“Bagaimana, bagus kan?” tanya Mira, dia tersenyum sambil menggoyang-goyangkan kedua alisnya.
“Pintar, nggak salah selama ini Ibu sekolahin kamu di sekolah elit,” puji bu Marni.
“Jadi, kapan mau menjalankan rencananya?” tanya Mira lagi. Dia sudah tak sabar membalas dendamnya kepada perusak rumah tangga kakaknya itu.
“Sekarang lah! Masa tahun depan,” seru bu Marni. Kemudian langsung beranjak dari duduknya, mencari Mama Airin.
“Besan, hari ini saya mau pamit pulang, buat jemput Danu, nanti kami ke sini lagi!” pamit bu Marni ketika melihat besannya sedang memasak di dapur.
“Kok, buru-buru sekali, Bu!” tanya Mama Amy.
“Kan Danu mau datang,” jawab bu Marni.
Walaupun berat hati, akhirnya mama Amy mengijinkan bu Marni dan
Mira terjengkang, jatuh dari duduknya, ternyata Maya telah menarik rambut gadis itu. Belum sempat dia berdiri, Maya sudah naik ke atas perut Mira. Muka Mira di cakar oleh Maya, tak tinggal diam, Mira melawan dengan menarik rambut Maya hingga mendongak. Mereka saling bergumul tak ada yang mau mengalah satu dengan yang lain.Polisi yang melihat juga bingung, mereka layaknya banteng yang sedang beradu, sampai akhirnya dua orang Polisi berusaha menarik Maya. Baru saja mereka bisa di lerai Mira kembali menendang perut Maya, sampai Wanita dan dua orang polisi, mundur beberapa langkah, akibat kuatnya tendangan Mira.Maya, jatuh tersungkur, berguling memegang perutnya, darah segar mengalir dari sela pahanya.Semua yang melihat kaget, bu Marni menutup mulut, pun begitu dengan Mira. Dia tak menduga kalau tendangannya bisa berefek sekeras itu.“Aduh, perutku! Mas, bayi kita,
“Kamu, tuli!!” tanya bu Marni.“Apa maksud, Ibu?” Bukannya menjawab pertanyaan, Danu malah balik bertanya.Mira meronta sampai tangannya terlepas dari genggaman Danu.“Jangan pura-pura, Mas!” ucap Mira.Entah dia dapat kekuatan dari mana, hatinya kembali sakit mengingat Airin yang telah meninggal Dunia.“Diam, kamu!” hardik Danu.“Kamu yang diam, Mas! Aku pastikan sebentar lagi, kamu akan kembali membusuk di penjara,” seru Mira. Dia menunjuk kakaknya dengan penuh amarah.Plak!Danu menampar adiknya, Mira memegang pipinya yang terkena tangan kakaknya.“Ayo, tampar lagi!” seru Mira, tak ada air mata yang turun.Plak! Plak!Bu Marni balas menampar Danu.“Berani sekali kamu tampar anak saya, pergi kamu dari sini!” usir bu Marni.&ld
“Haduh, istri baru dua hari meninggal, suami sudah bawa perempuan baru.”Danu membanting pintu, dia mengepalkan tangan menahan emosi. Maya, mendekati dan mengusap punggungnya agar lebih tenang.Danu mengambil hape dan menelpon Mira, sekali tak di angkat, dia menelpon lagi. Baru panggilan ke tiga yang di angkat.“Kenapa kamu tak bilang kalau Airin meninggal?” ucap Danu, sesaat setelah Mira mengangkat telponnya.“Apa penting? Waktu hidup saja kamu nggak peduli,” tanya Mira balik.“Dia istriku! Harusnya kamu bilang!!” teriak Danu. Emosinya benar-benar tersulut di buat oleh Mira. Dia menutup telpon, dan melemparkannya ke lantai. Untung saja hapenya mahal jadi tahan banting.“Mas, kamu kenapa? Kok marah-marah, tenang nanti tetangga dengar,” tanya Maya. Dia sedang di dapur akan membuatkan makanan untuk Danu, tapi karena mendengar suara hape di banting,
“Astaghfirullah, Pak, istighfar!” teriak penjaga malam yang melihat Andika mencekik Danu.Lelaki tua itu, berlari menghampiri pusara Airin. Dia menarik tubuh Andika agar berhenti mencekik Danu.Dengan susah payah, akhirnya cengkraman tangan Andika lepas dari batang leher Danu.“Pak, Istighfar! Kalau orang nya mati bagaimana?” Pak Tua, penjaga makam mengingatkan Andika.“Biar, Pak! Memang saya harap dia MATI! Gara-gara dia adik saya mati,” jawab Andika.“Sudah, Bapak pulang saja, kasian adiknya. Nggak bakalan tenang kalau kamu seperti ini.” Bapak itu menasehati Andika.Sesaat Andika termenung, lalu berdiri. Sebelum pergi dia masih sempat mendaratkan tendangan ke badan Danu, membuat penjaga malam kembali beristighfar.Setelah Andika pergi, pak tua itu menepuk-nepuk pipi Danu, tak berapa lama, lelaki itu terbang
Danu menghempaskan tubuhnya di kursi sofa ruang tamu, dia lelah. Baru saja akan memejamkan mata, kembali Maya sudah mulai dengan omelannya.“Mas, kok lembek banget sama mereka?!” tanya Maya. Dia bersedekah, menatap Danu dengan tatapan jengkel.“Sudahlah, aku lagi tidak mood untuk berbicara,” jawab Danu. Dia memijit pelipisnya, tiba-tiba saja kepalanya terasa sakit.“Kamu kalau di kasih tau, banyak banget ngelesnya,” ucap Maya kesal. Dia menghentakkan kakinya lalu berlalu pergi.Danu menggeleng, lalu melanjutkan tidurnya.“Sia*an, sepertinya mereka punya rencana untuk memisahkan aku dan Danu, lebih baik besok aku ikut bersama Danu,” ucap Maya.Dia tak tenang, setelah kedatangan ibu dan adik Danu.Kembali Maya melangkah menemui Danu yang baru saja terlelap.“Mas, besok aku ikut ke rumah ibu kamu, yah!” ucap Maya, dia menggoyangka
Bu Marni melangkah, tak menghiraukan Mira yang terus bertanya, takutnya Danu kembali.“Ibu kok kayak gini?” ucap Mira kesal.“Ya, kamu. Nanya mulu,” jawab bu Marni.Bu Marni meninggalkan Mira sendiri, dia ingin menyiapkan semuanya besok.*****Kumencintaimu sedalam-dalam hatikuMeskipun engkau hanya kekasih gelapkuMencintaimu lebih dari apapunMeskipun tiada satu orang pun yang tau
“Ngapain kamu di situ?” ulang bu Marni.Sedikit mendengus, Maya mendekat juga kepada bu Marni.“Sana atur semua kursi supaya tersusun rapi,” perintah bu Marni.“Itu sudah rapi,” tunjuk Maya.“Kamu itu punya mata atau tidak!? Kursinya belum lurus dengan yang lain, pokoknya kamu kasih lurus antara kursi yang satu dan kursi yang lain, kalau ada yang bengkok satu saja, siap-siap ku usir kamu,” ucap bu Marni.“Iya, Mak Lampir,” ucap Maya.“Apa kamu bilang?!” tanya bu Marni, sambil berkacak pinggang.“Iya, Bu Suri!!” jawab Maya dengan suara di besarkan.Bu Marni tersenyum lalu kembali mengerjakan pekerjaannya.Maya mengerjakan apa yang diperintahkan dengan setengah hati.Setelah selesai, dia kembali
Semua orang yang hadir berbalik menatap ke arah suara, ternyata bu Marni, Mira, seorang gadis yang mengenakan hijab panjang menutupi dadanya.“Ada apa ini?!” tanya bu Marni setelah mereka masuk ke dalam rumah.Pak RT dan warga mengenal siapa bu Marni, mereka saling berpandangan. Pak RT berdiri dari duduknya dan mempersilahkan mereka duduk.Bu Marni dan yang lain duduk, pak RT mulai menjelaskan.“Maaf, Bu. Karena sebelumnya tidak memberi tahu bahwa kami akan menikahkan Danu dengan pacarnya, mereka di sini sudah beberapa hari hidup bersama. Kami sebagai warga merasa resah, kami tak bisa menjamin mereka untuk tidak berbuat zina.Bu Marni mengangguk mendengar penuturan pak RT, sejujurnya dia merasa malu. Tapi, karena dia punya misi lain maka dia hanya mengangguk.“Sebenarnya saya tidak keberatan kalau Da