Share

Bab 5 : Satu Kamar dengannya

"Kenapa belum tidur?" Suara yang kini sudah mulai tak asing bagiku.

Aku bangkit dan beringsut menyenderkan punggung ke kepala ranjang. "Be–belum bisa tidur, Bang," jawabku gugup.

Dia lalu merebahkan diri di situ. Kedua tangannya diletakkan ke belakang menyanggah kepalanya. "Kamu kalo tidur pake kerudung begitu?" Ia melirikku.

Aku bergeming. Apa ... apa aku harus membuka hijabku di hadapan pria asing ini?

Dia memutar bola matanya dan menghela napas, kemudian bergerak memiringkan badan membelakangiku. Aku menatap punggung lebar tersebut. Lamat-lamat akhirnya terdengar bunyi dengkuran halus. Dia sudah tertidur.

Rasanya hampir tidak dapat dipercaya. Lelaki asing yang belum kukenal sama sekali itulah yang berstatus sebagai suamiku kini. Bukankah aku harus melayaninya di ranjang? Bu–bukankah ini malam pertama kami?

Tiba-tiba aku teringat perkataan Bang Dion waktu itu. Lelaki yang telah mengambil hatiku tersebut bilang bahwa Bang Aldin akan menjagakan diriku untuknya. Suatu hari nanti Bang Dion akan kembali.

Hmmm ... apakah benar demikian? Apakah boleh seperti itu?

"Pernikahan bukan mainan."

Teringat lagi ucapan ayah. Ya, pernikahan itu bukan mainan. Aku ... apakah aku harus mulai membuka hatiku untuk Bang Aldin, lalu melupakan Bang Dion? Bagaimana bisa? Itu tidak mudah ... bahkan ... bahkan apakah mungkin?

***

Adzan Subuh sayup berkumandang. Aku sudah bangun sejak jam tiga dini hari dan melaksanakan qiyamul lail. Sengaja tidak membangunkannya yang masih di tempat tidur. Hal itu karena ... karena aku tak berani.

Bang Aldin masih nyenyak di sana. Mungkin dia kelelahan, sejak kemarin datang, baru bisa istirahat malam tadi. Tak dapat dipercaya, kami satu kamar dan ... tidur satu ranjang. Walaupun tidak terjadi apa-apa di antara kami. Benar-benar t-i-d-u-r.

Terdengar ketukan kecil di pintu kamar. Aku bangkit dari atas sajadah, masih mengenakan mukena, melangkah dan membuka pintu sedikit.

Tampak wajah ayah yang basah di hadapanku. "Aldin mana?" tanyanya.

"Mmm ... masih tidur, Yah," jawabku pelan.

"Bangunkan. Sudah adzan ini. Biar sama ayah dan Mas Andri ke masjid," ujar ayah.

Hatiku bimbang. Bagaimana aku membangunkannya?

"Buruan, Mila. Ayah tunggu di depan." Ayah melenggang ke arah luar rumah.

Aku segera menutup pintu. Setelah itu, melangkah menuju ranjang. "Bang ... bangun ...." Aku berusaha membangunkan pria yang tengah terlelap itu. Suaraku tidak begitu kukeraskan, khawatir Bang Aldin terkejut.

Pria itu bergerak sedikit, memiringkan badan, tapi dia kelihatannya belum sadar. Malah semakin meringkuk. Bagaimana ini?

Dengan ragu aku mengulurkan tangan, lalu menyentuh lengan kekar itu, menggoyangkannya sedikit. "Bang ... Bang Aldin, bangun," ucapku dengan suara lebih dikeraskan.

Tiba-tiba tubuhku terasa melayang dan seketika terhenyak di atas tempat tidur, membuat netra ini spontan terpejam. Ketika membuka kelopak mata, betapa terkejutnya aku. Tubuh ini berada di bawah kungkungan Bang Aldin. Dan ... dan kami begitu dekat. Jarak wajah kami tak lebih dari dua jengkal. Aku menahan napas, segenggam daging di dalam dada berdegup kencang.

Alisnya bertautan. Seperti tersadar, ia langsung bangkit dari atas tubuhku. "Hmm, kenapa?" tanyanya sembari memijat pangkal hidungnya, lalu merenggangkan leher. Sepertinya yang tadi itu gerak refleks darinya.

Aku terdiam sejenak, mencoba mengingat apa yang mau kulakukan. Sesaat kemudian, sambil bangkit dari posisi telentang aku beringsut menyenderkan punggung ke kepala ranjang. Dengan gugup aku berkata, "Sudah subuh, a–ayah nunggu di luar, mau shalat ke masjid bareng Abang ...." Kuhela napas. Jantung ini masih berdebar tak keruan karena insiden barusan.

"Oh," sahutnya singkat.

Pria itu menatapku sejenak seakan tengah mencerna apa yang didengarnya barusan, kemudian mengangguk. Lantas ia segera meraih kemeja yang tergantung di dinding, lalu melangkah ke luar sembari tergesa mengenakan kemejanya, meninggalkanku dalam keadaan termangu.

Suara iqamat dari speaker masjid menarikku dari lamunan.

"Huuft ... shalat dulu," lirih suaraku sendiri. Kaki ini melangkah kembali menuju sajadah, lalu aku mulai menunaikan ibadah.

***

"Jadi besok kalian sudah mau kembali ke Jakarta?" tanya ayah kepada kami di meja makan sambil menikmati sarapan bersama.

"Iya, Yah ... Mas Andri harus kembali kerja. Gak tahu deh, kalo suami Mila." Kak Mirna melihat ke arahku dan Bang Aldin bergiliran.

Ayah pun menatap kami lekat, tentu saja meminta tanggapan.

Seketika makanan ini terasa sulit untuk kutelan. Apa aku harus ikut Bang Aldin ke tempat tinggalnya? Atau aku mesti kembali ke tempat Kak Mirna, atau bagaimana?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status