Share

Bab 5. Alasan Tak Masuk Akal

"Jangan pikir bisa menipu aku, Megy. Aku tahu kalau kamu tidak suci lagi. Katakan, sudah berapa banyak lelaki yang menidurimu?!" Mas Abryal kembali melontarkan kalimat yang menyakiti hati.

Mungkin lebih terdengar sebagai tuduhan. Pada malam pertama, aku menghabiskan malam dengan kakak ipar juga karena kesalahannya. Andai saja dia segera menyusul ke kamar dan bukan meladeni tamu yang katanya begitu penting, mungkin tidak akan terjadi masalah besar. Kesalahan kedua adalah dia tidak masuk ke kamar sekadar meminta izin. Tidak mungkin lelaki itu pergi dengan memakai baju pengantin bukan?

"Kenapa diam saja, Lacur?!" bentak Mas Abryal semakin tega.

Mata merah berkaca-kaca, terdengar embusan napasnya berulang kali darinya. Aku menunduk, air mata ikut mengalir di pipi, tetapi segera aku seka. Detik selanjutnya berusaha tersenyum lebar meski harapan telah patah berulang kali. Mungkin memang sudah takdirnya untuk dihina seperti ini karena siapa pun akan terluka jika tahu pasangannya sudah tidak lagi suci.

"Mas, kamu salah. Aku ini masih perawan. Dulu saat masih kecil aku pernah jatuh dan ada darah yang keluar dari kemaluanku. Kenapa harus melakukannya dengan orang lain jika bisa menunggu dirimu sebagai suami? Ingat, Mas, sebelum kita menikah aku telah melakukan sumpah kalau aku ini masih suci."

"Tidak, aku yakin itu sumpah palsu untuk mengelabui saja. Katakan sekarang, siapa yang sudah merenggut mahkotamu? Mantan di masa lalu? Atau lelaki hidung belang?"

Aku melipat bibir. Tidak mungkin mengatakan dengan jujur bahwa Mas Daran lah pelakunya. Jika aku mengungkap kejadian malam itu, ada dua kemungkinan besar terjadi. Pertama, Mas Daran akan menyangkal karena tidak ada saksi mata atau bukti yang memberatkannya, lantas aku akan dicap sebagai perempuan tidak punya malu. Kedua, Mas Abryal langsung menjatuhkan talak, lalu mengusir aku dari sini.

Dua menit hening, Mas Abryal meninggalkan kamar. Bahu melorot, bibir manyun dua senti. Perlahan kaki terayun menuju kamar mandi. Kejadian serupa kembali terulang, bedanya masalah ini datang dari suami sendiri. Di bawah guyuran air, aku menjatuhkan air mata sederas mungkin, sesekali berteriak demi melonggarkan dada yang terasa sesak.

***

Selesai mengeringkan rambut, aku dikejutkan dengan suara ketukan di pintu kamar. Baru saja ingin meraih handle pintu, tetapi sudah terbuka duluan. Ibu mertua datang, melipat kedua tangan di depan dada. Seorang perempuan berdiri di sisi kanannya. Di mana Mas Abryal?

"Mami mau tanya sesuatu sama kamu, tapi harus dijawab dengan jujur!"

Aku melipat bibir, gemuruh di dada kembali tercipta. Mungkinkah Mas Abryal sudah menceritakan semuanya pada ibu mertua sehingga mereka datang ke sini? Sungguh tidak habis pikir, masalah pribadi sebaiknya diselesaikan sendiri, tetapi suami bertingkah bagai anak kecil yang bersembunyi di ketiak ibunya.

"Masuk dulu, Mam."

Ibu mertua langsung masuk ke kamar diikuti oleh perempuan yang mungkin seumuran denganku. Mereka duduk di sofa, dekat jendela. Jantung berdegup cepat bagai pacuan kuda. Aku bisa menebak pertanyaan yang akan dilontarkan, jadi harus bisa bersikap setenang mungkin. Namun, jika sudah disudutkan, apa boleh menyebut nama Mas Daran?

"Tadi Abryal keluar kamar dalam keadaan emosi, habis guci kesayangan mami dipecahkan sama dia. Ada masalah apa sebenarnya?"

"Mas Abryal tidak cerita, Mam?"

Sedetik setelah aku melontarkan pertanyaan itu, ibu mertua langsung menarik paksa rambut ini. Mungkin dia ingin menjambaknya sampai botak. Untung saja perempuan yang ikut dengannya langsung membantu aku. Dia berusaha menenangkan dengan suara pelan. Entah siapa dia, aku semakin penasaran.

"Harusnya kamu tahu berterima kasih, Megumi. Abryal menerima kamu apa adanya, mengubur mimpi untuk melanjutkan studi ke luar negeri demi menikah sama kamu. Padahal banyak perempuan cantik yang mengejarnya. Mami nggak nyangka kamu sehina itu, Megumi!"

"Apa maksud Mami?"

"Kamu pikir mami tidak tahu? Tadi kalian memadu kasih, lalu tidak ada bercak darah sebagai tanda kalau kamu masih suci. Abryal sudah bertanya siapa pelakunya, tetapi kamu membela diri demi melindungi lelaki itu!" sentak ibu mertua.

Deg!

Jadi, Mas Abryal memberitahu mereka kalau aku sudah tidak suci sebelum berhubungan dengannya? Kenapa lelaki itu sangat tega? Andai saja dia mau menjaga nama baik istri sendiri, menjatuhkan talak tanpa mengungkap alasan aku rasa jauh lebih bagus. Namun, dia justru meminta mereka berdua datang ke kamar ini, menuntut jawaban yang mustahil aku berikan. Di mana dia?

"Megumi, katakan saja yang sebenarnya. Apa benar selama ini kamu sudah terbiasa tidur dengan banyak lelaki, mantan kekasih atau justru diperkosa seseorang? Mami sama Abryal pasti butuh jawaban pasti." Perempuan itu ikut membuka suara, tetapi lebih terdengar menenangkan.

"Kania, kamu tidak usah ikut campur. Tante sudah bilang, jangan ikut ke kamar ini. Kamu masih aja ngeyel."

"Tapi Abryal masih sepupu aku, Tan. Jadi, wajar kalau ikut campur. Lagi pula aku sama Abryal sudah seperti saudara kandung."

Ibu mertua menghela napas berat. Sekarang dia memberi tatapan tajam mematikan padaku. Apakah di luar sana ada perempuan bernasib sama denganku, yakni dibentak atau ditinggalkan oleh suami sendiri setelah memadu kasih karena tidak menemukan noda merah sebagai bukti kesucian? Lihatlah aku yang dianggap rendah oleh mereka padahal kesalahan ada padanya, bukan dariku.

Sebagai pengantin baru, aku juga berharap bisa bahagia, menghabiskan malam pertama dengan suami tercinta tanpa gangguan dari orang lain. Namun, kenyataan pahit harus aku telan sendirian. Disalahkan, dihina bahkan mungkin akan diusir dari rumah ini. Aku menghela napas berat, mengusap wajah gusar berharap semua hanyalah mimpi.

"Kenapa diam saja?!" bentak ibu mertua lagi.

"Mami, aku sudah bersumpah pada Mas Abryal sebelum kami menikah kalau aku masih suci. Sebelum kenal sama suami, aku belum pernah pacaran karena lebih fokus menata masa depan. Nafkah masih ditanggung orang tua, untuk apa menjual diri pada lelaki hidung belang? Kesucianku direnggut oleh Mas Abryal, bukan orang lain. Perihal noda yang tidak ada, itu bukan masalah besar. Dulu aku pernah jatuh dan keluar darah dari sini!" Aku menunjuk ke bawah, tanpa ekspresi.

Perempuan paruh baya itu menaikkan sebelah alisnya seakan tidak percaya pada apa yang aku katakan. Ya, ini memang kebohongan karena aku sudah sepakat dengan Mas Daran untuk menyembunyikan masalah tadi malam. Aku yakin, lelaki itu pun bisa melakukannya. Agak memalukan memang jika harus jujur pada semua orang bahwa aku telah menghabiskan malam dengan kakak ipar sendiri. Tidak ada dari mereka yang percaya bahwa aku sulit membedakan keduanya dalam kegelapan.

"Mami tidak bisa percaya. Pasti ada sesuatu yang kamu sembunyikan, betul?" Ah, sialan. Ternyata sulit mengelabui ibu mertua. Jadi, aku harus apa sekarang? Mengungkap kebenaran walau nanti berujung disalahkan juga?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status