"Jangan pikir bisa menipu aku, Megy. Aku tahu kalau kamu tidak suci lagi. Katakan, sudah berapa banyak lelaki yang menidurimu?!" Mas Abryal kembali melontarkan kalimat yang menyakiti hati.
Mungkin lebih terdengar sebagai tuduhan. Pada malam pertama, aku menghabiskan malam dengan kakak ipar juga karena kesalahannya. Andai saja dia segera menyusul ke kamar dan bukan meladeni tamu yang katanya begitu penting, mungkin tidak akan terjadi masalah besar. Kesalahan kedua adalah dia tidak masuk ke kamar sekadar meminta izin. Tidak mungkin lelaki itu pergi dengan memakai baju pengantin bukan?
"Kenapa diam saja, Lacur?!" bentak Mas Abryal semakin tega.
Mata merah berkaca-kaca, terdengar embusan napasnya berulang kali darinya. Aku menunduk, air mata ikut mengalir di pipi, tetapi segera aku seka. Detik selanjutnya berusaha tersenyum lebar meski harapan telah patah berulang kali. Mungkin memang sudah takdirnya untuk dihina seperti ini karena siapa pun akan terluka jika tahu pasangannya sudah tidak lagi suci.
"Mas, kamu salah. Aku ini masih perawan. Dulu saat masih kecil aku pernah jatuh dan ada darah yang keluar dari kemaluanku. Kenapa harus melakukannya dengan orang lain jika bisa menunggu dirimu sebagai suami? Ingat, Mas, sebelum kita menikah aku telah melakukan sumpah kalau aku ini masih suci."
"Tidak, aku yakin itu sumpah palsu untuk mengelabui saja. Katakan sekarang, siapa yang sudah merenggut mahkotamu? Mantan di masa lalu? Atau lelaki hidung belang?"
Aku melipat bibir. Tidak mungkin mengatakan dengan jujur bahwa Mas Daran lah pelakunya. Jika aku mengungkap kejadian malam itu, ada dua kemungkinan besar terjadi. Pertama, Mas Daran akan menyangkal karena tidak ada saksi mata atau bukti yang memberatkannya, lantas aku akan dicap sebagai perempuan tidak punya malu. Kedua, Mas Abryal langsung menjatuhkan talak, lalu mengusir aku dari sini.
Dua menit hening, Mas Abryal meninggalkan kamar. Bahu melorot, bibir manyun dua senti. Perlahan kaki terayun menuju kamar mandi. Kejadian serupa kembali terulang, bedanya masalah ini datang dari suami sendiri. Di bawah guyuran air, aku menjatuhkan air mata sederas mungkin, sesekali berteriak demi melonggarkan dada yang terasa sesak.
***
Selesai mengeringkan rambut, aku dikejutkan dengan suara ketukan di pintu kamar. Baru saja ingin meraih handle pintu, tetapi sudah terbuka duluan. Ibu mertua datang, melipat kedua tangan di depan dada. Seorang perempuan berdiri di sisi kanannya. Di mana Mas Abryal?
"Mami mau tanya sesuatu sama kamu, tapi harus dijawab dengan jujur!"
Aku melipat bibir, gemuruh di dada kembali tercipta. Mungkinkah Mas Abryal sudah menceritakan semuanya pada ibu mertua sehingga mereka datang ke sini? Sungguh tidak habis pikir, masalah pribadi sebaiknya diselesaikan sendiri, tetapi suami bertingkah bagai anak kecil yang bersembunyi di ketiak ibunya.
"Masuk dulu, Mam."
Ibu mertua langsung masuk ke kamar diikuti oleh perempuan yang mungkin seumuran denganku. Mereka duduk di sofa, dekat jendela. Jantung berdegup cepat bagai pacuan kuda. Aku bisa menebak pertanyaan yang akan dilontarkan, jadi harus bisa bersikap setenang mungkin. Namun, jika sudah disudutkan, apa boleh menyebut nama Mas Daran?
"Tadi Abryal keluar kamar dalam keadaan emosi, habis guci kesayangan mami dipecahkan sama dia. Ada masalah apa sebenarnya?"
"Mas Abryal tidak cerita, Mam?"
Sedetik setelah aku melontarkan pertanyaan itu, ibu mertua langsung menarik paksa rambut ini. Mungkin dia ingin menjambaknya sampai botak. Untung saja perempuan yang ikut dengannya langsung membantu aku. Dia berusaha menenangkan dengan suara pelan. Entah siapa dia, aku semakin penasaran.
"Harusnya kamu tahu berterima kasih, Megumi. Abryal menerima kamu apa adanya, mengubur mimpi untuk melanjutkan studi ke luar negeri demi menikah sama kamu. Padahal banyak perempuan cantik yang mengejarnya. Mami nggak nyangka kamu sehina itu, Megumi!"
"Apa maksud Mami?"
"Kamu pikir mami tidak tahu? Tadi kalian memadu kasih, lalu tidak ada bercak darah sebagai tanda kalau kamu masih suci. Abryal sudah bertanya siapa pelakunya, tetapi kamu membela diri demi melindungi lelaki itu!" sentak ibu mertua.
Deg!
Jadi, Mas Abryal memberitahu mereka kalau aku sudah tidak suci sebelum berhubungan dengannya? Kenapa lelaki itu sangat tega? Andai saja dia mau menjaga nama baik istri sendiri, menjatuhkan talak tanpa mengungkap alasan aku rasa jauh lebih bagus. Namun, dia justru meminta mereka berdua datang ke kamar ini, menuntut jawaban yang mustahil aku berikan. Di mana dia?
"Megumi, katakan saja yang sebenarnya. Apa benar selama ini kamu sudah terbiasa tidur dengan banyak lelaki, mantan kekasih atau justru diperkosa seseorang? Mami sama Abryal pasti butuh jawaban pasti." Perempuan itu ikut membuka suara, tetapi lebih terdengar menenangkan.
"Kania, kamu tidak usah ikut campur. Tante sudah bilang, jangan ikut ke kamar ini. Kamu masih aja ngeyel."
"Tapi Abryal masih sepupu aku, Tan. Jadi, wajar kalau ikut campur. Lagi pula aku sama Abryal sudah seperti saudara kandung."
Ibu mertua menghela napas berat. Sekarang dia memberi tatapan tajam mematikan padaku. Apakah di luar sana ada perempuan bernasib sama denganku, yakni dibentak atau ditinggalkan oleh suami sendiri setelah memadu kasih karena tidak menemukan noda merah sebagai bukti kesucian? Lihatlah aku yang dianggap rendah oleh mereka padahal kesalahan ada padanya, bukan dariku.
Sebagai pengantin baru, aku juga berharap bisa bahagia, menghabiskan malam pertama dengan suami tercinta tanpa gangguan dari orang lain. Namun, kenyataan pahit harus aku telan sendirian. Disalahkan, dihina bahkan mungkin akan diusir dari rumah ini. Aku menghela napas berat, mengusap wajah gusar berharap semua hanyalah mimpi.
"Kenapa diam saja?!" bentak ibu mertua lagi.
"Mami, aku sudah bersumpah pada Mas Abryal sebelum kami menikah kalau aku masih suci. Sebelum kenal sama suami, aku belum pernah pacaran karena lebih fokus menata masa depan. Nafkah masih ditanggung orang tua, untuk apa menjual diri pada lelaki hidung belang? Kesucianku direnggut oleh Mas Abryal, bukan orang lain. Perihal noda yang tidak ada, itu bukan masalah besar. Dulu aku pernah jatuh dan keluar darah dari sini!" Aku menunjuk ke bawah, tanpa ekspresi.
Perempuan paruh baya itu menaikkan sebelah alisnya seakan tidak percaya pada apa yang aku katakan. Ya, ini memang kebohongan karena aku sudah sepakat dengan Mas Daran untuk menyembunyikan masalah tadi malam. Aku yakin, lelaki itu pun bisa melakukannya. Agak memalukan memang jika harus jujur pada semua orang bahwa aku telah menghabiskan malam dengan kakak ipar sendiri. Tidak ada dari mereka yang percaya bahwa aku sulit membedakan keduanya dalam kegelapan.
"Mami tidak bisa percaya. Pasti ada sesuatu yang kamu sembunyikan, betul?" Ah, sialan. Ternyata sulit mengelabui ibu mertua. Jadi, aku harus apa sekarang? Mengungkap kebenaran walau nanti berujung disalahkan juga?
"Kenapa diam saja? Kamu nggak denger mami bicara?" Ibu mertua kembali membuka suara yang kali ini sangat melengking. "Nggak gitu, Mam. Mas Abryal cuma salah paham, gak ada yang aku sembunyikan.""Bohong!" Ibu mertua langsung melayangkan tamparan di pipi kanan ini, lalu menyeretku ke belakang rumah dekat kebun.Entah sejak kapan ibu mertua merencanakan semua ini karena sudah tersedia tali tambang yang cukup panjang. Aku diikat pada batang pohon mangga yang tidak terlalu tinggi, tetapi seperti angker. Memberontak pun tidak bisa, aku hanya mengandalkan suara untuk berteriak.Namun, semua percuma seolah penghuni rumah ini tidak memiliki telinga. Gadis tadi pun mungkin enggan memunculkan batang hidungnya. Aku pasrah, menitikkan air mata memikirkan hal-hal yang mungkin saja terjadi esok atau lusa."Mami nggak bakal ngelepasin kamu kalau nggak jujur!""Please, Mami. Aku bersumpah sebelum kami menikah, aku masih perawan.""Tadi malam kamu ngapain aja? Abryal kan ke rumah sakit.""Itu ...." A
Mas Daran keluar dari kamar ini setelah menepuk pucuk kepalaku beberapa menit. Katanya itu ibarat sebuah mantra yang bisa membuat kita merasa lebih baik. Ya, aku mengakui meskipun luka di hati masih terasa.Perempuan mana yang tidak terluka diperlakukan demikian buruknya oleh mertua. Mas Abryal pun nampak acuh tak acuh lagi. Tidak ada pesan yang dia kirim untuk menjelaskan keberadaannya. Padahal saat kami masih pacaran dulu, dia kerap marah jika aku keluar rumah tanpa mengabarinya.Kembali teringat ketika ijab qabul diiringi teriakan 'sah' dari para saksi menggema di rumah besar ini. Air mata sejuk jatuh membasahi pipi. Aku selalu mendambakan malam pertama yang indah untuk kemudian melanjutkan mimpi bersama pasangan, saling menguatkan dalam keadaan apa pun."Megumi."Aku yang sedang meneguk air sedikit terkejut dengan kedatangan Kania. Dia bersama seorang pelayan yang langsung menerobos masuk kamar dan mengambil piring yang sudah kosong itu.Kania sendiri tinggal di kamar. Kami belum
"Lihat mereka, Pi. Daran sangat peduli pada Jalang itu. Apa mungkin rumor tentang mereka benar?""Jalang? Rumor? Kamu ini bicara apa, Abryal? Papi nggak pernah mengajarimu merendahkan perempuan apalagi istri kamu!" bentak ayah mertua semakin merah.Aku sendiri memilih menunduk, tetap di tempat karena tidak bisa melangkahkan kaki sekadar memberi jarak dengan Mas Daran. Ternyata memang ada rumor tentang kami berdua. Seharusnya Mas Daran memilih cuek untuk mematahkan prasangka mereka dan bukan malah menolongku.Pernikahan yang baru seumur jagung aku sangka akan dipenuhi dengan bunga-bunga cinta karena sikap romantis dari suami. Apakah dosa mengimpikan hal itu sebelum pernikahan sehingga Tuhan memberiku hukuman seberat ini?"Papi tanyakan saja sama Daran. Dia kan anak kesayangan Papi!"Ayah mertua semakin marah, dia menggertakkan gigi dengan wajah merah padam. Ibu mertua langsung menenangkannya sebisa mungkin. Aku semakin ketakutan, gemetar tidak karuan karena tahu bahwa masalah besar aka
"Benar, Om. Aku jadi saksi. Tante Yuni mengamuk membenarkan tuduhan Abryal, lalu diikat di pohon. Aku mau menolong, tetapi Tante Yuni marah dan mengancam aku diusir kalau berani mengadu. Untungnya Mas Daran datang di waktu yang tepat sebelum Megy pingsan." Kania memberi jeda, tersenyum manis sebelum akhirnya melanjutkan, "Aku menelepon Mas Daran untuk segera pulang, makanya dia tahu Megumi ada di belakang rumah, Om.""Bohong!" pungkas ibu mertua cepat menatap kami secara bergantian. "Sebenarnya mami dijebak. Kania bilang kalau Megumi itu punya hubungan dengan Daran, jadi Kania menyarankan agar mami menghukum Megumi untuk mencari bukti dan benar, Daran datang menolongnya!""Tante Yuni yakin?""Kania, jangan menyudutkan Mami! Niat Mami itu baik karena mau membuka kedok mereka dan sudah terbukti, kan? Bahkan dengan gatalnya minta digendong." Mas Abryal kembali membuka suara seperti tidak ingin ibu mertua disalahkan.Aku tidak tahu bagaimana keputusan akhir karena ayah membawa istrinya me
"Nggak mungkin, Meg. Kamu jangan hamil dulu!""Semoga enggak, sih, Mas. Tapi gimana kalau seandainya emang beneran hamil?"Mas Daran mengusap kasar wajahnya. Siapa yang tidak akan frustrasi? Apalagi suamiku seorang perawat, tentu mudah mengetahui siapa ayah biologis dalam kandunganku ini. Lantas haruskah jujur pada keluarga, kemudian menikah dengan dia?Oh, ini berat. Mas Daran sendiri sudah memutuskan untuk hidup melajang. Dia memang yang merenggut kehormatanku pertama kali, tetapi setelah tidur dengan Mas Abryal juga, apa dia akan mempertimbangkan atau justru menolak kasar?Aku perempuan dan di mana-mana dalam kasus yang sama, kamilah yang paling dirugikan. Mas Daran bisa menyangkal untuk sesaat jika mau saat suatu hari nanti kebenaran terungkap. Lagi pula jika dia menikah dengan perempuan lain, mungkin istrinya tidak akan curiga.Mas Daran menatap lekat padaku, sejurus kemudian aku memalingkan pandangan ke luar jendela karena berhasil di buat salah tingkah. "Kamu keberatan kalau ..
"Megy!" Teriakan itu menggema bersamaan dengan tangan aku yang dicekal kuat. Gunting direbut ketika aku membuka mata."Mas Daran?"Dia menggeleng kuat sebagai isyarat bahwa dia tidak memberi izin aku mengakhiri hidup. Dalam satu gerakan, aku sudah berada dalam pelukannya. Tentu hal ini menambah kecurigaan Mas Abryal. Aku pasrah, memejamkan mata untuk sesaat.Tidak kupedulikan hinaan Mas Abryal yang mengatai kami manusia hina. Bahkan sampai lelaki itu pergi, Mas Daran tetap pada posisinya. Untuk waktu yang lama, aku merasa damai.***Tanpa terasa, waktu berputar begitu cepat dan setiap pagi aku harus menahan mual agar keluarga suami tidak curiga. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Mencoba mencari jalan keluar yang sudah pasti buntu?Selain jujur pada mereka, aku tidak akan pernah lepas dari masalah ini. Namun, Mas Daran sudah berjanji ingin membantu meskipun bukan bermaksud akan bertanggungjawab dengan menikah."Aku sudah telat sebulan hari ini, Mas. Kayaknya ... emang lagi hamil."M
"Jujur, aku tinggal di sini itu karena diusir dari rumah. Setelah wisuda, aku ketahuan hamil di luar nikah. Jadi, aku tahu betul gimana orang kalau hamil," lanjut Kania lagi karena aku terpaku memandangnya.Kalau dia pernah hamil, kenapa bapak mertua mau menampungnya di sini? Apa karena rasa kasihan? Namun, sepertinya tidak bagus jika langsung percaya begitu saja. Orang-orang di rumah ini hampir semua bermuka dua.Kembali teringat perkataan Mas Daran tentang dirinya yang seperti diberi obat perangsang malam itu. Jika memang benar, maka siapa yang menjebaknya? Apalagi di saat yang sama, parfum Mas Abryal juga dipakai Mas Daran. Apakah semua memang sebuah kebetulan?Aku memijit kening, melangkah gontai menuju tempat tidur. Andai saja Kania sudah pasti baik dan mendukung aku seperti Mas Daran, aku bisa jujur pada apa yang aku rasakan. Memendam masalah sendirian itu berat dan hanya menambah sesak di dada."Meg, minimal lakukan tes kehamilan. Kalau kamu hamil, mungkin Abryal bisa berubah.
Malam hari, aku yang baru saja keluar dari kamar mandi dikejutkan oleh keberadaan Mas Abryal, duduk di tempat tidur. Biasanya dia akan pulang saat aku sudah terlelap. Itu pun tidak akan mau masuk di kamar kami. Sekarang, entah apa tujuannya.Jantung berdegup tidak normal, aku menelan saliva selaya melebarkan langkah mengikis jarak di antara kami. Mas Abyral menoleh dengan tatapan yang sulit di artikan. Tangan kanannya bergerak menepuk sisi kanan sebagai isyarat bahwa aku diminta duduk di sana."Di sini saja, Mas." Aku menjawab ragu, lalu duduk di sofa kamar.Mas Abryal menghembuskan napas kasar, menatap dalam padaku. "Kamu istriku, Megumi. Jadi, harus menurut sama aku?""Istri?" Aku tersenyum ketus mendengarnya. Setelah apa yang dilakukan selama ini seolah menganggap aku tidak ada, dia berani menganggap istri?Sebenarnya aku memang cukup senang karena Mas Abryal mengakui aku sebagai istri sekarang. Namun, tetap saja khawatir mengingat masalah di antara kami belum menemukan titik teran