Share

9

"Sialan!"  Anak lelaki bertubuh kurus dengan rambut coklat terang itu berlari dengan cepat menyusuri hutan lebat. Tangannya tergenggam sebuah kertas yang kini sudah ter-remas kasar. Jauh dibelakang, terdengar puluhan pasang derap kaki yang mengejarnya. 

"Kejar! Kejar!" 

Lelaki bertubuh kurus itu mempercepat mempercepat langkah kakinya, sembari berdoa agar ia bisa sampai di perbatasan Kota Tajara dengan selamat dan terbebas dari kejaran kelompok lelaki itu.

Kerisauan dihatinya mulai menghilang ketika melihat sebuah tembok pertahanan yang menjadi perbatasan antara hutan lebat dengan Kecamatan Empat, Pintu Surga. Dengan cepat ia menghentakkan kedua kalinya ke tanah, sedetik kemudian sebuah sayap kecil keluar dari sepatu yang ia kenakan, membuat dirinya mulai melayang di udara. Tawa kebahagiaan mulai terdengar. Dari posisinya, ia dapat melihat sekelompok orang berpakaian seperti pemburu yang tadi mengejarnya tengah menggeram kesal. Lelaki itu menjulurkan lidahnya, meledek mereka, tangan kanannya yang menggenggam sebuah kertas digoyangkan ke udara, ia tertawa senang. 

"WIL.LI.AM." Ketua pemburu itu menggeram kesal, pandangannya tak terlepas dari William yang sudah terbang melewati tembok tinggi. 

"Ketua, bagaimana ini?" 

Ketua pemburu itu terdiam sebelum pada akhirnya ia menghela nafas berat, "Kita kembali." Ketua pemburu itu berbalik, melangkah pergi. 

"Ini.." Para bawahannya tampak kurang setuju dengan keputusan Sang Ketua. Namun, perintah ketua adalah mutlak dan tak bisa diganggu gugat. Dengan langkah lemas, mereka berjalan mengikuti Sang Ketua untuk kembali ke markas mereka. 

Di sisi lain, William yang awalnya mengira masalahnya sudah selesai setelah berhasil kabur dari kejaran para pemburu itu, kini menghadapi masalah lain. Alarm keamanan Kecamatan Empat, Pintu Surga, berbunyi keras karena ia melewati tembok pembatas secara ilegal. Dihadapannya kini terdapat puluhan pasukan khusus dengan senjata yang mengarah ke arahnya. 

William terkekeh pelan, kemudian berputar cepat. Tanpa mereka ketahui, William telah menyisipkan kertas tersebut ke kantong belakang celananya. Ia mengangkat kedua tangannya,"Ya Ampun, aku tidak menyangka keamanan di kawasan para pemuja makhluk tak kasat mata ini begitu ketat!" Nadanya terkesan mengejek dengan gaya yang tampak gemulai. 

"Jangan bergerak!" Ketua Pasukan Khusus memperingati. 

William tersenyum lebar, "Baiklah. Aku tak akan bergerak. Tapi, bagaimana kalian akan membawaku jika aku tidak boleh....! Hei! Apa yang kalian lakukan! Lepaskan!" 

William meronta-ronta disaat dua orang Personil Pasukan Khusus membawanya pergi dengan mengangkat tubuhnya. Kakinya kini sepenuhnya melayang dari atas permukaaan. 

"Hei! Apa yang kau lakukan! Hei!" William memberontak dengan sekuat tenaga ketika sepatu mahal yang baru saja ia dapatkan dengan susah payah dari pasar gelap dicoba dirampas oleh salah seorang prajurit. Namun semua usahanya sia-sia, sepatu itu berhasil berada di genggaman para Pasukan Khusus.

Ketua Pasukan Khusus, "William Gama, kami sudah meningkatkan keamanan kami berkat dirimu yang sering menyelinap masuk. Jadi, jangan harap kau bisa terbebas dengan mudah hari ini." 

William memutarkan matanya malas, ia memutuskan berhenti memberontak dan menikmati saat-saat dirinya diangkat oleh kedua orang disampingnya. Toh, tak ada salahnya juga untuk menyimpan tenaga, siapa tahu beberapa saat lagi para Pasukan Khusus ini akan membuat celah sehingga ia bisa kabur. 

"Astaga. Kalau begitu bukankah seharusnya kau mengucapkan kata 'terimakasih' kepadaku, Tuan Oberon?" 

Mereka menuruni tangga tembok pertahanan yang terbuat dari batu. 

"Tuan Oberon, aku sedang berbicara kepadamu." 

"Tuan Oberon."

"Tuan Oberon..." 

"Tuan Oberon?"

"Beronku sayang..." 

Langkah para Pasukan Khusus terhenti ketika Oberon yang berjalan di posisi depan menghentikan langkahnya. Suasana mendadak mencekam. 

William yang merasa situasi mulai berubah terkekeh kecil, "Aku bergurau. Kalian tidak tahu apa definisi dari bergurau?" 

"..."

"Apakah tidak ada mata pelajaran bergurau di Akademi tempat kalian bersekolah? Tunggu, aku lupa namanya. Hm... Oh ya! Akademi Pemimpin! Aku lumayan tidak bisa melupakannya karena namanya sangat menggelikan, kau tahu. Aku selalu bertanya-tanya mengapa akademi nomor satu di Kota Tajara dinamai senorak itu."  

"..."

"Kalian sungguh hanya akan diam sampai matahari terbenam?" 

Oberon, "Lempar dia." 

"Hah?" William tampak bingung, ia masih belum menyadari bahwa nyawanya sedang berada di ujung tanduk sampai ia dibuat bergelantungan dari atas tembok kota oleh para Pasukan Khusus. 

"Hei! Apa yang kalian lakukan! Hei! Angkat aku! Heiii!" Kedua tangan William kini memegang erat tangan dari dua orang pasukan khusus yang bisa melepaskan genggamannya kapanpun mereka diperintahkan.

"AKU BARU BERUMUR 12 TAHUN YANG ARTINYA AKU MASIH DILUNDUNGI OLEH HUKUM KOTA TAJARA! LIHAT SAJA JIKA KAU BERANI...HUAAA!" William berteriak histeris ketika salah seorang Anggota Pasukan Khusus melonggarkan genggamannya. 

"Apa yang kau mau? Dasar kau Oberon bangsat!" William mulai merengek. 

Oberon, "Aku sudah bilang bahwa kau tak akan terlepas dengan mudah, bukan?" 

"BAPAKMU! Jadi kau mau membunuhku? Hah! Lihat saja, aku akan menjadi hantu yang mengentayangimu jika aku mati!" 

"Kau mendapatkan peta rahasia dari pasar gelap, bukan?" 

William terdiam. Seingatnya, tidak pernah ada orang yang ia beritahu mengenai hal itu. Bagaimana bisa seorang anggota Pasukan Khusus mengetahuinya? Dan juga, Oberon mengatakan hal ini dengan lantang di hadapan para pasukannya, yang berarti hal ini sudah sampai ke telinga Para Jenderal.

"Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan." 

Oberon tersenyum tipis, "Kau tahu Acara Pemberian Bakat yang akan diadakan besok bukan?" 

"Sudah kubilang aku tidak tahu apa-apa!" 

Oberon kembali melanjutkan, "Acara pemberian bakat seharusnya berlangsung selama sepuluh hari. Namun, para pimpinan tengah suntuk dan bosan. Mereka ingin kau membuat Acara itu menjadi lebih lama dan menyenangkan." 

William menggeram. Walaupun dirinya licik seperti rubah, ia tak akan pernah melakukan hal yang membahayakan nyawa orang lain. "Cucu maupun cicit para pemimpin tua bangka itu juga mengikuti Acara Pemberian bakat. Kau ingin aku membuatnya 'semenarik' apa hah?"

Oberon tersenyum tipis, "Kau tahu?Jika kalangan kelas bawah memiliki konflik karena kekurangan uang, kalangan kelas atas memiliki konflik karena kelebihan uang. Sekarang, mereka bisa dengan mudah membeli anak-anak dari pasar gelap untuk dijadikan penerus jika mereka merasa keturunan mereka tidaklah becus dan pantas untuk memimpin. Jadi William Gama, apakah kau bersedia untuk menerima kesempatan ini atau mati sebagai persembahan untuk para dewi?" 

Rahang William mengeras. Pilihannya hanyalah menjadi boneka atau mati. Jelas saja ia tidak ingin mati. Umurnya baru menginjak usia 12 tahun, tidak akan lucu jika ia mati di usia 12 tahun karena menolak berbuat licik padahal ia selalu berbuat licik selama hidupnya.

"Aku terima. Dengan sebuah syarat."

"Kau pikir dengan posisimu saat ini, kau pantas membuat sebuah syarat?" 

"Berikan aku sebuah rumah mewah di masing-masing kecamatan besar, sebuah kartu rekening tanpa batas pemakaian dengan saldo yang tak pernah habis, dan aku ingin mobil mewah keluaran terbaru. Tentunya semua itu atas namaku." William mengucapkan semua persyaratannya tanpa mendegarkan perkataan Oberon. 

Oberon terdiam sesaat sebelum pada akhirnya ia tampam berbincang dengan seseorang. William menebak Oberon mengunakan alat telekomunikasi jarak jauh yang terpasang di telinganya untuk berbincang dengan seseorang bahkan kelompok. Selesai berbincang, Oberan segera mengangguk kecil kepada para pasukannya. 

Dua orang Pasukan yang sedari tadi menggengam tangan William segera menariknya ke atas. 

William menghela nafas lega. Akhirnya kakinya bisa kembali menapak tanah. Sekarang, ia tengah memikirkan cara untuk kabur dari Pasukan Oberon yang ternyata diletakkan lebih banyak dari dugaannya. 

Oberon, "Para pemimpin sudah menyetujuinya. Kontrak akan diberikan saat kau tiba di Hotel Menara Kota." 

"Bagaimana jika aku mengingkari janji?" 

"Kau tidak akan bisa."

"Mengapa? Apa kalian akan membunuhku atau apa?" 

Bukannya sebuah jawaban, William malah mendapat sebuah tatapan tajam dari Oberon. William mengartikannya sebagai 'Kau jelas tahu kami tidak akan segan untuk membunuhmu'.

William tersenyum kecut. Ini pertama kalinya ia dipaksa sampai tidak bisa untuk melawan oleh seseorang. William bertanya dengan nada tidak semangat, "Jadi kapan aku akan pergi?" 

"Sesampainya kita dibawah, akan ada mobil yang menjemputmu." 

"Ou." 

Oberon dan pasukan kembali melanjutkan langkahnya. Berbeda dengan William yang masih terdiam. 

Oberon berhenti ketika menyadari William yang masih tidak bergerak sedikitpun dari tempatnya, diikuti para pasukannya. Oberon berbalik, "Apa yang kau rencanakan?" 

William menampilkan raut sedih, "Ada terlalu banyak tangga yang harus aku turuni." Ia merengek. 

"Jadi?" 

William mengangkat kedua tangannya, ia memanyunkan bibirnya, "Gendong." 

Tbc...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status