mengeras mendapati kenyataan pahit tentang rumah tangga adiknya. Yang ia lakukan saat ini hanya menunggu kemunculan pria yang mengaku mencintai adiknya itu. Rasanya ia ingin melibas habis pria itu sampai babak belur. "Senja, i_ini," Bahkan Sherly pun tak bisa menyangkal apa yang dilakukannya sekarang. Sekuat tenaga dia mengeluarkan suara, yang ada suaranya seperti tercekat di tenggorokan. Mereka hanya saling menatap, mematung di depan pintu denga
"Jawab, Mas!!" "Karena aku tidak mencintai kamu lagi, Nja," jawab Han langsung tanpa memikirkan perasaannya. "Tapi kenapa kamu tidak mencintaiku lagi, Mas? Apa salahku?" Han menggelengkan kepalanya. "Kamu terlalu kekanak-kanakan. Kamu terlalu manja, dan kamu sangat lempeng, Nja. Tidak ada tantangan baru dalam hubungan kita. Membuat aku bosan hidup bersamamu." Jeder.. Bagai tersambar petir rasanya saat mendengar kalimat yang terlontar dari mulut suaminya. Selama ini suaminya selalu mengagungkan rasa cinta kepadanya. Selalu memuji akan kebaikan dan kelembutannya. Tapi kenapa sekarang sikap lembut dan kebaikannya malah dibalas dengan air tuba? Kembali, Riki langsung menindih tubuh Han dan memukulnya dengan brutal. Sungguh, ia ingin membunuh Han saat ini juga dengan tangannya sendiri. Hatinya mendidih mendengar hinaan yang Han lontarkan pada adiknya. Padahal ia tahu betul perjuangan adiknya untuk membahagiakan Han sangat tidak bisa di lupakan begitu saja. "Brengsek kamu, Han!! Ji
"Apakah bapak sakit?" Pertanyaan Benji menyentak lamunannya. Langit menoleh dan menatap Benji yang sudah berdiri di sampingnya. Ia membenarkan duduknya seraya menggeleng kepalanya. "Tidak. Aku tidak apa-apa." "Saya lihat, sejak tadi bapak diam saja. Apakah ada yang bapak pikirkan." Benji, asisten pribadi merangkap sepupu Langit yang sudah bekerja padanya sepuluh tahun terakhir, tentu pria itu tau jika bosnya sedang galau. Langit mengusap wajahnya kasar. "Entah kenapa aku masih kepikiran wanita tadi," jawabnya tidak bisa berbohong. "Wanita di hotel tadi siang?" Langit mengangguk. Benji diam sejenak. "Kata security, mereka sempat membuat keributan dan mengganggu pengunjung lainnya." Langit menatap Benji penasaran. "Lalu bagaimana dengan wanita tadi? Apakah ia baik-baik saja?" Benji tersenyum tipis melihat raut kekhawatiran yang tergambar jelas di wajah Langit. "Wanita itu pergi dengan saudara laki-lakinya, meninggalkan suaminya bersama selingkuhannya."
Seketika Senja merasa terbakar hatinya saat tangan Sherly bergelayut manja di lengan suaminya. "Lepaskan tangan terkutukmu itu dari lengan suamiku, Sherly," tegas Senja penuh penekanan di setiap kalimatnya. Bukannya takut, Sherly semakin mengeratkan pelukannya seraya tersenyum jumawah memprovokasi Senja. Ini kesempatan baginya untuk membuat Han langsung menceraikan Senja saat ini juga. "Kenapa, Nja? Kamu tidak suka?" Sherly tersenyum meremehkan. "Kamu tau 'kan kita sudah bertukar keringat bersama di atas ranjang, jadi apa salahnya jika aku hanya merangkul lengan suamimu." "Tutup mulutmu, Jalang!!" sentaknya penuh emosi. Bahkan ia sudah tidak perduli jika Han mencap-nya sebagai istri yang kasar. "SENJA, JAGA MULUTMU!!!! SHERLY BUKAN JALANG!!" bentak Han penuh emosi. Senja tersenyum penuh ironi. Hanya karena Sherly, Han berani membentak setelah apa yang ia lakukan untuk pria itu. "Kamu membela jalang ini, Mas?" Senja bertanya dengan nada l
Semalaman Senja hanya menangis dalam doanya. Ia menggelar sajadah dan menumpahkan segalanya di dalam sujudnya. Meminta pertolongan dan keikhlasan dalam menjalani takdirnya. Setelah sholat subuh, Senja melangkah ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Di dapur, sudah ada mbok Asih yang tengah menyiapkan sayuran. "Bu Senja," mbok Asih menunduk sungkan saat melihat mata sang majikan yang bengkak dan memerah. Bukan ia tidak tau. Bahkan dia melihat sendiri jika majikan pria yang selama ini ia kenal baik dan lembut, berubah menjadi pria kasar dan pemain wanita. "Selamat pagi, Mbok," sapa Senja ramah dengan senyuman manisnya. Saat ia akan mengupas wortel, dengan cepat mbok Asih melarangnya. "Biar mbok saja yang mengerjakan, Bu. Lebih baik ibu istirahat saja di kamar." "Kenapa, Mbok? Aku hanya ingin membantu." "Jangan, Bu. Lebih baik ibu istirahat saja di kamar. Kasihan semalam ibu tidak tidur." Senja baru tersadar dengan kalimat mbok Asih. "Mbok Asih melihatny
"Ini laporan yang bapak inginkan kemarin." Benji menyerahkan berkas itu di atas meja Langit, yang langsung diraih pria itu. Langit menghela nafas. Matanya sekilas melirik Benji yang berada di sampingnya. Perlahan ia membaca dengan seksama. Keningnya berkerut, tak lama kemudian air mukanya berubah seperti hendak marah dengan gigi yang menggertak geram. "Wanita baik-baik memang tidak pantas bersama pria brengsek seperti dia." Benji mengangguk, mengerti apa yang dimaksud oleh Langit. "Seharusnya pria seperti itu berakhir di tempat sampah. Sama seperti yang pria itu lakukan dengan wanita selingkuhannya. Sampah memang harusnya bersama sampah juga." "Lalu apa yang harus kita lakukan, Pak? Bukankah bapak sudah tidak sabar ingin meminangnya menjadi istri bapak?" goda Benji dengan senyum tertahan. Benji ikut bahagia saat rasa ketertarikan Langit pada wanita akhirnya muncul kembali setelah lama hilang. Langit menoleh sebentar. Kemudian menatap ke depan dengan senyum tip
"Senja!! Senja!!" Han mencoba untuk menghentikan Senja yang hendak masuk ke mobil. Dia menyeret tangan Senja hingga Senja hampir saja jatuh tersungkur. "Apalagi sih, Mas? Kenapa kamu melarangku pergi?" hardik Senja. Habis sudah kesabaran Senja selama ini. Bahkan, ia sudah tidak peduli saat ada beberapa pasang mata menatap ke arah mereka. "Kamu tidak bisa pergi begitu saja membawa Bina. Dia juga anakku." Han hendak meraih tangan Bina, tapi dengan cepat Senja menepisnya. Ia membawa Bina ke belakang tubuhnya, melindungi dari papanya yang hendak meraihnya. "Sampai kapanpun aku tidak akan pernah menyerahkan Bina padamu, Mas. Aku tidak rela jika dia hidup bersama jalang itu. Aku tidak rela, Mas!!" Semakin banyak orang yang menatap ke arah mereka. Bahkan ada beberapa orang yang berani mendekat, seolah ingin melerai. Tapi lebih dominan rasa keingintahuan yang tinggi dengan masalah mereka. Mendengar itu, tentu saja Sherly tidak bisa menerimanya. Ia mengambil kesempatan emas ini untuk me