Malven segera menyadari perkataannya, dan saat menoleh ia melihat Dera sedang berdiri di sisinya. Wanita tua itu tampak sedang menaikkan alis, menatap Malven dengan mata menyelidik. "Apa kau akan melaporkan jawabanku tadi pada si tua bangka itu, Dera?" Suara Malven mengalun pelan, terdengar dingin dan wajah datarnya menambah kesan kejam. Para pelayan yang sebelumnya sudah mendekat untuk membereskan meja makan, perlahan mundur dan keluar dari ruang makan setelah merasakan suasana yang tidak menyenangkan. Dera menghela napas. "Tergantung dengan sikap Anda, Tuan. Aku tidak akan ikut campur selama itu hanya sebatas hubungan fisik yang saling menguntungkan, tapi tidak untuk menjadi nyonya di kediaman ini." Jawaban yang Dera berikan membuat Malven mendengus. Selain dikirimkan oleh kakeknya untuk melihat perkembangan Raga, Dera juga merangkap sebagai mata-mata yang memperhatikan tindak-tanduk Malven, agar pria itu tidak melakukan sesuatu yang dianggap mempermalukan nama keluarga. "
Sampai di villa yang menjadi tujuan, Claudia segera turun dari mobil dan bergegas ke arah bagasi, melewatkan kebiasaannya membukakan pintu untuk Raga. Arfa yang juga turun bersama Claudia, membukakan pintu untuk Malven lebih dulu sebelum ikut membantu Claudia mengeluarkan barang bawaan mereka. Wanita itu masih terdiam sejak saat Arfa membenarkan perkataan Malven tentang penunggu hutan. "Saya tidak berbohong," ucap Arfa pelan, tentu saja maksudnya adalah tentang kata-katanya di mobil tadi. "Itu terjadi tujuh tahun yang lalu, saat saya tersesat dan bertemu penunggu hutan." Claudia mengerjap di tempatnya, tapi tidak sempat mengatakan apa pun karena Arfa sudah pergi lebih dulu, membawakan koper milik Raga, juga tas Claudia, memasuki villa tanpa menoleh lagi."Hmm, sepertinya dia lumayan menyukaimu?" Claudia berjengit saat Malven berbisik di dekatnya. Pandangan wanita itu mengedar dan tidak menemukan keberadaan Raga. "Kalau kamu mencari Raga, dia sudah masuk duluan." Malven menjawab k
"Tenanglah, Claudi." Suara dan panggilan itu! Claudia menghela napas lega dan tidak lagi meronta saat menyadari jika orang yang mengagetkannya dengan memeluk tiba-tiba adalah Malven. "Wah, kamu sungguh berpikir akan ada yang berbuat jahat padamu di sini, di tempat di mana akulah penguasanya?" Malven menaikkan satu alisnya saat Claudia sudah tenang dan langsung beringsut menjauh saat ia melepas pelukannya. "Kenapa sih tidak bisa datang dengan cara yang normal?! Kenapa selalu mengagetkan orang lain?" Claudia mengerut kesal, jantungnya bertalu sangat kencang akibat ulah Malven. "Eh, tapi aku sudah mendekatimu dengan cara yang normal? Cara normalku mungkin agak berbeda dari orang lain." Melihat senyum jahil yang terukir di wajah Malven membuat Claudia semakin jengkel. Di tengah taman bunga yang sepi, jauh dari jangkauan orang lain, memangnya siapa yang tidak terkejut dan ketakutan saat tiba-tiba ada yang memeluknya?!"Tidak usah dekat-dekat!" ujar Claudia saat Malven melangkah lebi
Claudia tidak mengenal keluarga Aldara secara pribadi, tapi mereka termasuk salah satu keluarga yang memimpin bisnis di negara ini. Hanya saja Claudia tanpa sadar tertegun karena perusahaan induk milik Aldara adalah tempat Selena bekerja. Ia ingat saat sepupunya itu berteriak bahagia ketika lolos menjadi salah satu staff sekretaris di kantor pusat Aldara. Tidak hanya kenyataan jika Selena bekerja di perusahaan itu yang membuat Claudia jadi tidak nyaman, tapi ingatan tentang posisi wanita itu saat ini. Dalam beberapa tahun, Selena dengan cepat naik jabatan dan seingat Claudia, beberapa bulan lalu Selena resmi menjadi salah satu sekretaris Narendra Frandika Aldara, direktur utama sekaligus pemilik saham tertinggi di Aldara saat ini.‘Apa Selena akan berada di sana juga?’ Claudia membatin cemas, tidak bisa membayangkan harus bertemu Selena sekarang, saat ia sedang melakukan tugas sebagai seorang pengasuh dan tidak bisa melakukan sesuatu yang bisa menjelekkan nama Raga.“Dari tadi Kakak
Lupakan tentang Phantom yang sering muncul dan menghilang tiba-tiba, karena pemilik orang-orang aneh itu pun sama anehnya. Claudia baru selesai menidurkan Raga dan memasuki kamar yang disiapkan untuknya, sebuah ruangan yang berada di seberang kamar sang tuan muda, tapi saat Claudia masuk, seseorang yang katanya akan pulang larut malah terlihat santai membaca buku di ranjang."Pak Malven? Kenapa di sini?" Claudia sengaja memanggil dengan sebutan 'Pak', khawatir ada Arfa atau Phantom di sekitar. "Katanya ini kamar saya, tapi kenapa Bapak di sini?"Malven menurunkan bukunya, kacamata yang bertengger di hidung mancung pria itu membuat penampilannya semakin menawan."Tidak perlu akting jadi orang sopan begitu, tidak ada siapa pun di sini. Lalu, kenapa aku di sini? Tentu saja jawabannya karena ini kamar pribadiku," ucap Malven sembari memberi isyarat agar Claudia mendekat.Claudia mengernyit, kenapa dia diarahkan ke sini kalau memang ini kamar pribadi Malven? Jangan bilang bukan hanya Arfa,
Malven tidak bisa menahan tawanya, cara Claudia mengatakan hal memalukan seperti itu sungguh sangat menghibur."Aku semakin penasaran, apakah ada teknik tertentu yang bisa kamu perlihatkan untuk membuatku melupakan dunia?" Malven bertanya sembari mengelap sudut matanya yang berair. Claudia merengut. Sejak Malven malah menertawakannya padahal Claudia sudah berusaha menjadi wanita penggoda, mood-nya menurun drastis. Kenapa sih harus tertawa mengejek begitu? Claudia juga tahu jika kata-katanya terdengar memalukan!"Lho, mau kemana?!" Malven menahan Claudia yang berusaha meninggalkan pangkuannya. Wajah cemberut dengan kerutan di kening wanita itu membuat Malven kembali terkekeh pelan. Ini pertama kali selama hidupnya Malven tertawa lepas karena tingkah seseorang. "Tertawa saja terus, aku mau tidur!" Claudia menjawab ketus, semakin kesal karena Malven malah tertawa sambil menyembunyikan wajahnya di cekuk leher Claudia. "Ah, tidak, maafkan aku, hanya saja aku tidak bisa menahannya saat k
Saat Malven mengatakan sudah menghubungi desainer kenalannya, Claudia pikir yang akan dikirim adalah gaun untuknya, tapi kedatangan Tabinta siang ini membuat kening wanita itu mengernyit.Padahal baru lusa kemarin bertemu Tabinta, kenapa wanita itu mau datang jauh-jauh ke tempat ini hanya untuk sebuah gaun? Memangnya pemilik brand fashion sepertinya tidak sibuk mempersiapkan desain untuk musim selanjutnya? "Kamu bisa mengirim anak buahmu ke sini, Binta, kenapa malah datang sendiri?" Claudia tidak bisa menahan diri selain bertanya, menatap Tabinta yang kini sudah duduk di hadapannya.Tabinta tersenyum tipis, "Aku tidak bisa mempercayakan pekerjaan sepenting ini pada orang lain," ucapnya sebelum menyesap teh yang disiapkan, senyumnya mengembang saat rasa pahit dan manis menyentuh lidahnya."Pekerjaan penting?""Iya, membawakan gaun dan melihat sendiri apakah ada yang kurang, jadi aku bisa langsung memperbaikinya." Tabinta meletakkan cangkir tehnya sebelum memberi isyarat pada asistenny
"Wow, bukankah itu sangat sopan?" Malven bersiul pelan saat melihat Claudia akhirnya muncul, sudah siap dengan gaun ungu yang dipilihnya sendiri. Rambut panjang Claudia digelung rapi tanpa ornamen apa pun, bahkan wajahnya juga tanpa make up sama sekali, hanya bibirnya yang terlihat sedikit berkilap karena lip balm. Sederhana, rapi dan sopan, adalah tema yang dipakai Claudia malam ini. Selama ia tidak berpenampilan mencolok dan bersikap sopan sebagai pengasuh Raga, tidak peduli semahal apa gaunnya, orang-orang tidak akan memperhatikan dan Claudia akan melewati pesta dengan aman. "Kakak cantik banget! Kaya tuan putri di buku dongeng!" Raga akhirnya berkomentar dengan suara cerah setelah beberapa saat tertegun menatap Claudia. Dia juga tidak mengerti, tapi penampilan Claudia terlihat sangat lembut dan anggun, persis seperti para putri dan bangsawan yang ada dalam benak Raga. Claudia tersenyum lembut. "Hm, tentu saja, Kakak percaya kamu akan tetap bilang begitu meskipun Kakak pakai baj