Share

Bab 4

Mata Maya langsung terbuka. Di depannya tampak seorang wanita berperawakan gendut dan berkacak pinggang. "Maaf Bu," hanya itu kata-kata yang keluar dari mulut Maya 

"Memang aku ibumu kamu panggil bu," ujar wanita tersebut.

"Kalau tidak mau dipanggil bu lalu minta dipanggil apa coba. Masak Pak," pikir Maya dalam hati.

"Panggil aku tante," ujar wanita tersebut seperti memahami kebingungan Maya.

"Oemjii, apakah anda Tante Berlian?" tanya Maya dengan sangat ketakutan. 

Percakapan dua laki laki yang mengejarnya tadi malam berseliweran di otaknya. Betapa ngerinya,  andai dia tertangkap dan berujung di rumah bordir Tante Berlian.

Kakinya ditekuk dan beringsut duduk di pojok warung. Kedua tangan menutupi wajahnya. "Hei kenapa kau ketakutan seperti itu? Aku hanya ingin tahu mengapa kamu bisa tidur di warungku?" tanya perempuan tersebut kepada Maya dengan nada yang lebih lembut. Tampaknya ia kasihan melihat Maya yang begitu ketakutan.

"Jadi Anda bukan Tante Berlian kan?" tanya Maya sekali lagi untuk mempertegas.

"Aku tidak punya berlian. Jadi aku bukan Tante BerlianŲŒ" tegas wanita tersebut.

"Syukurlah kalau Anda bukan Tante Berlian," seru Maya.

"Sudahlah bagaimana ceritanya kamu bisa masuk ke warungku?" tanya wanita tersebut.

"Saya dikejar penjahat Te saat saya keluar dari terminal. Tas saya dijambret, koper saya juga entah di mana sekarang," ujar Maya sambil menangis sesenggukan. 

Ia memilih berterus terang dengan kondisinya saat ini. Meskipun wanita tersebut baru dikenalnya. Ia menyesal telah membohongi bu Anggi yang dikenalnya di bus. Andai saat itu dia berterus terang, mungkin ia bisa bekerja sebagai baby sitter cucu bu Anggi. Atau minimal dia dapat tumpangan gratis untuk mencari penginapan. Tapi nasi sudah menjadi bubur.

Wanita gemuk itu duduk di kursi panjang dekat Maya. "Kasihan sekali nasibmu Nak," ujarnya tampak ikut sedih. Sangat kontras dengan perlakuannya saat pertama kali mereka bertemu.

"Jadi saya mohon maaf terpaksa masuk tanpa izin ke warung Tante, bersembunyi di sini sampai ketiduran," tambah Maya lagi.

"Kalau begitu ceritanya, Tante bisa memaklumi Nak," ujarnya.

"Baiklah saya akan pergi dari sini. Terima kasih banyak ya Te, sudah memberikan tumpangan tidur semalam di sini," ucap Maya seraya bersiap siap untuk pergi.

"Terus, kamu akan pergi ke mana sekarang?" tanya wanita itu.

"Saya juga belum tahu Te. Mengikuti saja ke mana kaki ingin melangkah," ujar Maya.

"Di luar sana juga bahaya kalau kamu jalan sendirian. Bagaimana kalau kamu bantu Tante saja di warung. Bisa ikut bersih bersih atau korah-korah. Setidaknya kamu bisa makan gratis di sini," ujar wanita itu.

"Benarkah?" tanya Maya balik, dengan mata berbinar.

Wanita tersebut mengangguk.

"Siapa namamu dan dari mana asalmu?" tanya wanita itu lagi.

"Nama saya Maya, Te," ujar Maya seraya menyebutkan dari mana ia berasal 

"Mengapa kamu sampai meninggalkan kampung halamanmu sejauh itu?" tanya wanita itu.

"Ceritanya panjang Te. Oiya saya memanggil Tante siapa?" tanya Maya.

"Tante Tari saja," jawabnya singkat.

Akhirnya Maya menceritakan apa yang dialaminya pada Tari. 

"Yang sabar saja ya Maya. Kalau begitu kita langsung bekerja ya. Kasihan nanti kalau ada pelanggan yang mau beli," ujar Tari.

"Mari Tante apa yang bisa Maya bantu?" tanya Maya.

"Hmm apa tidak sebaiknya kamu mandi dulu? Di belakang warung ini ada kamar mandi umum yang bisa kamu gunakan untuk mandi dan bersih diri. Sebab kalau menghadapi pelanggan kita harus tampak bersih," ujar Tari mengingatkan Maya.

"Iya Te. Maya juga sudah kebelet pipis dari tadi malam belum pipis," kata Maya 

Setelah mandi, Maya merasa badannya terasa segar. Meskipun ia masih memakai baju yang sama dengan kemarin. Itu satu satunya baju yang dia punyai. Mau minta kepada Tari, Maya malu. Karena orang yang semula dia anggap jahat tersebut kini menjadi satu-satunya orang yang peduli dengannya di rimba ibukota ini.

"Nah, gini kan kelihatan segar. Itu pakai sisir dan cermin di dalam kamar," ujar Tari seraya menunjuk ruangan sempit ukuran 2x1 meter di bagian belakang warung.

Tempat ini multi fungsi antara gudang dan tempat istirahat saat lelah. Di sudut ruang tersebut ada cermin dan sisir.

"Kamu buka pintu dan jendela. Serta menata piring di dekat nasi. Nasi dan barang-barang yang diturunkan tukang becak di depan kamu bawa masuk," perintah Tari.

Semua perintah Tari langsung dikerjakan Maya. "Oiya, kamu belum sarapan ya. Ayo sarapan dulu," ujar Tari.

Maya langsung mengiyakan. Perutnya sudah sangat lapar. Dari kemarin siang dia belum makan sesuap nasi pun. Apalagi selama membantu Tari tersebut Maya melihat dan mencium banyak makanan enak berseliweran di depan hidungnya. 

"Baik Te," ujar Maya seraya mengambil piring kosong dan menciduk nasi.

"Untuk lauknya bebas. Kamu boleh pilih apa saja," ujar Tari.

Maya akhirnya mengambil sayur pecel dan sepotong tempe goreng. "Lho kok tidak ambil lauk,?" tanya Tari.

"Sudah Te ini saja," jawab Maya.

Tari tidak tega melihatnya. Ia pun menambahkan sepotong bandeng goreng ke piring Maya.

"Terima kasih Te," ujar Maya tampak senang.

Mereka pun bekerja sampai sore hari. Menjelang magrib Tari pulang ke rumahnya. Sementara Maya akan tidur di warung. Di kamar yang sempit tersebut.

Sekitar pukul 10 malam, ternyata ada yang masuk ke warung. Betapa terkejutnya Maya ternyata sosok laki laki yang masuk adalah Rico. Anak laki laki Tari. Rico sudah dikenalkan Tari kepada Maya siang tadi saat Rico makan siang. "Ada perlu apa Mas Rico?" tanya Maya ramah. 

"Ingin menemuimu," jawab Rico singkat.

"Ada yang bisa saya bantu Mas?" tanya Maya lagi. Dia mengira kedatangan Rico atas suruhan ibunya.

"Banyak Maya," lagi lagi jawaban singkat yang diberikan Rico.

Belum sempat Maya bertanya lagi, Rico sudah menutup pintu depan warung dan menyelotnya. Dia raih tubuh Maya dengan kasar. Lalu didorong ke arah kamar yang sempit tersebut. 

"Apa maumu Mas?" tanya Maya mulai curiga ada yang tidak beres.

"Bukankan kau yang menawari apa yang bisa aku bantu. Nah, bantu aku memuaskan naf*u ku malam ini," ujar Rico seraya melorot celananya ke bawah.

"Apa?" teriak Maya kaget 

Saat Rico mencopot celananya tersebut, resletingnya sempat nyangkut di alat vitalnya.  Mungkin terlalu tergesa-gesa. "Akhhh," erangnya.

Kesempatan ini dimanfaatkan baik-baik oleh Maya. Ia berlari keluar dari pintu belakang. Tidak menghiraukan Rico Yeng sudah mengeluarkan sumpah serapah. 

Mungkin karena Rico harus mengenakan celananya kembali ia tidak bisa segera mengejar Maya. 

Maya terus berlari tanpa tujuan. Pekatnya malam tidak ia hiraukan. Yang penting dia harus berlari sejauh mungkin dari tempat tersebut. 

Sampai dia mendapati komplek perumahan elite yang rumahnya bagus-bagus. Ia bermaksud berteduh di salah satu pohon di perumahan tersebut yang terlihat rindang. 

Sayang baru saja ia melangkah ke bawah pohon tersebut, seorang satpam menghampirinya. "Hai pengemis. Jangan masuk komplek perumahan ini. Apa tidak bisa tulisan di depan, pengemis, pemulung dan pengamen tidak boleh masuk!" hardik satpam tersebut.

Ya Tuhan, kemana lagi kaki ini akan melangkah? tanya Maya dalam hati.

**

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status