Dahlia kian menangis sesaat setelah taxi yang dinaikinya meninggalkan Belle, sesak di dada semakin memaksanya untuk melampiaskan kesedihan. Tangannya mulai menyeka air mata yang terus jatuh. “Tidak ... aku harus menemuinya segera, dia tidak bisa mencampahkanku seperti ini.” batinnya mengambil ponsel yang berada di dalam tas. Pada malam harinya, Dahlia bersiap untuk pergi keluar. Jaket tebal yang dikenakan membuat tubuh Dahlia semakin menggemuk. Setelah mengunci kostnya ia bergegas menuju sebuah tempat yang sudah ditentukan.“Ada apa lagi? Bukankah aku sudah menjawabnya?” sela Elvan kala Dahlia datang. Bahkan gadis itu belum masih berdiri.“Kita melakukan kesalahan, kenapa hanya aku yang menanggungnya, apa itu yang dinamakan keadilan?” sergah Dahlia melempar alat tespect kepada Elvan. Pria itu kian menjadi diam, namun tatapannya mengarah lekat pada dua garis yang dianggapnya hanya tipuan. “Apa yang harus aku lakukan?” pikir Elvan. “Aku merasa sakit, aku sendiri, dan kau ... tidak
Pagi-pagi sekali, Belle menuruni tangga dengan seragam lengkap dan tas yang digenggamnya.Meninggalkan rumah megah yang masih sunyi, matahari belum sepenuhnya bersinar. “Setelah tiga hari aku bisa pulang,” ungkap Dahlia.Sesaat setelah makanan yang dikunyahnya sampai ke tenggorokan. Nafsu makannya tak terlalu baik hari ini, namun Belle terus menyuapinya.“Baiklah, aku akan kembali lagi nanti. Jika butuh sesuatu panggil saja suster, jangan melakukan apapun sendirian.” ujar Belle meletakkan piring makan Dahlia di meja. Kemudian mengambil tasnya dan keluar dari ruangan itu. Sejenak matanya melirik jam tangan yang melingkar sempurna di pergelangannya. Langkah kaki mulai berlari menuju parkiran.Sementara itu, Dahlia yang perlahan meraba perutnya kian terluka. Hatinya memikirkan anaknya yang akan lahir tanpa seorang Ayah. Seketika air mata mulai keluar dari pelupuk matanya. Dahlia mendongakkan kepalanya menatap langit-langit rumah sakit sembari menahan isakannya. ***“Kenapa kau pe
Matahari mulai naik perlahan-lahan menyingkirkan kegelapan yang ada di langit, sepersekian detik kemudian Dahlia membuka matanya disambut cahaya mentari yang menyelinap lewat jendela ruangannya. Bibir itu kian terangkat mengukir sebuah senyuman yang indah.“Aku akan menjalaninya perlahan,” ujarnya.Selang beberapa saat, pintu terbuka dan memperlihatkan Belle yang datang bersama Albara.Setelah semua prosedur selesai, mereka pergi meninggalkan rumah sakit yang ramai di pagi hari. Belle duduk di kursi belakang bersama Dahlia, sementara Albara berada di mobil lain karna langsung pergi ke perusahaannya.“Apa obatmu sudah ada semua?” tanya Belle memeriksa tas bawaan mereka.“Sudah, kita tidak melupakan apapun.” terangnya menunjukkan obat yang ada di dalam tas. Belle bernafas lega setelah melihatnya, saat sampai di rumah Belle memegangi tangan Dahlia ketika menaiki tangga. Menggenggam erat tangan Dahlia dan berjalan perlahan, Dahlia membelalakkan matanya kala memasuki kamarnya.“Kau ...
Dahlia masuk sekolah saat kondisinya lebih baik, namun bayang-bayang malam itu masih sangat pekat dalam ingatannya. Begitupun sosok yang ternyata sedang ada di dalam kelasnya, menatap dengan pandangan tak bersalah. “Tidak perlu, biarkan saja aku sudah muak.” titah Dahlia memegangi tangan Belle sesaat sebelum menghampiri Elvan. Dahlia duduk terlebih dahulu di bangkunya dan disusul Belle dari belakang. Gadis itu meletakkan tasnya kasar di meja dengan ekspresi kesalnya. Selang beberapa saat, Elvan beranjak keluar dan Belle segera mengejarnya.Kali ini, Dahlia tak mencegahnya. Melainkan bertopang dagu menghirup udara sebanyak-banyaknya. “Elvan!” panggil Belle. Berlari di belakang sebelum akhirnya Elvan berhenti dan berbalik menatapnya.“Kenapa kau mengacuhkan Dahlia seperti itu?” tanya Belle sembari mengatur nafasnya.“Lalu, aku harus bagaimana lagi? Dia meminta pertanggungjawaban, aku sudah memberikannya-”“Sialan!” umpat Belle memotong, “kau pikir dengan lari dari kenyataan bisa
Dahlia kembali ke dalam kelasnya dengan mata yang sembab, sorakan saat ia masuk membuat mentalnya semakin jatuh.Orang-orang itu sama sekali tak memikirkan perasaannya. “Aku tidak tahan lagi,” gumamnya.Telinganya memaksa untuk tuli agar tak mendengarkan cemoohan yang semakin lama membuatnya muak. Setibanya di rumah, Dahlia langsung pergi menuju kamar dan menguncinya dari dalam. Pikirannya sudah bulat, Dahlia menuliskan beberapa surat yang kemudian diletakkan di dalam laci.“Maaf ... maaf, aku tidak sekuat itu untuk menahan semua ini.” ucapnya meletakkan pulpen dan berjalan ke kamar mandi. Perlahan-lahan, Dahlia masuk ke dalam bathtub yang sudah penuh dengan air. Merebahkan tubuhnya seiring dengan kran air yang terus mengalir, Dahlia menikmati saat-saat terakhirnya.“Sangat me-ne-nang-kan-” Dahlia mulai kehilangan kesadarannya diiringi rasa sesak yang terus menekan jantungnya, namun hal itu nyatanya tak membuat Dahlia mengurungkan niatannya.*** Albara yang baru saja menyuapi B
Langkah kaki terlihat semakin memasuki area sekolah, suasana hening di pagi hari sedikit menenangkannya.Belle memegang tasnya erat-erat sembari menundukkan kepala dan berjalan menuju kelasnya.Lorong-lorong itu menjadi saksi kejadian tragis yang dialami Dahlia, namun Belle berusaha untuk tak melihatnya.“Aku salah, aku terlalu berharap bahwa semua ini hanya ilusi. Dan kemudian, aku kembali jatuh pada kenyataan yang pahit,” ujarnya.Berdiri di depan kelas memandangi bangku-bangku yang masih kosong.Matanya tertuju pada bangku tempat Dahlia duduk bersamanya, kakinya membeku di sana tak ingin masuk ke dalam kelas.Akan tetapi, Belle berusaha menghadapinya dan tak menghiraukan perasaannya yang terluka.Selang beberapa saat, kelas mulai di datangi oleh beberapa murid yang terkejut kala melihat Belle duduk di tempat Dahlia.Sekilas mereka mengira bahwa itu Dahlia. “Benarkan? Dia memang orang ternaif yang pernah aku temui.” ucap Khaira berjalan masuk ke dalam kelas bersama Angel.Maniknya
Kegelapan memenuhi satu ruangan di rumah megah yang penuh dengan cahaya lampu. Disaat itu, Albara tengah membawa piring dan gelas menuju ke sana. Menaiki satu-persatu anak tangga dengan perlahan. “Belle, kenapa tidak turun untuk makan?” tanya Albara kala membuka pintu kamar Belle.Gadis itu terbaring lemas di ranjang dengan selimut yang menutupi tubuhnya, Albara menyalakan lampu agar ruangan itu tak sunyi dan gelap.“Hey, bangun.” titah Albara menurunkan selimut dan menatap wajah Belle.“Aku tidak lapar, aku sangat mengantuk.” jawab Belle menepis tangan Albara yang memegangi selimut.Albara beralih duduk di sebelahnya dengan kaki yang mulai dinaikkan di ranjang. Satu tangan menepuk-nepuk kepala Belle yang tertutup selimut, sementara tangan lain memegangi ponsel.“Kenapa kau sangat keras kepala? Hanya karna masalah kecil selalu tidak makan,” ejek Albara.“Ini bukan masalah kecil, dampaknya sangat besar!” tegas Belle bangun dan memandang Albara yang tepat berada di sebelahnya. Wajah
“Berdiri, kalian sudah cukup istirahat!” titahnya kemudian.Belle berusaha menopang tubuhnya yang terus goyah dan berbaris bersama yang lain. “Lakukan kuda-kuda ... hey, kau bukan seperti itu!”Pengawas itu menghampiri Belle yang salah melakukan kuda-kuda, kemudian memukul kakinya dengan tongkat untuk membenarkan. Institut memulai dengan beberapa gerakan dasar belah diri yang kemudian diikuti oleh semua orang. Pengawas berjalan di sekeliling mereka dan memukul siapapun yang tak melakukan gerakan dengan baik. “Aku hanya salah sedikit, kenapa sampai seperti itu?” ringis Belle menahan rasa sakit di seluruh tubuhnya setelah mendapatkan pukulan tongkat beberapa kali. Selang beberapa saat, Albara yang sudah selesai dengan kegiatannya menghampiri Belle yang sedang berlatih. Gadis itu mengerutkan kedua alisnya dengan bibir yang membulat kala Albara sampai.“Tuan, tahap pertama sudah hampir selesai.” ungkap pengawas menunduk saat berada di sebelah Albara.Pria itu mengepulkan asap rokok y