“Juru kunci? Maksudmu, penjaga makam?”
“I-iya, Pak! Apa ada masalah? Kenapa Bapak terlihat kesal sekali kepada saya?” Pria yang menggunakan kaus hitam tipis yang warnanya sudah cukup luntur itu terus membungkukkan badan dengan takut. Sapu lidi di tangannya tampak sedikit bergetar.
Ben menggosok wajahnya menahan malu. Rupanya emosinya yang sedang tidak stabil membuatnya terus berpikir negatif. Bagaimana bisa ia mencurigai seseorang begitu saja? Dari dekat, tampak jelas bahwa orang di depannya ini tidak berbahaya. Sang penjaga makam bahkan tidak berani untuk sekadar menatap matanya. Ben merasa sangat bersalah karena telah menuduh sembarangan.
“Tidak. Tidak ada apa-apa, Pak. Saya hanya salah paham.” Ben akhirnya menjawab dengan sedikit lebih sopan. Ia merogoh saku kemejanya, mengambil beberapa lembar uang berwarna ungu. “Terima kasih atas kerja keras Bapak. Maaf, saya sudah mengganggu waktu istirahat Bapak. Pakai uang ini untuk membeli makanan enak sebagai gantinya.”
Sang penjaga makam tampak ingin menolak pemberian Ben, tetapi Ben sudah pergi lebih dahulu. Dengan cepat ia keluar area pemakaman. Menumpang mobil bak terbuka untuk menuju daerah tempat tinggalnya yang berjarak cukup jauh dari sana.
Setelah sampai di kawasan yang sama sekali berbeda dengan daerah perkotaan, Ben turun dari mobil dan melangkahkan kakinya dengan pasti. Tidak terlalu cepat maupun lambat, tanpa ada keraguan sedikit pun. Tubuhnya tegap, lengkap dengan dagu yang sedikit terangkat. Membuatnya terlihat gagah meskipun dengan wajah yang sedikit kusut. Ia tidak bisa membiarkan siapa pun yang ia lewati meremehkan dirinya. Duka yang masih menyelimuti hatinya ia sembunyikan rapat-rapat.
Jalan yang ia injak terus menimbulkan suara berderak. Kerikil-kerikil kecil sedikit menekan alas sepatunya yang menipis. Ben mendecakkan lidah dengan kesal lalu menendang sampah kaleng minuman yang lantas terlempar ke arah tiang listrik terdekat.
“Woy, santai!” teriak seorang pria lusuh yang tengah berselonjor di dekat sebuah gerobak sampah. Badannya yang tidak tertutupi pakaian yang layak berayun pelan, seolah-olah tengah terdorong oleh ombak yang tidak terlihat. Kedua matanya terlihat merah saat ia menyipit ke arah Ben. “Hah? Kaukah itu, Denver?”
Ben memutar bola matanya sendiri dengan kesal. Ingin sekali ia melampiaskan semua rasa frustrasi kepada pria kumal yang seenaknya menegurnya. Namun, ia tahu betul bahwa berbicara kepada orang yang sedang tidak sepenuhnya sadar merupakan hal yang sangat percuma.
Setelah menarik napas dalam, ia memalingkan muka dan kembali berjalan sambil melepaskan beberapa kancing bagian atas kemejanya. Mendadak udara di sekitar terasa terlalu menyesakkan untuknya bernapas.
“Denver! Kemari kau!” Pria itu kembali berteriak. “Jangan terus berkeliaran dan kembalilah kepada keluargamu!”
“Keluargaku sudah mati!” jawab Ben asal. Meskipun pada kenyataannya memang benar, ia tidak lagi mempunyai hubungan darah dengan siapa pun yang masih bernapas di dunia ini.
Pria lusuh itu terdengar meneriakkan protes, tetapi Ben tidak lagi peduli dan terus saja berjalan. Ia kembali mendengkus kesal saat melihat dua orang laki-laki berpenampilan preman sedang adu mulut, masing-masing memegang benda runcing di tangan. Melihat sekilas saja Ben tahu bahwa apa yang mereka pegang bukanlah senjata pada umumnya. Hanya botol kaca yang pecah ujungnya, dan sepotong tongkat besi bekas.
Satu goresan saja bisa membuat orang yang terluka terancam kehilangan nyawa karena tetanus. Ben akhirnya berhenti melangkah dan mempertimbangkan keputusannya sejenak. Akhirnya, ia menghampiri kedua orang itu meski enggan.
“Jika adu mulut tidak bisa menyelesaikan masalah kalian, setidaknya berkelahilah dengan lebih jantan! Apa kepalan tangan kalian itu tidak ada gunanya?” tegur Ben dengan suaranya yang besar dan dalam. Dua kalimat yang diucapkannya mampu membuat kedua pria di depannya terpaku seketika.
“Oy, Ben! Udah balik, kau? Kupikir kau sedang pergi menemui anak gadismu?” tanya salah satu pria yang memiliki bekas luka horizontal cukup panjang tepat di bawah mata kanan. Dengan santai pria itu membuang botol bekas di tangannya dan menghampiri Ben. Mengabaikan teriakan dari lawannya yang masih memasang kuda-kuda hendak menyerang.
Ben tidak menjawab pertanyaan itu dan lebih memilih untuk mengamati pria yang satu lagi. Terdapat suara mirip dengkuran yang keluar bersama dengan kata-kata kacau yang pria itu ucapkan. Semburat biru mewarnai bibir, kuku, dan juga lututnya. Ia juga bernapas dengan terengah-engah. Ben curiga ada yang salah dengan pria tersebut, tetapi ia tidak sempat untuk bertanya karena pria itu mendadak jatuh sambil memegangi dada.
Secepat kilat Ben menghampiri tubuh pria itu dan memeriksa detak jantungnya. Keningnya berkerut mendapati detak jantung yang terlalu cepat. Bau aneh yang menyengat membuatnya mengerutkan hidung. Berkali-kali ia mencoba membangunkan sang pria dengan menampar pipi atau menekan ujung ibu jari kaki, tetapi tidak berhasil. Ia lantas menoleh ke arah pria dengan bekas luka yang langsung mengangkat kedua tangan ke atas.
“Aku tidak ada hubungannya dengan ini. Dari awal, kami berdebat karena aku merasa ada yang salah dengannya,” jelas pria tersebut.
Ben menghela napas berat. Hari ini sudah ia jalani dengan susah payah, ia sungguh tidak butuh mengurusi permasalahan orang lain. Namun, tidak mungkin ia pergi begitu saja tanpa memberikan bantuan apa pun.
Pada akhirnya, ia berlari menuju perempatan jauh dari tempatnya berdiri tadi. Semakin lama, jalan yang ia lalui semakin sempit sebelum akhirnya ia mampu mendengar bisingnya kendaraan bermotor yang saling bersahutan memenuhi jalan beraspal. Bau sampah tidak lagi memenuhi penciumannya. Jauh di dalam hati, ia sibuk merutuki betapa banyak perbedaan yang terlihat meskipun ia hanya menempuh perjalanan kurang dari satu kilometer.
Ben belok ke kanan, melihat ke sana kemari dengan awas sebelum akhirnya menemukan tempat yang ia cari. Ia memasuki tempat itu dengan sangat tergesa-gesa, hingga pintu kaca yang didorongnya sedikit membentur dinding.
“Ada yang butuh bantuan! Satu orang polisi saja, tolong ikut denganku,” pintanya dengan suara lantang. Puluhan pasang mata yang menatapnya dengan heran hanya ia anggap angin lalu.
Melihat tidak ada satu pun pria berseragam menghampirinya, Ben menarik napas dalam-dalam lalu berteriak. “Seseorang tidak sadarkan diri tidak jauh dari sini! Di pemukiman dekat pantai tepat di belakang gedung ini! Apa tidak ada yang bisa kalian lakukan?”
Teriakannya sukses membuat beberapa polisi mendengkus dengan kesal. Salah satu di antaranya kemudian menghampirinya dengan senyum yang sama sekali tidak terlihat tulus.
“Mohon tenang dulu. Kita bisa bicarakan dulu masalah apa yang sedang Anda hadapi,” ujar polisi tersebut.
“Aku sudah bilang apa keperluanku! Jadi, jangan buang-buang waktu lagi sebelum seseorang benar-benar kehilangan nyawa!”
Polisi tersebut mendesah sebelum akhirnya memutuskan untuk tidak lagi bersikap ramah. “Dari apa yang Anda sampaikan tadi, sepertinya tidak ada hal mendesak yang sedang terjadi. Orang-orang jatuh tidak sadarkan diri karena obat-obatan bukan merupakan hal yang aneh di kota Patah. Apa Anda benar-benar berasal dari sini?”
Kedua mata Ben melebar mendengar itu. Rahangnya mengeras bersamaan dengan wajahnya yang memerah karena marah. “Sudah bertahun-tahun aku bertahan di kota yang kacau ini! Tempat ini memang jauh berbeda dari tempat tinggal impian semua orang, tapi setidaknya, kukira mereka semua masih diperlakukan layaknya manusia!” amuknya. Susah payah ia menahan kedua tangannya agar tidak mencengkeram kerah polisi di hadapannya.
Polisi tersebut lantas menghela napas lelah dan bersedekap. Kedua matanya menatap Ben dari ujung kaki hingga kepala. Sebuah seringai menyebalkan muncul di bibirnya. “Harusnya aku sadar sebelum aku menyahuti ucapanmu.”
Ben mengerutkan kening. “Apa?”
“Apa yang kamu konsumsi sebelum kemari? Eh, bukan. Karena kamu masih bisa berdiri tegak, mungkin kamu mengonsumsi sesuatu kemarin, bukan hari ini. Katakan, apa itu?” tanya polisi itu lagi tanpa memedulikan pertanyaan Ben. Ia bahkan membuang semua formalitas dengan tidak lagi menyebut Ben sebagai ‘Anda’.
“Jangan sembarangan bicara!” Ben mulai berteriak kembali karena frustrasi. “Kenapa tiba-tiba kamu bertanya tentangku? Yang butuh bantuan bukan aku!”
“Maaf, sebaiknya kamu pulang jika kamu tidak ingin ditangkap karena membuat masalah.” Polisi itu mengulurkan tangannya ke arah pintu keluar. “Ini akan memudahkan kita semua. Aku juga tidak perlu membuang waktuku dengan hal sepele. Pekerjaan seorang polisi lebih banyak dari yang kamu tahu.”
Ben ingin mengamuk mendengar itu. Ia bahkan telah mengambil satu langkah mundur sebagai ancang-ancang sebelum mengayunkan tinjunya. Hanya saja, suara seseorang yang berdeham keras membuatnya menoleh dan melihat beberapa polisi lainnya telah berdiri waspada dengan senjata api di tangan. Semuanya ditujukan kepadanya sementara beberapa orang lainnya yang tidak berseragam duduk dengan kedua tangan menutup telinga. Bersiap untuk menahan suara ledakan yang mungkin akan segera terjadi.
Darah Ben seolah-olah mendidih melihat semua ini.
Saat pertama kali pindah ke kota Patah karena godaan harga tanah dan bangunan yang murah, Ben memang tidak berharap banyak. Ia hanya ingin memiliki atap dan dinding layak untuk tempat keluarganya bernaung. Lokasi dekat pantai tempatnya mencari nafkah ia anggap sebagai bonus. Apa pun yang terjadi, Ben pikir ia akan bisa melindungi istri dan anaknya dengan seluruh kekuatan dan keberaniannya.
Namun, tidak pernah ia menyangka bahwa tempat ini jauh lebih kacau dari rumor yang beredar. Apalagi kini setelah ia tinggal sendirian, mata Ben menjadi semakin terbuka untuk melihat betapa bobroknya daerah pemukiman padat itu.
Dan apa yang membuat Ben lebih kesal adalah bagaimana ia dengan tidak berdaya mengangkat kedua tangannya di samping kepala dan berbalik untuk pergi. Lagi-lagi ia gagal untuk menolong orang yang butuh bantuan.
Apa keadaannya yang seperti ini yang telah membuat Alisya kehilangan nyawa? Mau tidak mau Ben jadi bertanya-tanya.
Ben terus terdiam bahkan saat ia kembali melewati pria dengan bekas luka yang menatapnya heran. Sekilas Ben melihat pria itu berdiri di dekat tubuh yang terbujur kaku di atas tanah. Sebagian tubuh bagian atas ditutupi karung bekas. Ben semakin menundukkan kepala dan terus berjalan tanpa kata.
“Kau tenang saja! Aku akan menguburnya dengan layak!”
Ben hanya menanggapi dengan melambaikan tangan tanpa melihat ke belakang. Ia memasuki sebuah gang sempit yang sedikit lebih lebar dari tubuhnya. Dalam hitungan detik ia keluar ke jalan lainnya dan memasuki sebuah pekarangan rumah kecil yang memiliki pintu berwarna merah terang.
Apa yang Ben sebut sebagai pekarangan sebenarnya hanya sebuah halaman yang luasnya tidak lebih dari enam meter persegi dengan pagar kayu bekas sebagai penghalang. Ben mendorong pagar kayu tersebut dan langsung berusaha membuka pintu rumah dengan kunci di tangannya.
Tiba-tiba pintu itu terdorong olehnya dan terbuka begitu saja.
“Hah? Kenapa pintu ini tidak terkunci?”
***
Melihat pintu rumahnya yang tidak terkunci, Ben segera berbalik dan mengecek pagarnya. Seketika menyadari bahwa sedari tadi deretan kayu itu tidak berada dalam posisi tertutup rapat. Aneh. Ben sangat yakin bahwa ia telah menutup rapat pintu rumah dan pagarnya sebelum pergi tadi. Tidak peduli seberapa terburu-burunya dirinya, ia tidak mungkin mengulang kesalahan yang sama yang telah merenggut nyawa anaknya secara tidak langsung. Kedua tangan Ben sedikit bergetar mengingat kejadian malam itu, tetapi ia segera kembali menenangkan diri sebelum melangkah masuk. “Siapa pun kau, keluarlah! Jangan bersembunyi seperti tikus kecil!” Teriakan Ben dipantulkan kembali oleh keempat dinding rumahnya. Cat putih kusam yang mulai mengelupas menambah ketegangan suasana. Ben berjalan mengendap dengan mata melebar, mengawasi setiap sudut. Tidak banyak perabotan yang berada di dalam rumahnya. Hanya ada sebuah karpet plastik di dekat pintu masuk. Kompor dan meja kecil berada di salah satu sudut terjauh. D
Pertemuan antara Ben dan Thalia baru terjadi beberapa hari kemudian. Dengan sengaja Ben terus menundanya, berniat memberikan waktu untuk mereka berdua menenangkan diri masing-masing terlebih dulu. Ia tidak bisa memikirkan tempat pertemuan selain makam anak mereka tercinta. Berpikir bahwa setidaknya, ia bisa memanfaatkan kesempatan ini untuk mengunjungi tempat peristirahatan Alisya bersama Thalia. Ben tiba beberapa menit lebih dulu. Semua pekerjaan hari ini telah ia titipkan kepada pegawai kepercayaan. Sambil membawa satu buket bunga mawar merah kesukaan Alisya, Ben berjalan pelan melewati makam demi makam. Hingga akhirnya langkahnya terhenti. Kedua matanya sedikit melebar melihat keadaan makam Alisya. “Apa ini? Siapa yang ….” “Garry yang mengerjakan semuanya.” Ben menoleh ke arah Thalia yang baru saja berbicara. Berbeda dengan hari di saat Alisya dimakamkan, kali ini wanita itu mengenakan pakaian yang lebih kasual. Tidak ada selendang yang menutupi rambut hitamnya yang digulung k
“Aku benar-benar masih menyayangimu.” Thalia mengulang ucapannya. Suaranya tidak lagi bergetar, ia terlihat jauh lebih tegar dari sebelumnya. “Biar bagaimanapun, kita punya cukup banyak kenangan bersama. Demi itu semua, dan demi rasa sayangku yang masih cukup besar kepadamu, aku ingin mengatakan bahwa kamu harus lebih berusaha memperbaiki hidupmu.”Ben sempat merasa tersentuh mendengar Thalia masih peduli kepadanya, tetapi ia lantas mengerutkan kening kebingungan. “Memperbaiki hidupku?”“Pindahlah ke tempat tinggal yang lebih layak dan bagus. Aku tidak mau Alisya di atas sana menyaksikan bagaimana hidup orang tuanya begitu kacau.”“Oh, kalau soal itu,” Ben berdeham dengan kikuk, “sebenarnya, aku sudah ada—“
“Apa ini jalan yang benar? Zamanku dulu tidak pernah ada peta seperti ini.”Ben mengangkat sebelah alisnya. “Dengarkan saja terus petunjuknya. Aku yakin sudah memasukkan alamat yang tepat.”“Tapi dari tadi aku tidak mendengar apa pun.” Sambil mengatakan itu, Sander sibuk menekan setiap tombol yang terdapat di bagian terluar layar. Ia sedikit kesulitan karena masih harus menyetir dengan fokus.Hingga akhirnya suara wanita yang berasal dari aplikasi peta itu terdengar sangat keras, mengejutkan Sander dan juga Ben. Keduanya tersentak di tempat. Sander sendiri hampir menginjak rem secara mendadak di tengah jalan raya. Dengan seringai penuh rasa bersalah, ia mengangkat salah satu tangannya tanda meminta maaf.Lagi-lagi Ben harus mengatur na
Ben terbangun dengan perasaan yang sedikit lebih tenang. Meskipun mimpi tentang masa kecilnya bukanlah hal yang cukup membahagiakan, Ben cukup senang bisa mengingat kembali Rossa, teman-temannya, serta satu orang gadis yang selalu ia rindukan.Dalam hati ia berniat untuk berkunjung ke Panti Asuhan Kurnia Sentosa dalam waktu dekat.Untuk saat ini, Ben masih membutuhkan waktu untuk sendiri. Tampaknya ia masih belum benar-benar pulih dari rasa kehilangan karena dalam beberapa detik ia kembali merasa sesak. Dengan terburu-buru ia melangkah keluar rumah tanpa memedulikan penampilannya yang kemungkinan besar terlihat berantakan. Ia sungguh memerlukan udara segar di luar bangunan dua lantai yang beratap tinggi tetapi terasa menghimpit tubuhnya ini.“Rumah ini tidak sebesar itu, tapi kenapa pintu keluarnya terasa jauh
Ben tertawa sinis mendapati bahwa ia tanpa sengaja kembali ke daerah pinggiran kota Patah. Rupanya ia benar-benar telah berlari terlalu jauh hingga menempuh jarak yang biasanya hanya ditempuh dengan mobil.“Sepertinya aku memang harus kembali.”Bertahun-tahun tinggal di sana membuat Ben hafal setiap belokan yang harus dilaluinya. Dengan pikiran kosong pun ia akan tetap sampai ke rumah kecilnya yang semakin hari semakin menyerupai gubuk.Namun, sebelum itu, ia mengambil jalan lain menuju pantai. Beberapa orang yang terlihat masih berkumpul di sana membuatnya mengerutkan kening.“Kenapa kalian masih di sini? Bukankah seharusnya penjualan sudah selesai sebelum matahari terbit?” tanya Ben sambil melihat ke arah baskom-baskom besar berwarna biru
Suara berderak pelan terus terdengar dari sebuah pintu tua. Seorang pemuda yang menutupi seluruh wajah dan kepalanya dengan sarung kotak-kotak coklat tengah membungkuk di depan pintu itu, tangannya bergerak lincah memasukkan sesuatu ke lubang kunci. Pencahayaan lampu teras yang tidak terlalu baik membuatnya sedikit merasa aman, hanya sesekali kepalanya menengadah, memastikan bahwa tidak ada orang yang tengah menyaksikan aksinya.Setelah terdengar kunci pintu terbuka, pemuda itu menarik napas dalam sambil menyingkirkan kain yang sempat menutupi hidung dan mulutnya. Dengan senyum di bibir, ia melangkah masuk ke rumah yang baru saja ia bobol itu.“Hah … mudah sekali. Kenapa dia repot-repot ganti kunci kalau kualitasnya sama saja?” Ia bicara sendiri sambil memainkan tindik di bawah bibirnya dengan lidah. Kedua mata abu-abu kebiruan yang sangat ko
“Hmm?” Ben mengangkat salah satu alisnya penuh tanya. “Menyedihkan. Kamu tidak punya alasan yang lebih bagus?” Ia menghela napas sebelum bersiap untuk mengayunkan tinjunya.Denver hampir gila rasanya. Sekilas, ia dapat melihat seluruh hidupnya terbersit di pikirannya, seolah-olah otaknya tengah meninjau kembali seluruh waktu yang telah ia habiskan dengan sia-sia. Pemuda itu lantas mengumpat. Ia sama sekali belum mau mati. Meskipun kehidupan ini bersikap kejam kepadanya, ia masih memiliki tujuan yang akan ia capai meski harus menjungkirbalikkan dunia.Sebagai pertahanan terakhir, akhirnya Denver mengambil gantungan baju yang ada di dekatnya. Menghunuskan bagian ujungnya yang melengkung tetapi berujung runcing kepada Ben dengan sekuat tenaga. Refleks Ben yang bagus membuatnya menghindar tepat waktu, dan Denver memanfaatkan saat itu untuk b