“Kamu nggak pa-pa?” tanya Bintang sambil menyerahkan sebotol air mineral dingin pada Azzalyn.Azzalyn hanya bisa menggeleng sambil tersenyum dan meneguk segarnya air yang kini membasahi kerongkongannya. “Maaf ya, aku ngerepotin kamu lagi,” kata Azzalyn. “Kali ini aja Bintang. Lain kali aku akan minta antar Paman Bandi aja kalau ada panggilan lagi dari kantor polisi. Hari ini Paman Bandi sibuk karena satu lagi kapalnya baru datang dari melaut.”Azzalyn merasa tak enak hati. Hari ini ada panggilan sebagai saksi untuk kasus pembunuhan sang ibu. Sudah dua hari sejak kemarin ia datang ke rumah Abyl dan membawa polisi untuk menangkap Riska. Masih diingatnya, makian Bu Narti dan sumpah serapah Riska saat tangannya diborgol dan dibawa paksa menuju hotel prodeo.“Aku nggak keberatan. Tiap kamu mau turun ke kota aku siap kok jemput kamu,” kata Bintang dengan senyum mengembang. Tentu saja hatinya sangat senang bisa selalu berdekatan dengan Azzalyn, meski badannya lelah karena harus menempuh
“Bersenang-senanglah selagi kau bisa. Lakukan kemampuan terbaikmu untuk menjatuhkanku. Karena setelah aku bisa bebas dari sini, aku akan membalasmu dan orang-orang yang terlibat membantumu. Semuanya, tanpa terkecuali. Aku akan membuatmu menderita lebih daripada saat ini. Akan kupastikan itu!”Kalimat yang tadi diucapkan Riska masih terngiang di telinga Azzalyn. Kalimat yang diucapkan setengah berbisik saat Azzalyn hendak pulang, setelah memberi kesaksiannya. Riska yang dengan tangan diborgol, memandangnya dengan mata penuh kebencian dan dendam.Awalnya Azzalyn tak ambil pusing. Namun kini ia jadi memikirkan nasib orang-orang yang ada di sekitarnya. Apalagi tadi ia melihat Riska, Bu Narti dan Krisna Hadi yang terlihat serius berdiskusi dengan seseorang yang Azzalyn tebak sebagai pengacara. Dan kini belum ada satu pun dari mereka yang keluar. Mungkinkah mereka sedang mengusahakan pembebasan Riska?Azzalyn terus berpikir, tak peduli dengan orang-orang sekitar yang lalu-lalang, keluar
“Apa??!! Kok bisa?!” Bandi terlihat sangat terkejut dan marah.“Aku nggak tahu Paman. Mereka cuma bilang nggak cukup bukti,” Azzalyn masih menangis. Hatinya sakit sekali mendengar kabar Riska yang telah dibebaskan. Pupus sudah harapannya untuk mendapatkan keadilan atas kematian sang ibu.“Nggak cukup bukti gimana? Udah jelas-jelas kita punya video rekaman CCTV dan foto-fotonya.” Ujar Bandi tak terima.“Mereka bilang, video CCTV itu nggak membuktikan apa-apa, dan foto-foto yang kita beri belum bisa dibuktikan keasliannya, bisa saja itu hanya editan,” kata Azzalyn. “Yang diperlukan untuk menjerat Riska adalah saksi yang melihat langsung kejadian itu. Karena kita nggak bisa mendapatkan saksinya, maka Riska bisa dibebaskan dengan uang jaminan,” sambung Azzalyn panjang lebar.“Gimana dengan mata-mata yang kemarin kita tangkap? Apa dia bersaksi?”“Dia udah dibebaskan juga Paman. Aku nggak tahu dia bersaksi memihak pada siapa.”Bandi membuang napas dengan kuat. “Hahh... Ternyata karena
“Apa yang kau lakukan Riska? Apa kejadian yang menimpa Paman Bandi adalah perbuatanmu?” tanya Azzalyn sambil menangis.“Memangnya kenapa kalau itu perbuatanku?”“Kenapa kau jahat sekali Riska? Paman Bandi nggak ada hubungannya denganmu. Kenapa kau tega mencelakakannya?!”“Kata siapa tak ada hubungannya? Dia adalah orang yang terlibat membantumu selama ini kan? Dia yang membuatmu jadi di atas angin, dengan bukti yang didapatnya, kau datang dengan sangat angkuh ke rumahku. Membawa polisi dan menyeretku ke penjara. Membuat aku tak bisa makan dengan enak dan tidur nyenyak karena sangat ingin menghancurkanmu, Azzalyn . Tapi sekarang kau tahu kan siapa yang hebat? Kau tahu kan seberapa besar kekuatanku?”“Tapi kenapa Paman Bandi? Kalau kau memang membenciku, harusnya kau bunuh aku saja,” Azzalyn bersimpuh sambil menangis. Hatinya perih setelah tahu bahwa ia menjadi penyebab Bandi celaka.“Kau sekarang menangis? Lucu sekali. Coba perlihatkan lagi padaku betapa arogannya dirimu saat kema
“Waktu itu sekitar jam 10 malam. Kami kelaparan dan berniat pergi keluar buat cari makan. Tapi si anak baru yang namanya Jiman itu nggak mau ikut keluar. Katanya masih mau bersih-bersih. Karena memang dari awal kerja dia keliatan rajin, ya kami nggak curiga. Kami tinggalkan dia sendiri di kapal. Sementara kami keluar cari makan.” Sampai di sini cerita Karyo berhenti. Dia tampak sedang mengumpulkan ingatannya sedikit demi sedikit.“Lalu?” tanya Bintang tak sabar. “Apa setelah itu Bang Karyo nggak lihat dia lagi?”“Masih ketemu Bang. Saya pulang duluan ke kapal karena mikir kasian sama dia. Sambil bawain nasi bungkus buat dia makan. Tapi pas saya baru aja nyampe, dia udah keluar dari kapal dan bilang mau pulang ke rumah karena ada keluarganya yang sakit. Dia keliatan buru-buru banget.”“Kira-kira apa yang dia lakukan selama sendirian di kapal?” tanya Azzalyn.“Bang Karyo bilang ada terdengar ledakan kecil dari arah ruang mesin?” “Iya Bang Bintang. Kecil tapi kayaknya bukan mesin y
Azzalyn berlari masuk ke rumah bagai tak mengingat apa pun. Yang ia inginkan hanya bisa secepatnya sampai ke kamar dan melihat keadaan Abidin. Tak ia pedulikan badannya menabrak beberapa orang tetangga yang sejak tadi telah ramai berada di rumahnya. “Itu Azzalyn pulang.” Suara salah seorang dari mereka sempat terdengar singgah di telinga Azzalyn. Azzalyn merasakan kakinya lunglai saat sampai di depan pintu kamar tempat Abidin biasa melewati hari-harinya. Air matanya tak dapat dibendung kala melihat tubuh sang kakek yang kini telah ditutupi kain, mulai dari ujung kaki hingga menutupi kepala. “Mbah…” Suara lirih disertai tangis terdengar saat Azzalyn membuka kain yang menutupi wajah Abidin. Tampak wajah tua dan keriput milik Abidin yang terlihat pucat. Azzalyn menangis keras sambil memeluk tubuh Abidin yang sudah dingin dan terbujur kaku. “Mbah… Jangan tinggalkan Azzalyn…” Tangisnya. “Azzalyn…” Bintang berusaha untuk menenangkan. Namun Azzalyn terus menangis dan berteriak. “Kembali
Azzalin melihat ke sekelilingnya, tampak pemandangan yang bersih dan asri. Banyaknya pepohonan di sekitar membuat udara di sekitar kos-kosan ini begitu sejuk.“Ayo, aku antar kamu masuk ke dalam,” suara Bintang sedikit mengagetkannya. Azzalyn mengangguk dan mengikuti langkah Bintang yang membawanya ke depan sebuah pintu rumah yang berada tepat di depan kos putri yang akan ia tinggali untuk sementara.“Ini rumah Ibu Kos nya?” tanya Azzalyn setengah berbisik.“Iya. Namanya Bu Retno. Beliau baik banget.”“Kok tahu kalau dia baik?”“Dulu ada teman SMA ku yang pernah ngekos juga di sini. Kamu bakal suka tinggal di sini. Selain Ibu kos nya baik, tempatnya juga bersih dan aman,” kata Bintang.Azzalyn hanya mengangguk. Tak lama pintu dibuka, dan muncul seorang perempuan paruh baya yang memakai kerudung instan berwarna cokelat tua. Wajahnya yang teduh dengan senyum yang menghiasi bibir membuat Azzalyn langsung merasa kalau dia adalah orang yang baik.“Eh, Nak Bintang. Udah lama ya kita nggak k
Azzalyn menatap dengan penuh pandangan benci pada gadis di depannya. Gadis yang baru saja menghina dan mengeluarkan kata tak pantas. Dwita tampak sedang bersenang-senang dengan dua orang temannya. Entah kenapa bisa secara kebetulan bertemu dengan Azzalyn seperti ini. Ah iya, tadi Pak Andri mengatakan kalau Riska dan Dwita memang sering datang ke hotel ini.“Oh ya? Apa kalau aku sedang berada di hotel, itu artinya aku sedang mencari pelanggan dan menjual diri?” tanya Azzalyn sambil memberi tatapan seolah menantang pada Dwita.”Aku nggak salah kan? Sepertinya sejak putus dari Kak Abyl kau kehabisan uang ya? Dan sekarang targetmu pasti Om-Om yang kaya. Kau kan matre!”“Jaga mulutmu Dwita! Kau sendiri apakah datang ke sini karena menjual diri juga?”“Aku nggak sama denganmu. Aku nggak perlu jual diri juga duitku udah banyak. Beda denganmu. Mamaku bilang, kau itu cuma anak perempuan yang kerjanya megangin ikan-ikan yang bau. Jadi jelas beda kan denganku yang setiap hari memegang uang yang