Share

Papi Kalian Mana?

Pagi-pagi sekali Manda sudah terbangun. Keringatnya membanjiri seluruh tubuh. Padahal Satriyo menyalakan AC di sepanjang malam.

"Mas ...," panggil Manda pelan, nyaris tak terdengar. Sekuat tenaga dia berusaha bangun dari ranjang. Niat awal yang hendak memanggil Satriyo, kini berganti menjadi permintaan tolong.

"Tolong ...."

Prang!

Jemari Manda yang berusaha menggapai meja dan berpegangan, justru menyenggol segelas air di atas meja. Benda itu jatuh ke lantai dan pecah.

"Mami?"

Pelangi yang tiba-tiba sudah masuk kamar langsung menubruk tubuh Manda dan panik.

"Abang! Tolong!" teriak gadis SMA itu meminta pertolongan pada sang abang.

Langit yang baru saja bangun setelah tidur selepas subuh sontak bangkit dan segera menghambur keluar kamar. Lelaki itu langsung membantu Pelangi memapah sang mami kembali ke ranjang.

"Badan mami dingin banget, Bang," ucap Pelangi pelan dan khawatir. Gadis itu mulai menangis.

"Ayo, bawa Mami ke Rumah Sakit!"

Langit membopong sang mami keluar kamar.

"Mobil udah dibawa papi, satunya lagi di bengkel."

Langkah Langit terhenti di ruang tengah. Dia menatap sang adik dengan serius.

"Papi ke mana?"

"Udah pergi dari subuh."

Langit menggigit bibir. "Ayo, kamu pegang mami di belakang!"

"Naik motor?"

"Iya."

Manda yang masih sadar di bopongan Langit berusaha bersuara. Ingin rasanya dia mencegah sang putra untuk tidak membawanya ke Rumah Sakit. Namun tubuh dan tenaganya terlalu lemah. Dia hanya bisa pasrah saat Langit mendudukannya di motor lantas diapit oleh Pelangi. Gadis itu urung ke sekolah meski sudah sangat siap.

Langit memacu sepeda motornya dengan cepat. Pelangi memeluk sang mami erat sembari merapatkan selimut ke tubuh sang mami. Pelangi juga mengusap-usap kaki Manda untuk membuatnya hangat.

Rumah Sakit yang masih sepi membuat Langit tidak kesulitan membawa sang mami masuk yang langsung mendapat pertolongan. Langkah Langit dan Pelangi dicegat petugas Rumah Sakit yang membawa sang mami ke ruang IGD. Keduanya berdiri mematung di depan ruangan dengan pikiran tak menentu.

"Memangnya papi ke mana?" tanya Langit pada Pelangi yang masih menangis.

Pelangi menggeleng. "Nggak tahu, Bang."

Keduanya lantas terdiam. Langit masih ingat saat sang papi pulang. Kepala rumah tangga itu pulang menjelang tengah malam setelah sang mami lelah menunggu. Samar-samar Langit juga mendengar percakapan kecil orang tuanya. Percakapan khas orang dewasa dalam berumah tangga. Namun yang diingat Langit adalah pertanyaan yang dijawab ketus oleh sang papi. Dari mana kamu, Mas?

***

Sementara Janice tengah memeluk Satriyo yang berbaring di sampingnya. Kulit mereka yang tanpa penghalang bersentuhan. Menyalurkan kehangatan, kerinduan, dan nafsu masing-masing.

"Masak sih Mas dia nggak kuat lagi?" tanya Janice pelan. Jemari lentiknya mengusap lembut dada sixpack Satriyo. Lelaki itu hanya menghela napas panjang.

"Belum juga panas, udah ngos-ngosan."

Janice tertawa kecil. Dia lantas beringsut untuk menaiki tubuh Satriyo. Mereka bertatapan.

"Kasihan kamu, Mas. Punya istri tapi nggak ada guna, hehe."

Satriyo memeluk pinggang Janice dan membalik tubuhnya. Posisi mereka kini bergantian. Satriyo meraba hidung mancung Janice dan mengecupnya sekilas.

"Biarin! Kan ada kamu!"

"Masak aku cuma dipakai saat Mas lagi pengen aja?" Janice cemberut. Satriyo terkekeh.

"Ya nggak, dong, Sayang."

"Terus?"

"Sabar, ya!"

"Sampai kapan? Sampai Mbak Manda tahu hubungan kita? Atau ... sampai Mbak Manda meninggal?"

Satriyo terdiam. Ekspresi wajahnya berubah. Perlahan dia merebahkan tubuh. Janice merasa bersalah ketika melihat perubahan wajah lelakinya tersebut.

"Mas? Aku nggak—"

"Nggak apa-apa, Sayang!"

Satriyo meraih jemari Janice dan mengecupnya. Lelaki itu lantas diam dan memejamkan mata. Dia lelah. Entah karena masalah hidupnya atau lelah karena pelayanan Janice semalam.

****

"Ibu kalian hanya kelelahan. Dia memang gampang sakit dan lelah karena komplikasinya. Ini resepnya, silahkan ditebus," ucap seorang dokter wanita yang terlihat ramah pada Langit dan Pelangi. Keduanya mengangguk patuh.

"Usahakan ibu kalian tidak terlalu lelah lagi, ya!"

Dua kakak beradik itu mengangguk lagi. Mereka lantas menemui sang mami yang sudah dipindahkan ke ruang rawat. Manda diharuskan beristirahat hingga nanti malam untuk memantau kesehatannya.

"Papi ke mana?"

Itulah pertanyaan yang langsung diberikan Manda pada kedua anaknya. Langit dan Pelangi saling tatap.

"Papi pergi dari subuh, ya?"

Langit dan Pelangi menunduk. Mereka sama-sama tahu saat sang papi keluar rumah setelah subuh. Bahkan papi mereka tidak mengimamo shalat berjamaah tadi pagi. Padahal Langit dan Pelangi sudah hampir ke musola rumah.

"Biar aku telpon papi bentar, ya, Mi."

Langit berdiri dan meraih ponsel di kantung celananya. Namun tangan lemah Manda menggapai lengannya, membuat Langit urung mengambil ponsel.

"Nggak usah!"

"Tapi kan papi harus tahu kalau mami lagi sakit."

Manda tersenyum dan menggeleng. "Nggak apa-apa, Nak. Mami nggak apa-apa, kok."

Langit mengangguk lantas kembali duduk. Ketiganya lantas terdiam. Hanya tangan Pelangi yang mengurut pelan lengan sang mami. Wanita yang terlihat pucat itu memejamkan mata. Tidur, atau menghindari tatapan kasihan kedua anaknya. Entahlah!

Langit lantas pamit keluar untuk mencari sarapan. Mereka memang belum sempat menyantap apapun di rumah. Meski Pelangi sempat menggoreng telur untuk sarapan mereka. Gadis itu terbiasa mengerjakan pekerjaan dapur semenjak sang mami sering sakit-sakitan.

Saat menuju kantin, pikiran Langit terasa penuh. Pertanyaan seputar kepergian papinya terus terbayang. Ke mana lelaki itu pergi sepagi buta? Langit juga terus memikirkan sikap papinya yang semakin hari semakin berubah. Lelaki yang selama ini menjadi panutan Langit sejak kecil itu telah menjelma menjadi lelaki yang berbeda. Lelaki yang jarang di rumah dengan sikap dingin dan cueknya.

"Mbak, nasi goreng pedas dua porsi sama sup ayamnya satu porsi, ya. Minumnya teh anget tiga dan air anget dua gelas!" pinta Langit pada petugas kantin.

Sembari menunggu pesananannya jadi, Langit iseng memperhatikan sekeliling. Orang-orang yang mungkin saja sama sepertinya. Menunggu orang terkasih yang tengah terbaring di ranjang pesakitan.

Saat memperhatikan sekeliling itulah mata Langit tak sengaja melihat mobil yang sangat dia kenal. Matanya menyipit dan sedikit memiringkan tubuh untuk melihat siapa gerangan yang keluar dari pintu mobil.

Seorang wanita yang mengenakan setelan kaus pas badan, celana jeans ketat, dan sepatu tinggi menempelkan telapak tangan di dahi sebagai perlindungan dari cahaya matahari. Dia menunduk, memperbaiki posisi kausnya yang masih rapi lantas melongok ke dalam mobil. Entah apa yang dilakukannya. Mungkin berpamitan.

Langit terus memperhatikannya. Sebisa mungkin dia berusaha melihat siapa gerangan si pengemudi. Mungkin saja itu orang yang dia kenal. Sama seperti mobil yang pagi tadi mendadak dia butuhkan untuk mengantar sang mami.

"Ini, Mas!"

Langit tergagap dan menoleh. Petugas kantin sudah menyerahkan bungkusan pesanannya. Langit dengan cepat membayarnya. Selesai membayar, dia kembali menatap parkiran, berharap orang yang dicurigainya masih ada di sana. Namun nihil. Wanita yang menjadi pusat perhatiannya sudah tidak terlihat. Begitu juga mobil yang dicurigai.

"Kayak mobil papi," gumamnya.

....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status