Suasana ruangan bernuansa abu dan putih itu menjadi sedikit tegang. Kakek Richard masih menunggu kalimat selanjutnya, ingin mengetahui apa yang sebenarnya Tuan Ray inginkan dengan menyebut cucunya sebagai penyusup. "Aku tahu cucu Anda adalah orang yang jujur, lurus, dan bisa diandalkan. Tapi bukan berarti dia tak mempunyai sisi buruk. Aku bisa menjamin Vincent dan satu orang lain bawahanmu melukai dua pekerjaku. Aku bisa saja membuat laporan atas tindakan kriminal.""Aku sangat mengenal Vinn. Dia takkan melakukan sesuatu yang tidak beralasan. Vinn, katakan apa tujuanmu datang ke gudang milik Tuan Ray?" Pria renta kembali beralih pada cucunya. Ia menatap Vinn dengan keyakinan. Vinn bungkam. Tentu saja ia tak mungkin jujur tentang penyelidikannya. Tapi ia bisa menangkap maksud mencurigakan dari cara Tuan Ray menatapnya. "Begini saja, ijinkan mereka mengambil kembali barangku dan kuanggap masalah ini selesai. Bagaimana?" Si kolektor dengan topi fedora tersenyum miring. "Cukup sebutka
Clara membuka netranya dengan berat. Cahaya dari lampu kamar sejenak membuatnya terpejam kembali. Kesadarannya belum pulih sepenuhnya tapi ia merasa ada yang aneh. Tubuhnya terasa remuk, terutama dari bagian pinggang ke bawah. Semula ia tak mengingat apa yang terjadi beberapa jam yang lalu. Hingga saat ia menoleh ke arah samping, wajahnya langsung berhadapan dengan wajah milik seorang pria.'Martin? Kenapa dia di sini?!' batin Clara. Jantungnya mulai berdegup kencang. Ia hendak bangun. Namun ternyata satu tangan pria itu tengah memeluk perutnya. Tak hanya itu, saat menyingkap selimut Clara baru menyadari jika mereka sama-sama tidak berpakaian. Barulah ingatan Clara tentang peristiwa itu kembali sepenuhnya. Dalam suasana senyap di kamar luas, ia menggigit bibirnya kuat agar air matanya tidak keluar. Perlahan tangannya memindah tangan Martin agar tidak terbangun. Setelah berhasil, ia bangkit dan masuk ke kamar mandi. Hal pertama yang Clara lakukan adalah melihat pantulannya pada cer
Dengan langkah gontai, Vinn menjejaki satu per satu anak tangga menuju lantai dua. Semangatnya yang nyaris penuh kini memudar usai sang kakek mengakhiri percakapan mereka malam itu. Beberapa saat yang lalu, Vinn mengira ia akan menemukan jawaban. Namun nyatanya kakek beserta pamannya justru kembali bermain teka-teki. Kali ini ditambah satu petuah yang sekilas terasa janggal. "Kau dan Martin adalah keluarga. Aku tidak akan melarangmu tetap berinteraksi. Tapi lebih baik kalian tidak perlu membahas tentang masa lalu. Biarkan masa lalu tetap tersimpan. Masalah ini tentang aku dan Ronald."Itu adalah kata-kata Tuan Richard Alfredo sebelum menutup percakapan. Ketika Vinn memandang pamannya untuk menemukan jawaban yang lebih memuaskan, pria itu justru bangkit seraya menelepon seseorang. Vinn sudah hampir sampai di tujuannya, ruang kerja sang kakek. Tapi mendadak, netranya menangkap sebuah foto keluarga yang terpajang dengan bingkai emas. Foto pernikahan kedua orang tuanya. Ibunya yang jel
Dua hari kemudian, semua berjalan secara normal. Vinn datang ke kantor pusat Orion Group seperti biasanya pagi itu. Ia berjalan menuju lift yang akan membawanya ke lantai lima. Tempat ruangannya berada. Staff yang berpapasan dengannya menunduk hormat. Hingga Vinn hampir mendekati meja Olivia, wanita berwajah ayu dengan bibir mungil yang tak lain adalah sekretarisnya. "Selamat pagi, Pak," sapa Olivia setelah bangkit dari kursinya. "Pagi. Bawa laporan yang kemarin saya minta dan siapkan berkas untuk meeting pukul sepuluh nanti," ucap Vinn tanpa ekspresi. "Baik. Pak, ada seseorang yang ingin bertemu dengan Anda," tambah wanita dengan blouse putih tulang itu. "Siapa?" Vinn sedikit menoleh."Pak Torro. Beliau mengaku sebagai teman dari mendiang Pak Darren.""Teman ayah?" Pertanyaan itu terdengar lirih, seakan Vinn bertanya pada dirinya sendiri. "Sekarang beliau masih menunggu di sofa lobby, Pak. Apa Anda mau menemuinya?"Vinn menimbang sejenak sebelum akhirnya mengangguk singkat. Pri
Pukul sebelas malam, di sebuah club dengan nuansa retro pusat kota. Paman Tino masuk dengan gaya santai dan langsung duduk di kursi depan meja bartender yang kebetulan kosong. Suasana club elite itu tidak terlalu ramai. Paman Tino melihat sekitar lalu menyebutkan minuman yang bisa menaikkan mood-nya malam ini. "Buatkan aku satu tequila," ujarnya pada bartender yang lalu mengangguk dengan raut cenderung acuh. Sekali lagi, Tino mengamati sekitar seakan memastikan jika tidak ada satu orang pun yang mengikuti maupun mengatasinya. Sejenak kemudian, ia mendekatkan posisi. Sebelum membisikkan satu pertanyaan. "Apa dia sudah datang?"Si bartender dengan rambut cepak menatapnya selama dua detik dan balik bertanya. "Anda sudah membuat janji dengannya?""Itu rules untuk orang lain. Kami cukup dekat. Katakan saja jika Tino mencarinya." Pria itu berucap dengan santai. Tangannya memainkan tepian gelas bening berisi minuman dingin buatan si bartender. "Silahkan Tuan tunggu sebentar." Pria muda
Sore hari di suatu bistro kawasan perkantoran.Daniel menatap datar pada pria sebaya di depannya yang terus berbicara dengan wajah bersemangat. Ia tak mempunyai keinginan untuk menjawab ataupun menanggapi. Netranya justru menelusuri jalanan yang bisa dilihat melalui dinding kaca tebal. "Ini tawaran yang bagus, bukan? Bos kami bahkan bisa menggajimu lebih dari Tuan Alfredo," tambah pria berkacamata itu. Tampaknya ia bisa sabar menghadapi Daniel yang sedari tadi hanya diam. "Aku tidak tertarik," jawab Daniel akhirnya. "Kau yakin?" Daniel memandang pria itu lagi. Mereka baru pertama kali bertemu dan ia langsung mendapat tawaran dengan gaji yang fantastis. Namun tidak ada sedikit pun keinginannya untuk berpaling dari pekerjaannya saat ini. Bukan cuma karena Keluarga Alfredo selalu memperlakukannya dengan baik. Tapi karena dalam hati ia telah bersumpah untuk melindungi Vincent. Daniel merasa telah berhutang nyawa pada tuan mudanya tersebut. Berawal dari kejadian tiga tahun lalu, di pe
Kakek Richard mengeratkan pegangannya pada tongkat di tangan. Pria dengan tubuh ringkih itu duduk dengan tidak tenang sudah lebih dari satu jam. Di depannya, berjarak sekitar tiga meter terdapat lima pria paruh baya yang merupakan Lima Tetua generasi kedua."Cucu Anda sepertinya cukup sibuk hari ini, Tuan," ucap salah satu Tetua yang bernama Malldise. Pria dengan gurat wajah serius itu mendongak usai membaca lembar pengalihan Alfredo Group yang membutuhkan tanda tangan Vinn. "Kita tunggu hingga tiga puluh menit," balas Kakek Richard dengan suara seraknya. Pria itu menatap Tuan Bara yang berdiri di dekat pintu sambil menempelkan ponsel pada telinga. Sejenak kemudian ia menoleh, mencari keberadaan Aiden yang tampak berbicara dengan seseorang melalui airpods. Setelahnya, ia mendekati Kakek Richard guna menyampaikan informasi yang telah didapat. "Tuan, Tuan Vincent tidak ada di kantor. Daniel juga tidak bersamanya karena dinonaktifkan hingga esok hari," ucapnya setengah berbisik. Kake
Hening mendadak tercipta usai Paman Tino mengeluarkan kalimat tuduhan untuk Jeremy. Tuan Bara dan Kakek Richard saling pandang. Sementara Lima Tetua tampak saling berbisik, bertanya satu sama lain. "Itu benar, Bara. Paman, Jeremy bukan sekedar cucu dari Jaksa yang Paman kenal. Dia adalah pembunuh. Pembunuh bayaran! Aku punya buktinya." Paman Tino maju dengan tergesa-gesa menuju tempat Kakek Richard berada. Jeremy sudah ingin membuka mulut tapi lagi-lagi Paman Tino lebih cepat. Pria paruh baya berwatak licik itu terus mengemukakan apa yang menurutnya fakta. "Kalian ingat bagaimana Rosemary Blue meninggal secara misterius tiga tahun lalu? Aku mendapat informasi jika di seorang petugas hotel melihat pria dengan tatto 'No Life' pada tangan di kamar wanita itu."Tuan Bara memicingkan mata, menatap Jeremy yang tampak gelisah. Dengan cepat ia memberi kode pada dua penjaga yang selalu siap di di sekitar ruangan itu. Dua pria yang mendapat kode mengangguk singkat. "Tidak, jangan dengarkan