Mata Maya langsung terbuka. Di depannya tampak seorang wanita berperawakan gendut dan berkacak pinggang. "Maaf Bu," hanya itu kata-kata yang keluar dari mulut Maya
"Memang aku ibumu kamu panggil bu," ujar wanita tersebut.
"Kalau tidak mau dipanggil bu lalu minta dipanggil apa coba. Masak Pak," pikir Maya dalam hati.
"Panggil aku tante," ujar wanita tersebut seperti memahami kebingungan Maya.
"Oemjii, apakah anda Tante Berlian?" tanya Maya dengan sangat ketakutan.
Percakapan dua laki laki yang mengejarnya tadi malam berseliweran di otaknya. Betapa ngerinya, andai dia tertangkap dan berujung di rumah bordir Tante Berlian.
Kakinya ditekuk dan beringsut duduk di pojok warung. Kedua tangan menutupi wajahnya. "Hei kenapa kau ketakutan seperti itu? Aku hanya ingin tahu mengapa kamu bisa tidur di warungku?" tanya perempuan tersebut kepada Maya dengan nada yang lebih lembut. Tampaknya ia kasihan melihat Maya yang begitu ketakutan.
"Jadi Anda bukan Tante Berlian kan?" tanya Maya sekali lagi untuk mempertegas.
"Aku tidak punya berlian. Jadi aku bukan Tante BerlianŲ" tegas wanita tersebut.
"Syukurlah kalau Anda bukan Tante Berlian," seru Maya.
"Sudahlah bagaimana ceritanya kamu bisa masuk ke warungku?" tanya wanita tersebut.
"Saya dikejar penjahat Te saat saya keluar dari terminal. Tas saya dijambret, koper saya juga entah di mana sekarang," ujar Maya sambil menangis sesenggukan.
Ia memilih berterus terang dengan kondisinya saat ini. Meskipun wanita tersebut baru dikenalnya. Ia menyesal telah membohongi bu Anggi yang dikenalnya di bus. Andai saat itu dia berterus terang, mungkin ia bisa bekerja sebagai baby sitter cucu bu Anggi. Atau minimal dia dapat tumpangan gratis untuk mencari penginapan. Tapi nasi sudah menjadi bubur.
Wanita gemuk itu duduk di kursi panjang dekat Maya. "Kasihan sekali nasibmu Nak," ujarnya tampak ikut sedih. Sangat kontras dengan perlakuannya saat pertama kali mereka bertemu.
"Jadi saya mohon maaf terpaksa masuk tanpa izin ke warung Tante, bersembunyi di sini sampai ketiduran," tambah Maya lagi.
"Kalau begitu ceritanya, Tante bisa memaklumi Nak," ujarnya.
"Baiklah saya akan pergi dari sini. Terima kasih banyak ya Te, sudah memberikan tumpangan tidur semalam di sini," ucap Maya seraya bersiap siap untuk pergi.
"Terus, kamu akan pergi ke mana sekarang?" tanya wanita itu.
"Saya juga belum tahu Te. Mengikuti saja ke mana kaki ingin melangkah," ujar Maya.
"Di luar sana juga bahaya kalau kamu jalan sendirian. Bagaimana kalau kamu bantu Tante saja di warung. Bisa ikut bersih bersih atau korah-korah. Setidaknya kamu bisa makan gratis di sini," ujar wanita itu.
"Benarkah?" tanya Maya balik, dengan mata berbinar.
Wanita tersebut mengangguk.
"Siapa namamu dan dari mana asalmu?" tanya wanita itu lagi.
"Nama saya Maya, Te," ujar Maya seraya menyebutkan dari mana ia berasal
"Mengapa kamu sampai meninggalkan kampung halamanmu sejauh itu?" tanya wanita itu.
"Ceritanya panjang Te. Oiya saya memanggil Tante siapa?" tanya Maya.
"Tante Tari saja," jawabnya singkat.
Akhirnya Maya menceritakan apa yang dialaminya pada Tari.
"Yang sabar saja ya Maya. Kalau begitu kita langsung bekerja ya. Kasihan nanti kalau ada pelanggan yang mau beli," ujar Tari.
"Mari Tante apa yang bisa Maya bantu?" tanya Maya.
"Hmm apa tidak sebaiknya kamu mandi dulu? Di belakang warung ini ada kamar mandi umum yang bisa kamu gunakan untuk mandi dan bersih diri. Sebab kalau menghadapi pelanggan kita harus tampak bersih," ujar Tari mengingatkan Maya.
"Iya Te. Maya juga sudah kebelet pipis dari tadi malam belum pipis," kata Maya
Setelah mandi, Maya merasa badannya terasa segar. Meskipun ia masih memakai baju yang sama dengan kemarin. Itu satu satunya baju yang dia punyai. Mau minta kepada Tari, Maya malu. Karena orang yang semula dia anggap jahat tersebut kini menjadi satu-satunya orang yang peduli dengannya di rimba ibukota ini.
"Nah, gini kan kelihatan segar. Itu pakai sisir dan cermin di dalam kamar," ujar Tari seraya menunjuk ruangan sempit ukuran 2x1 meter di bagian belakang warung.
Tempat ini multi fungsi antara gudang dan tempat istirahat saat lelah. Di sudut ruang tersebut ada cermin dan sisir.
"Kamu buka pintu dan jendela. Serta menata piring di dekat nasi. Nasi dan barang-barang yang diturunkan tukang becak di depan kamu bawa masuk," perintah Tari.
Semua perintah Tari langsung dikerjakan Maya. "Oiya, kamu belum sarapan ya. Ayo sarapan dulu," ujar Tari.
Maya langsung mengiyakan. Perutnya sudah sangat lapar. Dari kemarin siang dia belum makan sesuap nasi pun. Apalagi selama membantu Tari tersebut Maya melihat dan mencium banyak makanan enak berseliweran di depan hidungnya.
"Baik Te," ujar Maya seraya mengambil piring kosong dan menciduk nasi.
"Untuk lauknya bebas. Kamu boleh pilih apa saja," ujar Tari.
Maya akhirnya mengambil sayur pecel dan sepotong tempe goreng. "Lho kok tidak ambil lauk,?" tanya Tari.
"Sudah Te ini saja," jawab Maya.
Tari tidak tega melihatnya. Ia pun menambahkan sepotong bandeng goreng ke piring Maya.
"Terima kasih Te," ujar Maya tampak senang.
Mereka pun bekerja sampai sore hari. Menjelang magrib Tari pulang ke rumahnya. Sementara Maya akan tidur di warung. Di kamar yang sempit tersebut.
Sekitar pukul 10 malam, ternyata ada yang masuk ke warung. Betapa terkejutnya Maya ternyata sosok laki laki yang masuk adalah Rico. Anak laki laki Tari. Rico sudah dikenalkan Tari kepada Maya siang tadi saat Rico makan siang. "Ada perlu apa Mas Rico?" tanya Maya ramah.
"Ingin menemuimu," jawab Rico singkat.
"Ada yang bisa saya bantu Mas?" tanya Maya lagi. Dia mengira kedatangan Rico atas suruhan ibunya.
"Banyak Maya," lagi lagi jawaban singkat yang diberikan Rico.
Belum sempat Maya bertanya lagi, Rico sudah menutup pintu depan warung dan menyelotnya. Dia raih tubuh Maya dengan kasar. Lalu didorong ke arah kamar yang sempit tersebut.
"Apa maumu Mas?" tanya Maya mulai curiga ada yang tidak beres.
"Bukankan kau yang menawari apa yang bisa aku bantu. Nah, bantu aku memuaskan naf*u ku malam ini," ujar Rico seraya melorot celananya ke bawah.
"Apa?" teriak Maya kaget
Saat Rico mencopot celananya tersebut, resletingnya sempat nyangkut di alat vitalnya. Mungkin terlalu tergesa-gesa. "Akhhh," erangnya.
Kesempatan ini dimanfaatkan baik-baik oleh Maya. Ia berlari keluar dari pintu belakang. Tidak menghiraukan Rico Yeng sudah mengeluarkan sumpah serapah.
Mungkin karena Rico harus mengenakan celananya kembali ia tidak bisa segera mengejar Maya.
Maya terus berlari tanpa tujuan. Pekatnya malam tidak ia hiraukan. Yang penting dia harus berlari sejauh mungkin dari tempat tersebut.
Sampai dia mendapati komplek perumahan elite yang rumahnya bagus-bagus. Ia bermaksud berteduh di salah satu pohon di perumahan tersebut yang terlihat rindang.
Sayang baru saja ia melangkah ke bawah pohon tersebut, seorang satpam menghampirinya. "Hai pengemis. Jangan masuk komplek perumahan ini. Apa tidak bisa tulisan di depan, pengemis, pemulung dan pengamen tidak boleh masuk!" hardik satpam tersebut.
Ya Tuhan, kemana lagi kaki ini akan melangkah? tanya Maya dalam hati.
**
Maya melangkah gontai keluar dari pintu gerbang perumahan elit tersebut. Namun saat ia melewati pos satpam, ia melihat ada tulisan lowongan pekerjaan yang di tempel di sana.Dengan takut Maya mendekati tulisan tersebut. "Maaf Pak. Saya mau baca lowongan tersebut. Karena saya lagi butuh pekerjaan," ujar Maya memberanikan diri.Satpam yang tadi menghardiknya hanya diam. Tapi membiarkan Maya untuk membaca lebih dekat tulisan itu. Namun mata satpam tersebut masih menatap Mata dari ujung rambut sampai ujung kaki."Yes!" teriak Maya kegirangan. Dia akan melamar pekerjaan tersebut. Sebuah keluarga membutuhkan tenaga kerja perempuan yang mau merawat orang jompo. Seorang perempuan yang sudah berusia 80 tahun. Syaratnya: perempuan usia 20-50 tahun, bersedia tidur dalam, telaten dan penyabar. Tidak disyaratkan ijazah, KTP dan dokumen lain. Sehingga Mata merasa memenuhi syarat untuk melamar.Satpam yang mengamatinya dari tadi tampak mulai berubah wajahnya. "Mbak mau cari pekerjaan ini?" tanyany
"Itu kan, itu kan....." ucap Maya dengan gagap. Ia segera berbalik. Tidak sanggup bertatap mata dengan laki-laki yang pernah ditemuinya beberapa waktu lalu. Sebuah pertemuan tidak sengaja yang menyebalkan. "Ada apa, Maya? Kamu kelihatan bingung," tanya nyonya besar. "Oh tidak ada apa-apa, Nyonya. Udara pagi ini terasa segar. Apakan anda tidak berminat untuk jalan-jalan di luar, Nyonya? " tanya Maya. Ia mencoba mengalihkan pembicaraan. "Kamu menawariku?" Nyonya besar balik bertanya. Ia heran, belum pernah ada pengasuh sebelumnya yang menawarinya jalan-jalan. "Tentu saja," ujar Maya. "Ayo," ajak nyonya besar dengan wajah berbinar. Maya segera mempersiapkan kursi roda dan beberapa perlengkapan lain untuk itu. Seperti air minum, tisu dan juga sweater. Ia khawatir nyonya besar akan kedinginan saat di luar nanti. "Nyonya sudah siap?" tanya Maya. "Tentu saja. Bahkan saya sangat senang. Belum ada satup
"Sial@n!"Laki-laki tersebut terus mengumpat. Ia berjalan menuju ke arah dua perempuan beda usia, Maya dan nyonya besar. Tidak lama kemudian ia berdiri berkacak pinggang. Tepat beberapa meter di belakang dua perempuan itu duduk."Cepat pulang. Pengasuh sial@n. Hanya menambahi pekerjaanku saja," ujarnya seraya menuding ke arah Maya.Nyonya besar yang mengetahui itu dibuat kaget. Cucu tersayangnya belum pernah berbuat kasar seperti ini. Apalagi terhadap perempuan."Ada apa kamu Jojo. Jaga kata-katamu," ujar nyonya besar mengingatkan."Jadi Oma lebih membela perawat sialan daripada cucu Oma sendiri?" tanya Jonathan.Nyonya besar menggeleng. "Bukan begitu. Tentu saja aku sangat sayang pada cucuku. Tapi kenapa kamu terkesan tidak suka pada Maya? Apa salah dia padamu?" tanya nyonya besar sambil menatap lekat cucunya."Dia menambahi pekerjaanku saja. Gara-gara dia, aku diminta mama untuk mengawasi Oma jalan-jalan," ujar Jonathan.
Maya sigap. Ia ke belakang untuk mengambil peralatan kebersihan di dekat dapur. Ia tidak mau ada orang yang terluka akibat pecahan kaca tersebut. Namun nyonya Mulia melarangnya"Tidak usah Maya. Biar asisten lain yang membersihkannya. Tugasmu adalah menjaga mamaku," ujar nyonya Mulia."Baik, Nyonya, " jawab Maya. Ia urung ke belakang dan kembali ke tempat duduknya.Mendengar hal itu, Jonathan yang masih berada di ruang makan tampak semakin jengkel. Padahal dia sengaja menjatuhkan gelasnya agar Maya dimarahi. Atau minimal disuruh membersihkan. Agar pekerjaan Maya bertambah."Aneh sekali. Kenapa semua orang di sini selalu membela dia. Tidak hanya Oma, juga mama. Apa istimewanya anak kampung ini?" ujar Jonathan.Dipandangi satu persatu orang yang ada di situ. Seakan mencari pembelaan diri.Tuan Mulia yang sejak tadi diam ikut angkat bicara. "Sudahlah Jo. Papa lihat sendiri kamu yang menyenggol gelas itu sampai terjatuh. Jangan salah
"Apa maksudmu membawaku kemari?" tanya Maya dengan wajah ketakutan.Jonathan hanya tersenyum menyeringai. Lalu tangannya menarik Maya ke atas. Mencengkeram kerah baju yang dipakai Maya. Sampai gadis itu berjinjit agar bisa sejajar dengan tangan Jonathan.Tidak sampai di situ. Jonathan bahkan mengangkat Maya ke arah tembok. Di sana kedua tangan Maya ditempelkan ke tembok. Gadis itu tidak bisa berbuat banyak.Maya menangis sesenggukan. Hal yang paling ditakutinya adalah diperkosa laki-laki. Karena sejauh ini dia sudah mempertahankan harga dirinya sebaik mungkin. Dan ingin mempersembahkan yang terbaik untuk suaminya kelak."Jangan ge-er. Aku tidak akan memperkosamu. Cih," ujar Jonathan sambil meludah. Hampir mengenai rok yang dikenakan Maya. Seakan dia memahami kekhawatiran Maya."Lalu apa maksudmu?" Maya mulai berani menantang."Aku hanya ingin membuat kesepakatan denganmu," ujar Jonathan."Kesempatan apa? Aku tidak memiliki
Maya mendorong kursi roda nyonya besar ke kamarnya. Pintu ia buka. Dan menempatkan kursi roda di dekat pembaringan. Nyonya besar turun."Aku mau ke kamar kecil dulu, Maya," ujar nyonya besar.Maya memapahnya ke arah kamar kecil yang berjarak lima langkah. Maya ikut masuk ke dalam. Ia mengira, tugasnya termasuk membersihkan kotoran setelah nyonya besar buang hajat."Kamu tunggu di luar saja Maya. Aku bukan anak kecil yang harus diceboki," tolak nyonya besar."Maafkan saya, Nyonya," ujar Maya seraya keluar dari pintu. Ia menutupnya kembali.Tentu saja Maya lebih senang, setidaknya tugasnya tidak berat. Lebih ringan dibandingkan ekspektasinya. Padahal melamar pekerjaan ini, bayangannya merawat orang tua yang tidak bisa apa-apa. Hanya bisa tiduran di kasur.Saat datang ia membayangkan akan mengerjakan semua pekerjaan yang berkaitan dengan nyonya besar. Mulai memandikan, menyuapi makan, mengganti baju hingga membersihkan kotoran
"Maksud Nyonya?" tanya Maya heran."Kematian anakku yang kedua lebih tragis lagi," ujar nyonya besar. Lagi, air matanys tumpah."Nyonya, kalau mengingat semua itu akan membuat Nyonya bersedih. Nyonya tidak usah memaksakan diri bercerita kepada saya," ujar Maya."Tidak Maya, justru dengan cara bercerita seperti ini aku lebih tenang. Karena tidak ada satu pun yang tahu tentang ini selain aku, mendiang suamiku dan ART. Dan ART itu kini juga sudah meninggal," ujar nyonya besar."Termasuk nyonya Mulia tidak tahu?" tanya Maya.Nyonya besar menggeleng pasti. "Tidak. Aku tidak pernah menceritakan kepadanya. Aki malu kalau dianggap ibu yang tidak bertanggung jawab," ucap nyonya besar."Kalau begitu terserah Nyonya saja. Mau bercerita kepada saya juga boleh. Saya akan menjadi pendengar setia buat Nyonya," ujar Maya selanjutnya.Nyonya besar tampak mengambil nafas panjang. Ada rasa bersalah yang ingin sekali ditebusnya. Namun akhirnya mengalir c
Tok tok tokPintu kamar nyonya besar diketuk seseorang dari luar."Ya masuk. Pintu tidak dikunci kok," kata nyonya besar lantang.Ternyata yang datang adalah anaknya sendiri, Katarina. Alias nyonya Mulia, mama Jonathan. Tampak wajah sembab Katarina seperti usai menangis. Tidak lama kemudian ia memeluk mamanya dengan berderai air mata."Aku ikut mendengarkan cerita Mama dari balik pintu," ujar nyonya Mulia pelan."Kau, kau," ujar nyonya besar terbata-bata."Aku mendengar semuanya, Ma. Mama tidak salah. Mengapa mama harus menyimpan semua ini sendiri?" tanya nyonya Mulia.Nyonya besar ikut menangis dalam pelukan anaknya sendiri. "Mama malu Katarina. Mama merasa bersalah, sudah menjadi ibu yang tidak bisa menjaga anak-anaknya," ujar nyonya besar, seraya mengurai pelukan anaknya."Tidak, Ma. Mama tetap menjadi ibu terbaik buat aku dan kakak-kakakku," ujar nyonya Mulia lagi."Kalau Mama bisa menjaga mereka. Mereka masih