"A-ada apa?" Claudia bertanya gugup, mengepalkan tangannya erat-erat saat berusaha agar tidak menyentuh syal dan membuatnya semakin mencurigakan. "Bukan apa-apa, hanya saja ada satu cerita lagi yang ingin kusampaikan." Tabinta tersenyum kecil saat menatap tepat di bola mata Claudia. "Dea benci kelas menyulam, sangat membencinya malah. Aku sering melihat jari-jarinya penuh luka setelah dia les menyulam. Dia juga sangat tidak berbakat dalam hal itu, tapi suatu hari guru menyulamnya bilang akan meluluskannya kalau Dea bisa membuat sebuah syal dalam waktu tiga bulan." Claudia menelan ludah tanpa sadar, berusaha tetap berpikir positif. Tidak mungkin syal yang sedang Claudia gunakan sekarang adalah satu-satunya syal yang pernah Elodia buat, kan? Dari semua kebetulan dan kemungkinan di dunia ini, mana mungkin Claudia akan mengalami salah satunya! "Karena ingin cepat lulus, Dea akhirnya berhasil menyelesaikan rajutannya. Meski tidak sempurna, tapi itu adalah satu-satunya hasil karyanya sel
Pukul empat sore, Claudia dan Raga akhirnya kembali ke kediaman Pranaja dengan membawa banyak barang. Tidak hanya membeli untuk Claudia, tapi juga seluruh pelayan di kediaman. Tidak banyak, hanya tas dan beberapa macam aksesoris untuk setiap orang, namun kebaikan yang dibagikan hari itu membuat perasaan para pekerja dipenuhi syukur dan kebahagiaan. Bersyukur karena bekerja di lingkungan yang nyaman dengan gaji besar, juga sangat beruntung karena memiliki tuan seperti Malven yang tidak banyak menuntut dan mengomentari pekerjaan mereka, lalu keberuntungan itu menjadi lengkap saat tuan muda yang mereka layani mulai memiliki kehidupan di matanya. "Terima kasih karena sudah datang dan menjadi pengasuh tuan muda, Claudia. Aku sudah tiga tahun bekerja di sini, dan sejak nyonya meninggal, tuan muda menjadi anak yang sulit didekati. Dia selalu marah setiap kali tuan Malven pergi bekerja. Tapi akhir-akhir ini, sejak kamu menjadi pengasuhnya, tuan muda menjadi lebih hidup dan bahagia. Aku ya
Malven tidak menjawab apa pun, membiarkan putranya terus bergelut dengan kebimbangan dan tenggelam dalam pikiran. Sejujurnya tadi Malven tidak bercanda. Sepertinya tidak masalah jika Claudia yang menjadi istrinya, menjadi ibu bagi Raga. Tidak perlu cinta, toh Malven dan Elodia juga menikah bukan karena saling mencintai. Malven membantu Elodia menyelamatkan cintanya dan Elodia membantu Malven mendapatkan hak warisnya sebagai kepala keluarga Pranaja.Lalu, tidak seperti Elodia yang sudah dianggapnya sebagai adik sendiri hingga membuatnya tidak bisa menyentuh wanita itu sama sekali, Malven tidak memiliki masalah dengan menyentuh Claudia. Setidaknya pernikahan mereka tidak akan terlalu hambar karena Malven dan Claudia bisa sama-sama mendapatkan kepuasan batin.Tidak hanya itu ... Malven tersenyum tipis saat membayangkan raut wajah seseorang.'Bagaimana ekspresi pria tua itu kalau aku membawa wanita yang berasal dari kalangan biasa? Apa yang akan dia katakan untuk mengutukku, ya?' Malven m
Raga tidak lagi bertanya, karena melihat mata Claudia yang dipenuhi kesedihan membuatnya tidak nyaman. "Aku nggak terlalu ngerti, tapi aku bisa jamin Papa nggak akan begitu." Raga kembali memeluk Claudia, tangan kecilnya menepuk-nepuk pelan punggung sang pengasuh, mencoba menghibur dan mengurangi sedikit kesedihannya. Claudia sedikit mengernyit saat Raga mengatakan Malven tidak akan melakukan pengkhianatan dan menyakitinya, meski mungkin anak itu sendiri tidak paham dengan yang Claudia katakan, tapi mendengarnya bicara seperti itu seolah memberikan izin pada Claudia dan Malven untuk memiliki hubungan. Mana mungkin! Claudia menghela napas, tidak menyukai bagaimana kepalanya langsung berpikir sejauh itu. Raga masih anak-anak, ada banyak hal yang tidak dia mengerti, tapi untuk urusan memiliki ibu tiri, Raga pasti sering mendengarnya, jadi wajar baginya untuk menolak dan tidak suka dengan ide Malven menikah lagi. Lagipula, Elodia baru saja pergi setahun lalu. "Nah, karena Raga mengha
"Mengerti apa?" Malven menaikkan satu alis saat mendengar gumaman Claudia. "Bukan apa-apa."Jawaban yang terkesan dingin itu membuat Malven semakin mengernyit, memang sih Claudia yang biasanya juga dingin dan agak ketus, tapi rasanya yang kali ini berbeda? Malven menghela napas pelan, mungkin wanita di pelukannya ini sedang sangat lelah setelah seharian mengikuti Raga mengelilingi pusat perbelanjaan. "Jadi, bagaimana?" Pertanyaan Malven membuat Claudia yang hampir memejamkan mata kembali mengerjap, menatap Malven dengan dahi berkerut, bertanya dalam diam. Ia tidak tahu harus menjawab pertanyaan 'bagaimana' yang Malven lontarkan seperti apa."Bukankah kamu bertemu Tabinta?" Malven kembali menatap mata coklat jernih wanita di hadapannya. "Dia meneleponku siang tadi, katanya tidak sengaja mengatakan tentang kami padamu. Tidakkah kamu penasaran dan ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi?"Ah ... padahal Claudia berusaha melupakannya. Tidak ada keuntungan yang bisa ia dapatkan dari men
“Darimana saja kamu?”Pertanyaan yang dilayangkan itu sarat akan kemarahan. Pria yang sedang melepas sepatu, melempar asal sepatu itu begitu saja, menambah murka wanita yang menyambutnya.“Deon! Aku tanya, kamu dari mana?! Aku telpon kantor, katanya kamu sudah pulang sejak sore tadi, kemarin-kemarin pun ternyata begitu! Kupikir kamu lembur, nyatanya malah entah kemana!” Wanita bersurai panjang itu mengikuti langkah pria yang baru dua minggu ini menjadi suaminya. Pria itu, Deon, tidak menanggapi sama sekali, hanya berjalan lurus menuju kamarnya. Tapi, langkah Deon terhenti saat Selena tiba-tiba menghadang di depan pintu.“Kenapa tidak jawab? Aku sedang bertanya, Deon, istrimu sedang bertanya! Kamu kemana, keluyuran setiap hari, pulang hampir subuh tanpa kabar, kamu tidak memikirkan aku? Bagaimana jika aku membutuhkanmu?!”“Persetan, Selena!” Deon berteriak, tangannya mengepal saat kemarahan menguasainya. “Kamu tanya aku dari mana? Aku mencari kekasihku, wanita yang kucintai, yang hila
“Membaca buku?” Malven menaikkan satu alisnya mendengar perkataan Raga yang ingin bermain di perpustakaan hari ini. Bisa dibilang ini pertama kali Raga ingin di rumah saja saat Malven memiliki waktu untuknya.“Iya, Kak Cla jago banget bacain buku, lho! Papa belum pernah denger Kak Cla baca dongeng, kan?” Raga mengangguk semangat, meyakinkan ayahnya jika menghabiskan waktu bersama di perpustakaan itu menyenangkan.Malven mendengus saat melihat Claudia mengernyit, jelas sekali wanita itu tidak mau membacakan buku untuk Malven, apalagi dongeng. “Baiklah, kalau kamu maunya begitu. Tapi, kalau Papa membawa pekerjaan ke perpustakaan bagaimana? Kamu bisa membaca buku bersama Claudia, dan Papa akan mengerjakan sesuatu sambil memperhatikan kalian. Tidak apa-apa, kan?”“Iya, boleh, kok!” Raga menjawab cepat, bahkan tanpa berpikir dua kali. Malven yang sebenarnya hanya iseng bertanya, sedikit terkejut saat putranya menyetujui dengan mudah. Entahlah … rasanya seolah Raga tidak lagi membutuhkanny
“Ap-apa?” Claudia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya mendengar pertanyaan Malven. Kenapa tiba-tiba membicarakan Selena?“Kamu yang memberitahuku semalam, kalau kamu hanya memiliki satu sepupu yang seusia denganmu. Selena yang cantik dan baik,” ucap Malven lagi, mengulang kata-kata Claudia semalam.Claudia tersentak. Sepertinya karena terlalu mengantuk, ia tanpa sadar mengungkapkan isi hatinya tentang Selena. Benar, Selena yang Claudia kenal adalah orang yang baik dan cantik, caranya tersenyum dan tertawa sangat menawan. Bahkan ketika Claudia menangis karena ditinggal ayahnya ke luar kota, Selena akan menghiburnya, memegang tangannya dan menemani Claudia hingga ia merasa lebih tenang.Tapi, kemana gadis cantik dan baik itu pergi? Kemana Selena yang selalu Claudia banggakan?“Aku sudah menceritakan tentangku dan Dea, bukankah tidak adil kalau hanya kamu yang mengetahui salah satu cerita di masalaluku? Aku bahkan bercerita tentang orang tuaku.” Malven menaikkan satu alis saat meli