"Ma-Mas Rudi, apa yang sedang kamu lakukan di sini?" tanya Icha terbata-bata, sementara di sampingnya terlihat Mas Ardi sedang menunduk dalam sambil berusaha merapikan bajunya yang sedikit berantakan.
Beberapa hari yang lalu, aku memang menangis, tetapi tidak untuk sekarang. Aku bahagia, karena dapat terlepas dari seorang laki-laki bejad bernama Ardi.
Tanpa memperdulikan tatapan orang-orang yang ada di sekitar. Kuhampiri Icha dan menarik dagunya dengan cukup kasar, hingga wanita itu meringis kesakitan.
Plak ...
Satu tamparan berhasil mendarat dengan mulus di pipi sebelah kanannya. "Itu untuk pengkhianatan yang telah kamu lakukan padaku, Icha." Hingga tamparan yang kedua kembali terdengar. "Dan itu untuk balasan yang telah kamu lakukan padaku tempo hari," geramku dengan nada tinggi.
Dari sudut mataku, terlihat Mas Ardi hendak menghampiri. Tapi, dengan sigap aku segera menghentikan
"A-ayah, apa yang sedang kau lakukan di sini?" tanyaku pada seorang pria paruh baya bertubuh tegap dengan kaca mata hitam yang menghiasi wajahnya. Sengaja tubuhnya bersandar pada mobil yang terparkir di depan rumah Sandi.Pria yang kupanggil ayah itu menoleh ke arahku dan Sandi, sebelum akhirnya menurunkan kacamata, hingga akhirnya manik mata kami saling bertemu satu sama lain."Bukannya Ayah sudah bilang, akan menemuimu hari ini," jawabnya dengan nada santai, tapi terkesan dingin."Kalian habis dari mana?" tambahnya."Kami ... dari luar," jawab Sandi dengan entengnya.Tanpa sepatah kata apapun Ayah langsung berbalik dan melangkah menuju sebuah kursi kayu berada di samping rumah. Ditariknya kursi tersebut ke belakang, sebelum akhirnya duduk di atasnya.Setelah menyuruh Sandi untuk menemani Ayah, aku langsung berlari kecil menuju dapur untuk mengambil minuman.
"Rena, tolong jangan ceraikan aku," lirih Ardi, lalu pandangannya beralih pada Ayah ketika aku tidak meresponnya. "Ayah, saya minta maaf, in--""Pergi!" murka Ayah dengan mata melotot, jari tangannya menunjuk Ardi. Terlihat pula urat dahinya yang sedikit menegang.Selama aku hidup, tidak pernah melihat ayah semurka ini. Biasanya dia hanya menegur. Tetapi, permasalah ini memang cukup besar, pantas saja beliau memperlihatkan sisi lainnya."Ayah, maafkan kesalahan saya. Saya menyesal.""Pergi! Kamu tidak ada hubungannya lagi dengan keluarga kami.""Say--"Diluar dugaan, tiba-tiba suara seorang wanita langsung menghentikan ucapan Ardi. Terlihat Ardi sedikit terbelalak saat melihat kedatangan Icha dari dalam mobilnya.Ah, aku bahkan baru menyadari jika mobilnya terparkir di hadapan mobil Ayah. Tapi, tunggu! Itu bukan mobil Ardi, melainka
Dari kejauhan kulihat Icha keluar dari mobil dengan keadaan tidak karuan. Baju dan wajahnya basah, sehingga riasan yang dia kenakan sedikit berantakan, begitupun juga dengan rambutnya.Gundiknya Ardi benar-benar sangat cantik, bahkan mengalahkan kecantikan artis yang sering aku lihat dalam drama."Cepat, pergi! Kenapa masih berdiri di sana?" teriakku tidak sabar menyaksikan keduanya tersiksa.Icha mendelik sambil bertolak pinggang. Sementara di sisi lain Ardi juga keluar dengan menenteng sebuah tas berwarna pink. Laki-laki itu mau saja dijadikan babu oleh Icha. Maklum saja, cinta sudah membutakan segalanya."Mas! Kita pulang naik apa?" keluhnya dengan bibir tertarik kebawah, kakinya terus saja menghentak tanah."Taksi, apa susahnya," jawab Ardi dengan santai."Pake duit kamu!""Duit aku? Gak ada, semuanya udah dikasih ke kamu Icha.
Sudah satu Minggu semenjak kejadian Ardi dan Icha berada di rumahku dan selama itu pula Ardi terus menghubungiku.Aku tidak mengerti dengan jalan pikiran laki-laki itu, lagipula untuk apa terus mengusik. Dia pikir, aku akan memaafkannya, tentu saja tidak!Biarkan saja laki-laki pengkhianat bersatu dengan perempuan gatal, bukannya itu adalah perpaduan yang cukup bagus. Mereka pasti bahagia, ketika mendapatkan pasangan hasil curian.Ketika sedang asyik membaca majalah, tiba-tiba gawai yang berada di atas meja bergetar. Kuhembuskan napas kasar, ketika melihat nama Ardi terpampang di layar."Ada apa?" tanyaku tanpa basa-basi."Rena! Apa maksudmu? Untuk apa surat perceraian ini kamu kirimkan padaku?"Ujung bibir sedikit terangkat dan tanpa sadar mataku ikut berbinar ketika mendengar ucapan Ardi. Akhirnya surat itu sampai juga ke tangannya. 
"Pergi!" teriakku dengan intonasi tinggi sambil menunjuk ke arah jalan.Bukannya pergi, wanita berbaju merah maroon dengan sanggul yang menghiasi kepalanya dan beberapa pernak-pernik yang tidak terhitung jumlahnya segera mendekat dan menatapku dengan tajam.Terlihat jelas raut tidak suka tergambar di wajahnya yang lumayan terlihat muda diumurnya yang sekarang. Karena terawat dengan baik. Padahal, jika Ardi tidak bekerja di perusahaanku. Aku yakin, wajahnya tidak akan semulus itu.Dia adalah Marni, perempuan yang seharusnya aku panggil ibu mertua itu mendelik sambil menyeringgai. Wajahnya benar-benar sangat angkuh, aku tidak suka akan hal itu."Baik, kita semua akan pergi. Tetapi, dengan satu hal.""Apa?" tanyaku sewot, karena memang tidak ingin melihat segerombolan orang ini berada di depan rumahku. Cukup menganggu pemandangan."Jangan cerai
Tidak terasa, proses perceraianku dengan Ardi sudah selesai. Mulai sekarang, aku tidak peduli lagi dengan apa yang akan dia lakukan. Kini kami sudah resmi berpisah dan tidak memiliki hubungan apapun lagi.Semoga saja, sesudah ini mereka tidak akan mengangguku lagi seperti beberapa saat yang lalu."Selamat, akhirnya Mbak resmi bercerai juga," ucap Sandi sambil menoleh ke arahku.Sudut bibirku sedikit terangkat dengan tatapan lurus ke depan. "Terima kasih, aku merasa sangat bahagia sekarang."Baru saja hendak masuk ke mobil, tiba-tiba seseorang menarik rambutku dengan cukup kasar. Sandi yang kaget, langsung keluar dan berlari ke arahku."Lepaskan! Apa yang Ibu lakukan.""Diam, kamu!" sentak Marni sambil kembali menarik rambut lebih kasar. "Puas kamu, hah! Sudah menceraikan Ardi dan menikmati semuanya sendiri."Dengan sedikit ter
Setelah mengobrol dengan Sandi dan ayah, akhirnya kuputuskan untuk kembali ke rumahku yang dulu. Untung saja Wati dan Ijah masih bekerja di sana, sehingga aku tidak terlalu kesepian.Kutatap seisi rumah yang terasa sangat berbeda. Dahulu banyak sekali bingkai yang berisi foto pernikahanku dan Ardi, juga beberapa barang-barang kesayangan kami.Sengaja aku menyuruh Wati dan Ijah membereskannya sebelum aku sampai di sini. Tentu saja alasannya karena aku terlalu muak dan malas melihat wajahnya yang keliatan so manis."Ijah, kamu simpan semuanya di gudang, 'kan?"Ijah yang sedang membersikan lemari menggunakan kemoceng segera menghampiriku."Iya, Nyonya sesuai perintah dan yang lainnya juga sudah saya bakar.""Bagus, lanjutkan saja. Jangan sampai ada yang tersisa."Membayangkan Ardi membawa Icha ke rumah benar-benar sangat menjijikan. Pa
"Mbak kenapa tidak memberitahuku dulu?" tanya Sandi, kemudian menyimpan segelas kopi hitam di hadapanku.Kutatap Sandi sekilas, wajahnya terlihat lesu, lingkaran hitam menghiasi mata bagian bawahnya. Entah apa yang laki-laki itu lakukan, hingga penampilannya menjadi seperti itu.Tangan kananku segera meraih kopi yang masih mengepul dan menyesapnya. Saat menyentuh lidah, ada sedikit rasa pahit, tapi aku sangat menyukainya hingga hanya tersisa setengahnya.Kopi ini sama halnya seperti kehidupan yang tidak selalu berjalan dengan manis, pasti ada kalanya cobaan yang menjadikannya begitu pahit untuk ditelan mentah-mentah."Mbak, menikmatinya?"Mataku yang awalnya sempat tertutup langsung terbuka dan pada saat itu pula pandangan kami saling bertemu. Sandi sedikit menyipit, seperti sedang mengamati sesuatu."Ada apa?" tanyaku, lalu menyimpang gelas tanpa