Tiga senior Huasan melangkah cepat di lorong menuju paviliun utama. Mereka tidak peduli menabrak orang, tiada yang berani menghalangi langkah mereka.
Mereka tiga serangkai Bu. Bu Bo berbadan gendut, Bu Bi berbadan kurus dan Bu Ba berbadan kekar.
Mereka melihat adegan terlarang, adegan panas di perpustakaan. Sangat tabu bagi orang Huasan berciuman sebelum umur mereka cukup.
Mereka tahu data murid-murid baru. Qiao memang cukup umur, tapi Zhou dia belum lima belas tahun.
"Kita harus melapor, supaya dia ditendang ke luar Huasan," ucap Bi. Giginya depan besar seperti gigi tikus.
"Biar saja, namanya anak muda," jawab Ba di tampan, merapikan rambut. Dia mengedip ketika melihat gadis, mengundang mereka tersenyum.
"Ada apa ini?" tanya Bu Guru. "Dia menyerang duluan," sahut Bi menunjuk Shi. "Tanya sama yang lain, mereka melihat kok!" "Sekarang ikut ke pagoda Air Terjun!" bentak Bu Guru. "Murid senior, bawa mereka sekarang juga!" Para senior melempar kain melayang. Kain putih sutra tembus pandang, tapi sangat kuat menggulung badan ke empat pria. Kain berfungsi seperti tali tambang. Mereka ditarik menuju pagoda Air Terjun, di belakang air terjun, tempat guru Tao Jin berada. Asap dupa wangi semerbak di ruang kayu pagoda. Di depan patung Budha emas bertangan delapan, Tao Jin duduk di atas bantal. "Permisi Guru, ada pelanggaran yang terjadi." Lima murid di lempar ke hadapan guru Tao Jin. Bu
Liu Bian memijak taman bunga. Biasanya Zhou dan Qiu ribut, kali ini keduanya membungkuk menyambutnya. "Selamat datang Kaisar Bian." Kompak keduanya bicara. Pipi Bian memerah, mengetuk kepala keduanya bergantian. "Sudah aku bilang jangan berubah sikap, kenapa kalian malah seperti ini?" "Ide Qiu tuh." "Eh, enak saja!" sentak Qiu. "Zhou yang menyuruh!" "Wanita mana mau salah," komentar Zhou. "Apa kamu bilang?" Gemas Qiu menarik kedua pipi Zhou sampai bibirnya melar ke kiri dan kanan. "Kamu sendiri tadi bilang, Qiu ayo sambut Bian seperti di istana, kan!" Bian tersenyum kecil. Ini yang dia nanti, sambutan penuh ceria dari kedua saha
Perjalanan Cao Cao berakhir. Setelah mendapat prasasti peninggalan Xiang Yu, Cao Cao tiba di kota Chenliu."Tuan Cao Cao pahlawan Han!""Selamat datang Cao Mengde!"Semua penduduk menyambut dengan gegap gempita. Beberapa dari mereka melempar bunga ke jalan yang Cao Cao lalui. Bahkan beberapa pasukan pemerintah ikut bersorak menyambut pahlawan mereka.Ini menunjukkan bagaimana pandangan rakyat pada Han. Walau Kekaisaran korup, mereka tetap setia. Bagi nereka Han adalah identitas pemersatu, berbangsa dan bertanah air.Teriakan lain muncul. "Bunuh tirani Dong Zhuo! Panjang umur Kaisar Xian!Cao Cao turun dari kuda di depan rumah megah. Di sana dia disambut Cao Ang dan Cao Zhen, anak pertama dan kedua."
Dada Cao Cao seperti ditabuh dari dalam. Ini perang pertama melawan musuh bebuyutan dan dia masih berpakaian santai. Dia hendak pulang ke rumah untuk memakai pakaian perang keramat, akan tetapi suara tawa du depan gerbang membuatnya. Dua orang berdiri di sana. "Lihat, dia gugup!" Pria gendut menepuk punggung pria kurus. Keduanya maju menemui Cao Cao. "Haiya! Aku kira pasukan musuh!" Cao Cao memeluk kedua pria dengan erat penuh kekerabatan. "Ayo masuk, saudara-saudaraku." Pria gendut berbrewok tipis adalah Cao Ren. Sepupu Cao Cao. Dia membawa perisai besar dan kapak sebagai senjata. Pria kurus berwajah cekung bernama Cao Hong sepupu Cao Cao. Kumisnya tebal dengan ujung kiri
Setelah menerima buku dari Zuo Ci, Nu An menjadi sedikit mengerti tentang ilmu beladiri.Namun, dia lebih fokus pada ilmu pengobatan yang juga ada di buku kumal sakti. Dengan ilmu itu dalam beberapa Bulan terakhir dia mengobati banyak orang.Dengan berbuat baik dia tidak meminta upah, hanya menerima makan untuk sekedar mengisi perut, guna memberi tenaga untuk mencari adik yang entah ke mana.Banyak orang berkerumun di depan rumah gubuk beratap rerumputan kering. Mereka penasaran orang seperti apa Nu An."Tuan Nu An, terima kasih karena mengobati anak gadisku.Pria tua menaruh makanan juga bekal makanan ke meja kecil. Nasi campur rumput, dengan duri ikan bakar sebagai pengharum. Begitu miskin keluarga mereka bahkan makan
Nu An mengamati tiga orang aneh.Yang pertama, Zhang Fei, badan kekar penuh otot berpakaian lengan terbuka. Wajahnya seperti singa penuh brewok.Di sebelahnya pria berbadan proporsional berpakaian mewah duduk di pelana kuda. Dia Liu Bei. Tampan, berdaun telinga besar, sepertinya orang baik.Yang terakhir, pria gagah berjenggot hitam panjang yang sangat lembut. Dia Guan Yuchang, buronan dari desanya. Dahulu dia salah satu pendekar lulusan perguruan Wudang, ketika kembali ke desa gadis yang dia suka diperkosa pejabat korup. Dia membabat habis semua pengawal juga pejabat korup.Belum sempat Nu An menyapa, suara yang dia kenal membuatnya menoleh."Ada apa ribut-ribut?" tanya Cao Cao menghampiri mereka.Di belakangnya
"Sepertinya Han akan segera selamat," komentar Ha Nif, sambil memberi hormat ke Dewa-Dewi di langit. Beberapa pasukan penjaga di atas tembok juga melakukan hal yang sama. Pasukan Koalisi akan segera menghantam Hu Lao, lalu ke Luoyang dan memenggal Dong Zhuo. Akan tetapi Nu An tidak yakin. Walau dia melihat sendiri pasukan Koalisi bagai angin ribut memporak-porandakan pasukan lawan, tetapi perasaannya berkata lain. "Ayo kita bersiap-siap merawat pasukan," ajak Nu An, pada kedua muridnya yang setia. Dia telah menemukan tenda Cao Cao dan bersiap menyusun rencana untuk membunuhnya. Tetapi beberapa hari berlalu, tenda itu selalu dijaga oleh dua orang kesatria. Dian Wei dan Xu Chu. Terlebih Cao Cao menghabiskan banyak waktu di tenda utama bersama para Jendral. membuat Nu A
Dian Wei memberi hormat pada Nu An. "Apa Anda benar-benar bisa mengobati berbagai penyakit?" Nu An mengangguk. "Ada yang bisa saya bantu?" "Ah, bagus!" Dian Wei menarik Nu An pergi menuju tenda lain. "Tuan Cao Cao membutuhkanmu." "Bukannya tendanya yang tadi?" Dian Wei tertawa. "Dia selalu menaruh curiga seseorang akan membunuhnya, jadi dia sering pindah tenda." Siapa sangka jika Dian Wei malah membimbing Nu An menuju sarang Cao Cao. Dengan begini dia akan lebih mudah menghabisi pria itu. Dian Wei menunjuk tenda jauh di ujung dekat tembok, membiarkan Nu An pergi sendiri. Dia berkumpul dengan beberapa pasukan, meneguk arak. Nu An