Share

Menampik

Dita mematung dengan mata berkaca-kaca saat mendapati anak perempuan yang berusia 5 tahun tengah berdiri satu meter di depannya. Seketika otot kakinya rapuh dan bibirnya kelu, tidak bisa berkata apa pun. 

'Mama?' Sedetik kemudian air mata itu luruh.

“Teteh baik-baik aja?” Pertanyaan Nadiya berhasil mengembalikan kesadaran Dita. 

“I-iya. Maaf, saya hanya ingat sama anak saya di kampung,” ucap Dita seraya menyeka air mata di pipinya. “Ia kemudian jongkok di hadapan anak perempuan tersebut. “Hai, siapa nama kamu?” tanya Dita pada anak tersebut dan tidak mendapat jawaban. 

Anak itu menatap Nadiya terlebih dahulu. Seolah-olah meminta persetujuan dari wanita itu untuk menjawab pertanyaan wanita asing di depannya. 

Hati Dita semakin hancur menyaksikan bagaimana dirinya terlihat begitu asing di mata darah dagingnya sendiri. Anak perempuan itu tidak mengenalinya sedikit pun. 

“Ini Tante Ami, Sayang. Temennya ayah kamu.” Nadiya memberi jawaban atas tatapan anak tersebut. "Enggak usah takut, Tante Ami orang baik, kok,” sambungnya. 

Anak itu kembali menatap Dita. “Hai Tante. Aku Devina,” ucap anak itu dan sebuah senyum terulas di kedua sudut bibir mungilnya. 

“Hai, Devina. Boleh Tante peluk kamu?” tanya Dita dengan mata yang sudah memupuk cairan bening. Ia merasakah sebuah dorongan yang sangat kuat saat melihat Devina. Dita ingin memeluk, mencium anak itu untuk menumpahkan segala kerinduannya selama ini.  

Dita langsung memeluk Devina setelah mendapat anggukan dari anak tersebut. Ia megatupkan bibirnya serapat mungkin agar tidak sampai menyuarakan isi hatinya saat ini.

Dita kemudian segera bangkit dari posisinya dan kembali berdiri setelah megusap pucuk kepala Devina. 

“Maaf, Nadiya. Kurasa aku harus segera kembali ke kampung dan bertemu dengan anakku,” ucap Dita sambil menyeka sisa air mata yang tertinggal di pipinya. 

“Iya, Teh. Aku ngerti, kok. Teteh pasti kangen banget sama anak Teteh,” ucap Nadiya yang terlihat begitu bersimpati. 

Dari cerita Dita sebelumnya, ia tahu jika wanita tersebut mempunyai seorang anak berusia 5 tahun yang sudah lama ia tinggalkan untuk bekerja. Sebagai seorang ibu, Nadiya memahami perasaan Dita yang begitu merindukan buah hatinya. 

Dita meninggalkan rumah Nadiya dengan perasaaan yang berkecamuk di hati. Gegas ia menghidupkan mesin motor yang terparkir di halam rumah Nadiya dan segera melajukan kendaraan roda dua tersebut setelah mesin menyala. Yang Dita inginkan saat ini adalah segera meningalkan rumah tersebut.

Tujuan Dita bukanlan rumah sahabatnya lagi, melainkan sebuah pantai di sana yang kini menjadi ikon wisata di deaerah tersebut.

Setelah memarkirkan kendaraannya, Dita gegas berjalan menuju tepi pantai. Namun, karena berjalan sambil menunduk dan tidak memperhatikan sekitarnya, tubuh Dita terpelanting ke belakang saat ia menabrak tubuh seorang pria. Beruntung pria tersebut segera menahan tangan Dita, membuat wanita itu kembali berdiri.

"Maaf," ucap Dita tanpa mendongak sedikitpun. Menyembunyikan lelehan air mata yang semakin deras ke luar tanpa bisa dicegah. Dita setengah berlari menuju bibir pantai.

"Dasar wanita aneh," gumam pria tersebut.

Semilir angin laut yang berembus membelai surai panjang Dita yang tengah berdiri di tepi pantai. Pandangannya lurus ke depan pada lautan yang terbentang luas. Ia membiarkan deburan ombak membasahi kakinya. 

Dengan pandangan yang sedikit kabur, karena mata yang terus saja memproduksi kelenjar lakrimal, Dita terus melangkah menantang ombak. Entah apa yang ada dalam pikirannya saat ini. 

“Arghhhh ….” Dita berteriak, membuat beberapa pengunjung yang ada di sana menatapnya heran. “Arghhhh ….” Sekali lagi ia berteriak untuk meluapkan kekecewaan dalam hatinya seraya  memejamkan mata. Membuat kristal bening semakin deras ke luar dari kedua sudut matanya.

‘Mama ….’

Suara Devina, sang putri. Seketika memenuhi indra pendengaran Dita. Ia kembali terisak saat mengingat bagaimana putri kecilnya memanggil sebutan itu pada wanita lain. Bukankah seharusnya dia yang mendapat panggilan itu? 

Hancur. Hati Dita benar-benar hancur dan ia tidak tahu bagaimana caranya mengumpulkan kepingan rasa sakit itu. Bimo benar-benar telah mengkhianatinya. Namun, sesaat kemudian Dita mengusap pipi, menyeka air matanya. 

“A Bimo pasti sedang ngerjain aku. Iya. Dia pasti cuman ngerjain aku doang. Dia pasti ingin memberikan kejutan sama aku karena aku pulang hari ini.” Sebuah senyum kemudian terulas di bibirnya. Dita mencoba menghibur diri dengan menampik fakta yang baru saja ia ketahui. “Aku harus balik lagi ke sana untuk menemui A Bimo.” Dita memutar tubuhnya. Namun, baru berjalan beberapa langkah, ia kembali berhenti. Akal kembali mencerna apa kata hatinya. 

Bagaimana mungkin Bimo sedang bersandiwara hanya untuk memberikan kejutan padanya? Bimo bahkan tidak tahu sama sekali tetang kepulangannya. Dan lagi, wanita itu? Bayi itu? Dan foto pernikahan mereka? Semua terlihat begitu nyata dan sangat sempurna jika hanya untuk sebuah sandiwara belaka. 

Sebuah nama muncul dalam ingatan Dita. Lastri. Hanya sahabatnya itu yang tahu perihal kepulangannya. 

“Lastri. Aku harus segera menemuinya.” Gegas Dita melebarkan langkahnya. Ia harus segera menemui sahabatnya tersebut dan bertanya pada wanita itu. “Lastri pasti sudah memberitahu A Bimo lebih dulu dan mereka pasti sekongkol buat ngerjain aku. Awas aja, ya, kalian. Bisa-bisanya ngerjain aku sampai aku nangis kayak gini,” gerutu Dita sambil terus berjalan. 

Tidak ada lagi kristal bening yang membasahi pipi,  dan tidak ada lagi air yang menggenang di pelupuk mata. Yang ada hanyalah sebuah senyum yang terulas di kedua sudut bibi  Dita dan sebuah harapan baru. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Mael Julius
kok ngga nanya davina itu anak siapa..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status