Share

Part 7

Alarm pagi hari terdengar menjerit-jerit. Buru-buru menyibak selimut yang menutupi tubuh, turun dari tempat peraduan lalu segera membersihkan badan dan melakukan ibadah solat subuh.

Suasana rumah masih begitu sepi ketika aku keluar dari dalam bilik. Belum ada tanda-tanda kehidupan, mungkin Mas Alex serta gundiknya masih terlelap mengarungi mimpi.

Semoga saja selamanya tidak membuka mata supaya tidak merepotkan juga menyakiti hati ini.

Astaghfirullahaladzim...

Tidak boleh mendoakan keburukan untuk orang lain, sebab bisa berbalik kepada diri sendiri.

Lebih baik segera ke dapur membuat teh hangat untuk menghangatkan tubuh.

"Kamu bikin teh cuma satu, Lin?" Aku berjingkat kaget ketika tiba-tiba tangan kekar Mas Alex sudah melingkar di pinggang.

Dulu, hal seperti ini selalu membuatku merasa menjadi perempuan paling dicintai sedunia. Namun tidak dengan sekarang.

Buru-buru melepas pelukan pria itu, tidak sudi bersentuhan dengan orang yang mungkin semalam habis bermadu kasih dengan istri sirinya.

"Lin, tolong jangan diam terus. Mas merasa tersiksa jika diperlukan seperti ini sama kamu," lirihnya sambil menatap wajahku sendu.

Aku tidak perduli. Gegas beranjak ke teras depan, menunggu tukang bubur ayam yang biasa keliling di komplek karena perut sudah terasa lapar.

"Alin. Mana gula sama tehnya. Aku mau bikin teh manis tapi nggak ada gula sama teh!" sungut si ulet keket sambil mengucek mata serta menguap.

"Habis!" jawabku singkat.

"Kok bisa habis. Kalau begitu aku mau bikin susu!"

"Nggak ada!"

"Dasar perempuan nggak becus ngurus keuangan. Masa masih tanggal sepuluh semua bahan pokok di rumah ini sudah tidak ada. Kamu kemanakan semua uang Mas Alex? Pasti dihabiskan untuk berfoya-foya ya?"

"Kamu mau teh, Siti?" Berdiri sembari mengangkat cangkir berisi teh, lalu menyiramkannya ke wajah Siti.

"Bagaimana? Manis nggak tehnya?" Tersenyum puas melihat dia mengipasi wajahnya karena teh tersebut masih lumayan panas.

"Dasar sin-ting!" umpatnya dengan suara meninggi membuat Mas Alex segera menghampiri kami.

"Ada apa sih? Kenapa kalian pagi-pagi begini sudah ribut, hah?!" tegur laki-laki berusia tiga puluh tiga tahun itu.

"Ini, Mas. Si Alin nyiram aku pake teh." Siti menjawab dengan suara dibuat semanja mungkin.

"Sorry. Tidak sengaja!" Mengibaskan tangan kemudian meninggalkan dua sejoli tidak tahu diri itu.

"Kamu jangan membuat onar terus di sini, Siti. Aku nggak mau kalau sampai Alin pergi dari rumah ini!" Samar-samar terdengar suara suami sedang memarahi gundiknya.

Terkadang aku merasa bingung. Mengapa Mas Alex terlihat tidak mempunyai rasa kepada Siti, namun seperti merasa berat meninggalkan perempuan bertubuh gempal itu.

Ada rahasia apa kira-kira antara mereka berdua. Apa diam-diam Siti menggunakan ilmu pelet untuk menggaet Mas Alex?

Sudahlah. Terserah. Aku sudah tidak lagi perduli. Walaupun ternyata Mas Alex tidak mencintai gundiknya, aku tetap saja tidak terima karena dia sudah berani berbagi raga. Tidak ada kata maaf bagi pengkhianat.

Kembali masuk ke dalam kamar, mengemasi barang-barang berharga sebagai antisipasi kalau suatu saat Siti berani menyusup ke dalam kamar.

Di mana-mana yang namanya pelakor selalu menghalalkan segala cara. Suamiku yang tidak punya apa-apa aja dia curi, apalagi perhiasanku yang ada harganya.

***

"Tante, aku boleh minta bubur ayamnya nggak?" Aku yang sedang menyantap semangkuk bubur segera menoleh dan tersenyum menatap gadis kecil di sebelahku.

"Kamu mau? Tante pesenin, ya?"

Dia mengangguk penuh semangat.

"Mang dua lagi, ya!" teriakku kemudian, menyuruh penjual bubur ayam membuatkan dua mangkuk untuk anak-anak Siti.

Aku memang membenci ibunya tapi tidak kepada anak-anaknya. Sebab mereka tidak tahu apa-apa tentang masalah orang dewasa. Naluri ibuku tetap mendorong untuk menyayangi dua anak tidak berdosa itu.

Selesai sarapan pagi, aku segera bersiap pergi ke toko sekalian menjemput Maura yang sedang menginap di rumah neneknya.

"Loh, Lin. Kamu mau ke mana? Kok bawa koper segala?" tanya Mas Alex saat melihat aku keluar dari dalam bilik sambil menarik koper.

"Bukan urusan kamu!"

"Mas mohon. Jangan pergi dari sini. Bagaimana nasib Mas dan keluarga Mas di kampung kalau kamu pergi dari sini?"

"Aku tidak perduli. Toh, selama ini keluarga kamu juga tidak ada yang perduli sama aku. Apalagi adik kamu!"

"Kamu boleh pergi tapi tolong transfer uang ke Rani. Dia butuh uang buat tranportasi. Mas pusing diteleponin terus sama dia. Kalau nggak begini saja. Kamu beliin dia motor. Seken juga nggak apa-apa asal masih bagus. Jadi nanti tiap bulannya kamu cuma ngasih dia jatah untuk makan saja. Bagaimana, Lin?"

Lucu sekali mendengar ocehan Mas Alex. Enak saja mengatur-atur, menyuruhku membelikan sepeda motor untuk adiknya. Tidak sudi.

"Kenapa kamu nggak minta saja sama Siti?"

"Siti mana ada uang, Lin. Dia kan sudah nggak digaji sama kamu. Makanya jangan tahan gajinya Siti."

Ya Allah... sepertinya laki-laki di hadapanku ini perlu dibawa ke bengkel. Otaknya perlu diservis biar nggak error dan bisa mikir.

Daripada terus meladeni Mas Alex yang semakin ngawur, lebih baik segera pergi ke toko. Kalau jauh dari rumah hati ini terasa plong juga adem. Tidak panas seperti ketika berada di istana yang sekarang sudah berubah seperti di dalam neraka.

"Heh, Alin. Kamu mau ke mana bawa-bawa koper segala. Jangan pernah bawa barang berharga dari sini karena sekarang semua isi rumah ini sudah menjadi milikku!" teriak Siti sambil merebut koper dari tangan.

"Lepas, atau aku akan teriak supaya ibu-ibu di sana datang ke rumah ini dan melempari kamu lagi dengan telur busuk!" menunjuk kerumunan ibu-ibu yang sedang memilih sayur-sayuran.

Siti mendengkus kesal tanpa lagi bisa melawan.

Menyalakan mesin mobil, aku segera menggerakkan kendaraan roda empatku menjauh dari parkiran rumah, meninggalkan Siti yang masih komat-kamit seperti mbah dukun sedang mengobati pasien.

Mas Aldo sudah menunggu di parkiran toko ketika aku sampai, mengernyitkan dahi saat melihat aku turun dari kendaraan sambil membawa koper.

"Minggat ceritanya?"

"Mengamankan barang-barang berharga. Takut diambil oleh gundiknya Mas Alex!"

Pria dengan cambang tipis itu terkekeh. Memangnya ada yang lucu?

"Aturan suami kamu ikut dimasukkan ke dalam koper. Habis itu buang ke laut biar dimakan megalodon!" kelakarnya sok melucu. Padahal garing.

"Mas Aldo ngapain ke sini? Tumben?"

"Pengen mantau kamu. Siapa tahu kamu diam-diam masih bucin sama si Alex, nangis-nangis sampai frustasi!"

Aku mencebik bibir mendengarnya. Walaupun sebenarnya dalam hati masih ada cinta, namun tidak akan pernah menangis hanya gara-gara lelaki pengkhianat seperti dia. Hidup ini terlalu berarti untuk meratapi. Lebih baik menata hidup, memikirkan langkah apa yang harus kuambil ke depannya.

"Yasudah ayo masuk!" Menggandeng tangan Mas Aldo masuk ke dalam toko.

***

Lamat-lamat suara adzan magrib berkumandang di setiap mushola juga masjid. Aku segera melajukan mobil menuju rumah Mama, sudah kangen berat dengan Maura. Aku juga berniat bermalam beberapa hari, karena malas bersitatap dengan makhluk-makhluk astral di rumah.

Ting!

Sebuah notifikasi pesan masuk ke aplikasi warna hijau milikku. Dari Mas Alex.

Aku memutar bola mata malas karena lagi-lagi yang dibahas masalah uang juga kebutuhan pokok yang tidak bisa dia beli sebab tidak memiliki uang sama sekali.

Sudah kere, banyak lagu, sok-sokan punya istri dua pula. Sekarang nikmati saja hidup kamu. Baru terasa kan, tanpa aku kamu bukan siapa-siapa dan tidak berarti apa-apa.

[Pulang ya, Lin. Mas kangen.]

Kengen duitnya. Gerundelku.

[Jangan ngambek dong Sayang. Mas minta maaf kalau ada salah sama kamu. Mas juga lagi ngerayu Siti supaya pergi dari rumah ini.]

Kalau ada salah? Salah kamu banyak.

Aku kembali meletakkan gawai di dashboard, melajukan mobil dengan kecepatan rata-rata hingga perputaran keempat roda kendaraanku berhenti di depan rumah Mama.

Maura sudah terlelap ketika aku sampai, sebab kata Mama dia tidak mau tidur siang karena terus saja memanggil nama ayahnya.

Maafkan Bunda, Nak. Bukannya Bunda mau memisahkan kamu dengan ayah kamu tapi, Bunda hanya ingin kamu mulai terbiasa jauh dari Mas Alex.

***

Karena tidak ada pakaian di rumah Mama. Pagi-pagi sekali aku memutuskan untuk mengambil beberapa potong baju di rumah yang sudah kutinggali selama hampir tiga tahun bersama suami.

"Wan, kamu mau beli sofa nggak? Aku mau jual sofa di rumah suami aku buat menutupi kebutuhan sehari-hari!" Saat hendak membuka pintu pagar, samar-samar terdengar suara Siti sedang menghubungi seseorang dan menawarkan sofa. Pasti dia ingin menjualnya. Enak saja.

"Gundiknya Mas Alex itu hobi foya-foya. Jadi uang bulanan yang dikasih ke dia habis cuma buat shopping dan ke salon sama makan di restoran. Kasihan anak-anak kalau setiap hari cuma makan mie instan sama telur. Masa sudah jadi nyonya Alex tapi tetap jadi gembel begini!" keluhnya lagi entah kepada siapa.

Tidak mau kecolongan, aku lekas menghubungi salah seorang teman yang mempunyai usaha sewa truk pengangkut barang untuk mengangkut semua yang ada di rumah ini. Pokoknya tidak akan kubiarkan Siti menjual barang-barang yang ada di dalam, sebab semuanya dibeli menggunakan uang hasil jerih payahku.

Setelah menunggu hampir satu jam, lima unit truk berukuran cukup besar berhenti tepat di hadapanku.

Siti yang sedang bermain ponsel di teras menatap bingung, akan tetapi segera keluar dari sarang karena mengira truk yang datang milik temannya yang tadi di hubungi.

"Angkut semuanya tanpa sisa, ya, Bang!" titahku kepada orang-orang yang kusewa.

Meraka pun segera masuk ke dalam dan mulai mengangkut satu per satu perabotan.

"Apa-apaan ini, Alin. Kenapa kamu ambil semua barang-barang yang ada di rumah ini?!" teriak si ulet keket kesetanan. Dia berusaha mencegah orang-orang yang sedang mengangkut barang, namun karena aku menyuruh lanjut tidak ada yang menghiraukan racauannya.

"Mas Alex. Mas!" Kali ini dia berteriak memanggil suami.

Kedua mata pria yang hanya mengenakan celana pendek itu membeliak tindak percaya melihat pemandangan di depan mata, lalu melakukan hal yang sama seperti gundiknya. Berusaha mencegah orang-orang suruhanku.

"Alin, Mas mohon jangan seperti ini. Kenapa kamu tega, Lin. Masa semua barang yang ada kamu bawa tanpa sisa?" cicitnya sambil terus mengekoriku yang sedang memberi arahan para pekerja.

"Lin, jawab Mas Lin. Tolong suruh mereka berhenti mengangkut barang-barang kita!" Dia mengguncang lenganku, persis seperti anak kecil yang sedang meminta sesuatu kepada orangtuanya.

"Semua yang ada di sini itu aku yang beli. Jadi terserah mau aku bawa ke mana saja. Dan kamu tidak berhak melarang. Silakan kamu hidup mulai dari nol bersama gundik kamu itu!" hardikku meradang.

"Sombong kamu, Alin. Timbang perabot jelek saja lagunya sudah kaya apa. Aku bisa beli lagi nanti yang lebih mahal daripada ini!" cerocos Siti seperti mercon Betawi.

"Biar kata barang murahan dan butut tapi masih berguna. Tidak seperti kamu. Murahan, tidak berguna pula!" Kata itu keluar begitu saja dari mulut saking kesalnya.

"Silakan kamu pergi dari sini dan jangan pernah kembali lagi, Alin. Pergi ke neraka sekalian. Aku juga tidak sudi menggunakan barang-barang bekas kamu."

"Tanpa disuruh pun aku akan pergi. Tapi ingat. Masih ada yang belum aku ambil di rumah ini!"

"Ya Tuhan Alin, apa lagi? Apa kamu mau mengambil rumah ini juga?" Wajah Mas Alex mulai terlihat frustasi. "Rumah ini milik aku walaupun dulu pernah kuhadiahkan sama kamu. Aku yang mencicilnya setiap bulan. Bukan kamu. Jadi kamu tidak berhak atas rumah ini!" katanya lagi.

"Aku tidak akan mengambil rumah ini, Mas. Tapi akan mengubahnya seperti saat kita baru menempati."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status