Share

5. Pemecatan Nia

Bara dengan santainya duduk menempati meja makan. Lelaki itu tidak menganggap ada keberadaan Nia yang jelas-jelas dia kenal. “Aku yakin setelah ini kamu pasti tidak akan nyaman berada di tempat ini,” batinnya lalu menyunggingkan senyuman sinis.

“Mbok, apa sudah memberitahu apa saja yang harus dia kerjakan?” tanya Bara pada Mbok Ijah tanpa menoleh karena pandangannya sedang fokus dengan makanan di depannya.

“Sudah, Tuan Muda,” jawab Mbok Ijah seraya mengangguk meski Bara tidak melihatnya.

“Ih, sombongnya gak mau ngomong sama aku sendiri padahal jelas-jelas ada aku di sini. Ah, pria menyebalkan,” cibir Nia yang masih berdiri di belakang Bara. Untung saja tampan kalau jelek-” Nia langsung membekap mulutnya karena tanpa sadar memuji ketampanan Bara.  

“Oke.” Bara menjawab pernyataan Mbok Ijah barusan.

“Oh, iya Tuan. Kalau yang masalah menu apa perlu Nia ini yang menginformasi Tuan setiap harinya?”

“Kasih saja no ponsel saya. Biar kalau sewaktu-waktu saya perlu langsung minta dia.”

“Idih ... sewaktu-waktu, bukannya aku punya jam kerja!” baru saja Nia akan membuka mulutnya untuk menginterupsi pernyataan itu, mendadak Bara melanjutkan ucapannya. “Biarkan dia baca tugas yang diberikan sama Mbok, nanti nyalahin saya kalau tiba-tiba saya nyuruh dia. Mbok tahu kan biasanya mulut perempuan itu sukanya nyerocos saja dan tidak mau disalahkan,” sindirnya.

Nia yang sedang berdiri di belakangnya itu memandang sengit sambil tangannya terkepal kalau saja tidak ingat dia majikannya pasti kepalan tangannya itu sudah melayang dan berada di wajah sang Tuan Muda. “Biar bonyok sekalian, mukanya aja yang tampan tapi bibirnya bikin sakit hati, tajem kayak pisau. Mending pisau buat masak lha ini buat apa coba?” gumam Nia pelan.

“Apa kamu bilang?” Bara memutar tubuhnya hanya untuk memandang Nia yang terlihat binggung.

“Hah!” Mulut Nia melongo menyadari tatapan Bara padanya.

“Kamu tadi bilang apa? Mau mengumpati saya?”

“Ah, saya tidak bilang apa-apa koq. Tuan aja kali yang salah dengar,” kekeh Nia dengan cengegesan.

“Kamu pikir saya budeg apa? Jelas-jelas kamu mau bikin wajah saya bonyok gitu.”

“Oh, ternyata dia dengar juga ucapan aku tadi,” batin Nia.

Bara berdiri setelah menyantap makanannya itu sembari menoleh ke arah Nia. “Sepertinya saya tidak menyukai pekerjaanmu, besok gak usah datang. Saya mau cari pengganti saja!” ucapnya sebelum pergi melangkahkan kaki panjangnya menuju pintu keluar.

“Hah, maksudnya aku dipecat ya, Mbok?”

Mbok Ijah sepertinya juga sedang binggung namun ucapannya menyadarkan Nia. “Cepat kamu kejar, minta maaf atau apa gitu? Tuan Muda gak gampang maafin orang.”

Dengan kepanikan maksimal, Nia mencoba untuk mengejar majikan yang baru setengah hari memecatnya itu. “Oke, kejar. Makasih ya, Mbok,” ucap Nia dengan teriak.

Nia mengejar Bara, beruntung Bara belum sampai pergi. Sebenarnya Bara juga melambatkan langkahnya karena ingin tahu apa yang dilakukan pembantu barunya itu. Dugaannya benar, pembantunya itu mengejarnya. Tepat setelah Bara membuka pintu mobilnya.

“Tuan ... Tuan Muda,” panggilnya dengan napas yang terengah-engah karena berlarian untuk bisa bicara dengan Bara  sekarang.

“Apa?” jawab Bara ketus.

“Saya tidak tahu apa kesalahan saya, sehingga Tuan memecat saya barusan,” tanya Nia masih dengan napas yang tersedat-sedat. “Bahkan saya baru saja beberapa jam bekerja, belum ada sehari.”

“Kamu mau tahu?”

“Iyalah!”

“Karena bibir kamu yang tidak bisa mengontrol ucapan yang keluar!”

“Hah, apa dia tidak sadar kalau dia juga gak bisa ngontrol. Apa perlu aku belikan kaca besar supaya bisa ngaca,” teriak Nia dalam hati.

“Kenapa, mau protes?” Bara tersenyum sinis.

Bersambung.........

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status