Share

3. Keluar Dari Pekerjaan.

Aera usai mengerjakan tugasnya. Saatnya dia pulang ke rumah. Keduanya adalah bagian dari rutinitas Aera. Dia berlari kecil menerobos salju. Sesampainya Aera di rumah, terlibat Nyonya Seo yang tengah memasak di dapur. Sesekali, dia memegangi dadanya.

"Ibu sedang apa? Kenapa Ibu bangun? Ayo, Ibu harus beristirahat. Jangan memaksakan diri. Ibu masih sakit," ucap Aera membantu Nyonya Seo untuk kembali ke kamarnya.

"Aera, Ibu tidak apa-apa. Kamu jangan bersikap berlebihan seperti ini," tolak Nyonya Seo.

"Tapi, Ibu--"

"Kamu mandi, lalu makan. Ibu memasak makanan kesukaanmu," kata Nyonya Seo.

Dengan berat hati, Aera mengikuti kata Nyonya Seo. Ibunya yang keras kepala membuatnya memilih ke kamarnya dan berganti pakaian dengan pakaian sehari-hari.

"Aera, cepatlah! Jika dingin, rasanya tidak akan enak lagi!" seru Nyonya Seo sambil berusaha menyembunyikan rasa sesak di dadanya yang tiba-tiba terasa semakin menjadi.

"Baiklah, Ibu. Aku akan turun," sahut Aera dari dalam kamar.

Tidak membutuhkan waktu lama, Aera sudah kembali ke ruang makan. Melihat ibunya menyiapkan makan malam untuknya, membuat dia bahagia sekaligus sedih. Bagaimana tidak, kondisi ibunya semakin hari semakin lemah meskipun sudah dioperasi. Namun, tubuh sang ibu yang kembali melemah itu yang membuatnya sedih.

"Aera. Ibu mau bicara sesuatu padamu,"

" Katakan, Ibu. Ada apa?"

"Apa kamu baik-baik saja?"

Aera mengerutkan dahinya. Pertanyaan Nyonya Seo membuatnya berpikir keras, apa maksud pertanyaan ibunya. "Kenapa Ibu bertanya begitu? Aku baik-baik saja. Ibu tidak perlu memikirkan apa pun. Saat ini, yang Ibu pikirkan adalah kesehatan Ibu. Jangan banyak berpikir yang tidak-tidak," sahut Aera seraya mengantar Nyonya Seo ke kamar, kemudian memberikan obat yang biasa diminumnya.

"Ibu, tidurlah, Aera akan menjaga Ibu di sini," kata Aera. Tidak ingin meninggalkan wanita yang telah melahirkannya, dia memilih menemani Nyonya Seo di dalam kamar. Akhirnya, mereka tertidur saling berpelukan.

Aera terbangun. Dia mendapati sang ibu tidak ada di sampingnya. Bergegas dia mencari sang ibu. Ternyata, ibunya ke kamarnya, Aera menyiapkan sarapan untuk sang ibu. Melihat kondisi ibunya yang menurun dan susah makan, Aera memutuskan untuk membuat bubur, lantas mengantarkannya ke kamar di mana Nyonya Seo berbaring.

"Ibu, bangunlah! Waktunya sarapan." Aera memperhatikan sang ibu yang tertidur lelap, tidak seperti biasanya.

Kali ini, sang ibu tidak langsung bangun, membuat Aera khawatir. Dia pun menggoyang tubuh ibunya, tapi tak kunjung terbangun. Kecemasan semakin melanda. "Ibu, bangun!" Lagi-lagi dia menggoyang-goyangkan badan sang ibu. Saat tak sengaja menyentuh tangan sang ibu yang telah dingin, dia pun berteriak histeris.

"Ibu, bangun! Ibu, bangunlah! Hiks … hiks. …. Ibuuu .... Kenapa Ibu tega meninggalkan Aera sendiri?"

Mendengar teriakan Aera, para tetangga berdatangan.

Aera, biarkan ibumu pergi dengan tenang. Jangan menangis, Aera," kata salah satu tetangga.

Beberapa orang mengurus jenazah Nyonya Seo. Hari itu juga, Nyonya Seo dimakamkan. Aera melihat jenazah sang ibu untuk terakhir kali dengan air mata mengalir. Perlahan peti jenazah dimasukkan ke dalam tanah. Usai pemakaman, para pelayat pergi satu demi satu. Tinggal Aera sendiri. Air matanya tiada henti mengalir. Langit yang seakan mengerti kesedihan Aera, ikut menumpahkan airnya. Aera memeluk makam sang ibu. Setelah puas menangis, dia bangun, kemudian beranjak dari gundukan tanah. Dia memilih untuk kembali ke rumah. Tidak membutuhkan waktu lama Aera telah sampai di rumah, Aera memasuki kamar sang ibu. Dia membaringkan tubuhnya di sana. Tubuh dan hatinya terasa hangat. Tidak berapa lama, ia tertidur dengan lelapnya.

Ketukan suara pintu membangunkan Aera dari tidurnya.

Tok … tok … tok."

"Aera, maafkan aku." Jean memeluk tubuh Aera.

Mata sembap Aera yang terlihat jelas membuat Jean dan Ga Eun merasakan kesedihan yang dirasakan oleh sahabat mereka.

"Jean …. Ga Eun …, aku sudah baikan. Duduklah."

"Aera, maafkan aku. Aku baru bisa berkunjung. Kemarin, banyak pekerjaan dan kamu tahu sendiri kalau Pemilik Restoran tidak akan mengizinkan kita pulang lebih awal, apa pun alasannya. Dan, aku tidak bisa meminta izin pada Atasan di tempat kerjaku yang baru. Aera, maafkan aku." Jean menyesal karena tidak ada di samping sahabatnya saat sang sahabat mengalami kesedihan dan membutuhkan dirinya.

"Aku tahu, Jean. Terima kasih sudah mau datang."

"Aera, aku membawa sarapan untukmu. Aku yakin kamu pasti belum makan." Ga Eun membuka tiga bungkus bubur untuk mereka makan bersama.

"Terima kasih, Ga Eun …. Jean …, tapi aku belum lapar. Kamu letakan saja di atas meja," pinta Aera.

Penolakan Aera membuat kedua sahabatnya saling pandang.

"Tidak. Aku yang akan menyuapi mu. Sekarang, buka mulutmu."

Aera terpaksa menuruti Jean. Bubur yang dibawa Ga Eun habis juga.

"Aera, aku pergi dulu. Sepulang kerja, aku akan mampir lagi."

"Jean, katakan pada Pak Manajer jika aku tidak masuk hari ini."

"Tentu, Aera. Jaga dirimu baik-baik."

"Hmmm ...."

Setelah kepergian Jean dan Ga Eun, Aera memasuki kamar sang ibu. Dilihatnya foto sang ibu yang seolah tersenyum padanya. Aera mengambil baju sang ibu dari lemari. Tanpa sengaja dia melihat ada kotak berwarna cokelat. Rasa penasaran Aera pada kotak itu membuatnya cepat membuka. Adapun isinya sebuah surat, buku tabungan, serta beberapa lembar uang. Aera membaca surat tulisan tangan sang ibu

"Aera Sayang …, maafkan Ibu. Selama ini, Ibu sudah banyak membohongimu. Ibu juga sudah bersikap egois. Aera, setelah kamu membaca surat Ibu, Ibu mohon kamu maafkan semua kesalahan Ibu. Aera, sebenarnya anakmu masih hidup. Dia sangat tampan seperti ayahnya. Mata dan bibirnya sama sepertimu."

Aera mengamati kalimat yang tiba-tiba menusuk hatinya, bagaikan belati yang tajam menghunus dada.

'Anakku masih hidup dan Ibu mengetahui semuanya?'

Air mata Aera tidak terbendung lagi. Dia tak henti bertanya mengapa ibunya setega ini. Aera melanjutkan membaca surat ibunya.

"Aera sayang … Ibu tahu setelah membaca surat ini, kamu membenci Ibu. Tidak apa-apa, ini semua memang kesalahan ibu. Aera, pergilah ke kota. Carilah putramu. Dia tinggal bersama Tuan Muda Hyun, ayah kandungnya. Ada beberapa lembar uang pemberianmu yang Ibu simpan untuk kamu sebagai bekal mencari anakmu. Dan, ada sedikit tabungan pemberian Tuan Besar Hyun untukmu. Ibu tidak memakainya karena Ibu tahu hari ini akan terjadi. Aera Sayang, sekali lagi maafkan ibumu ini. Ibu sudah sangat jahat padamu. Dari ibumu, Seo Jung Jun."

Usai membaca surat dari ibunya, Aera tak lagi menahan gejolak perasaannya. Kecewa dan bahagia kini telah bercampur. Bahagia kerena putranya masih hidup, tetapi kecewa karena ibunya membohonginya selama ini.

"Aaaaggghhh ..." Aera berteriak sekencang-kencangnya "Ibu kenapa setega ini padaku?! Aku berpikir jika anakku benar-benar meninggal. Ternyata, Ibu lakukan itu agar aku tidak mencegah Ibu memberikan bayiku pada Tuan Besar Hyun." Setelah puas menangis, Aera merapikan surat dan uang yang sudah Nyonya Seo persiapkan untuknya. Dia berniat pergi ke kota untuk mencari rumah Tuan Hyun.

Usai Aera membersihkan tubuhnya, dia bergegas mengambil tas dan pergi ke restoran. Dia berniat mengundurkan diri.

"Aera kau ke sini. Ada apa? Bukankah kau cuti hari ini?"

"Manajer Han, maaf … kedatangan saya ke mari untuk memberikan surat ini."

"Surat pengunduran diri?"

"Kenapa kamu mau berhenti dari sini, Aera?"

"Maaf, Tuan. Saya hanya ingin mengundurkan diri hari ini juga."

"Apa alasannya?"

"Tidak ada. Maaf, Tuan. Anda tidak bisa mencegah saya ke luar dari sini."

"Baiklah, saya setujui pengunduran dirimu."

Aera bernapas lega setelah pengunduran dirinya disetujui oleh Manajer Han.

"Putraku, tunggu Ibu," batin Aera sambil bersiap pergi dari sana. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status