Share

Bab 6 - Rahasia Yang Tidak Diketahui

“Lalu, bagaimana Anda akan menjelaskan tentang keris Sang Bima kepada kami?” tanya Prayoga.

“Saya akan tanyakan dulu pada Anda, apa yang sudah Anda ketahui tentang keris Sang Bima?” Eyang Angkasa balik bertanya dengan senyum penuh makna dan mata yang tajam meneliti. 

“Sejauh yang saya sudah saya pelajari sejauh ini, Sang Bima adalah julukan dari keris kebesaran Sultan Bima, Eyang,” jawab Prayoga.

“Julukan untuk Samparaja. Benar, kan, Eyang?” tanya Raffi. “Saya pernah datang ke Museum ASI Mbojo Bima dan menengok isi pertunjukan dari ruang Tatarapang, ketika saya baru menjabat menjadi Menparekraf.”

“Pak Raffi benar. Sejak diangkatnya Raja Bima menjadi Sultan, Samparaja atau sampari Raja lebih dikenal dengan julukan keris Sang Bima. Kerisnya pun beda, keris Sang Bima dibuat baru pada zaman Sultan Bima Pertama, beserta Jena Teke baru untuk Pangeran Mahkota yang juga menjadi Muslim.”

“Keduanya dipakai dalam memerangi penjajah negeri yaitu Belanda, begitu bukan, Eyang Angkasa?” tanya Prayoga.

“Persis. Perjuangan para Sultan Bima menumpas penjajah Belanda ini menjadikan Samparaja sebagai keris sakti mandraguna. Tapi, ada yang lebih prominen mengenai kesaktiannya, Pak Prayoga.”

“Apa itu?” Kini Raffi yang bertanya.

“Keris Sang Bima adalah penjaga darah biru Rasulullah...”

“Mashaa Allah…,” ucap Raffi kemudian. Ia yang memiliki darah Rasulullah, tak hanya dari pihak ibunya yang berasal dari bangsawan Bima, tapi juga ayahnya yang berasal dari bangsawa Jogja, merasa tersanjung mendengarnya.

“Setiap Sultan yang diwarisi keris Sang Bima telah mengalami begitu banyak pertempuran dalam mempertahankan saudara seiman mereka. Darah biru itu tidak hanya dimiliki oleh para bangsawan yang menitis dalam tubuh mereka darah Rasulullah, tapi juga dimiliki oleh umat setia Rasulullah yaitu yang menjalankan syariatnya dengan benar.”

“Bagaimana menitisnya darah biru kepada umat yang setia itu, Eyang?” tanya Pak Prayoga meminta penjelasan. Ia mempercayai ucapan Eyang Angkasa, namun ingin mendengar penerangan lebih lanjut.

“Rasulullah dikatakan akan bertemu dengan umatnya yang saleh di Surga. Mereka tak hanya Ahlul Bait tapi juga bani Adam yang lainnya. Para salihin ini kemudian akan bertemu dengan keluarganya masing-masing dan memberi berkah satu sama lainnya, baik yang di alam baqa maupun yang masih di alam fana. Untuk menghidupkan jiwa-jiwa di alam fana, para ahli surga itu menurunkan wasiat agar mereka selamat di dunia dan juga bisa dikembalikan kepada keluarga mereka di surga kelak. Sehingga mereka melebur menjadi satu. Seperti dikatakan bahwa ahli surga memiliki paras yang sama tampannya, maka banyak dari umat setia Rasulullah akan mendapat kedekatan atau kemiripan rupa dengan putra-putri beliau.”

“Ahh, begitu rupanya...,” kata Prayoga sambil mengelus dadanya, terkesan dengan penjelasan Eyang Angkasa tersebut. “Lalu apa yang bisa Eyang katakan sendiri tentang keris Sang Bima?”

“Keris Sang Bima adalah sebuah warisan budaya yang sangat berharga. Seperti harta karun yang tak ternilai harganya.”

“Bagaimana mengungkap harta karun tersebut, Eyang?” tanya Raffi terkesan.

“Anda berdua mungkin tahu rahasia umum yang tidak diketahui orang kebanyakan, di mana Tuan Rumah akan menyembunyikan harta karun dalam rumahnya sendiri?”

“Di dalam dinding?” tebak Raffi. 

“Anda benar-benar seorang yang tajam, Pak Raffi.”

“Itu, kan ada disebutkan dalam Al-Kahfi, Eyang,” kata Raffi menunjukkan pengetahuannya yang baik tentang Al-Kahfi.

“Benar. Dinding yang dimaksud adalah sekat antara dua ruangan atau tempat. Untuk mengetahui seluk beluk Sang Bima, semuanya harus ditarik dari lokasi Bima yang berada di Bagian Tengah Nusantara. Di sanalah pertemuan antara Timur Indonesia dengan Barat Indonesia berada. Selain Bali, sebagai Pulau Dewata, Bima adalah sebuah tempat yang diusung oleh Al Kahfi. Keberadaan dua tempat Bali dan Bima ini seperti pertemuan dua golongan dengan dua pemimpin yang berbeda. Jika mayoritas Bali menyembah dewa Siwa, maka Bima menyembah dewa Bima. Anda tentunya tahu, kalau Al Kahfi ini merupakan sebuah pertemuan antara dua tempat, bukan?”

“Aha…! Hmm, tidak, saya tidak tahu, Eyang,” kata Prayoga.

“Ya, saya tahu, Eyang,” kata Raffi.

“Hm… Jika Anda memahami Al Kahfi, Anda akan dibuat terpukau dengan dua pemimpin yang mereka sembah ini. Sebab, mereka tidak hanya disembah oleh umat Hindu, tapi juga diagungkan dalam agama kita.”

“Dewa Siwa dan dewa Bima ada dalam Surah Al Kahfi?”

“Itulah unggulnya agama kita, khususnya keistimewaan Al Kahfi ini! Dalam Al-Qur’an terdapat banyak kajian ilmu yang tidak diungkap dalam kitab agama lain. Tapi, seperti saya bilang, buktinya sudah ada, yaitu orang-orang Bali dan Bima ini. Jika Anda penasaran siapa itu Siwa dan Bima, Siwa adalah Nabi Muhammad, dan Bima adalah Nabi Musa.”

“Bagaimana Eyang akan menjelaskan kedua dewa ini sebagai dua Nabi besar kita itu?” tanya Prayoga.

“Pertama kita harus memahami Surah Al-Kahfi yang istimewa ini,” kata Eyang Angkasa.

“Apa sebenarnya keistimewaan Al Kahfi itu, Eyang?” tanya Prayoga tertarik.

“Al-Kahfi mengajarkan kita tentang penciptaan semesta, agar kita bisa menghayati Aum atau Om, realitas tertinggi yang mana adalah kesadaran tertinggi. Al Kahfi mengajarkan segalanya yang terjadi di masa lalu dan masa depan, hingga Anda bisa hidup di masa kini. Apa yang terjadi di masa kini tidak mungkin berdiri sendiri tanpa kejadian di masa lalu, dan apa yang terjadi di masa depan merupakan evolusi dari kejadian di masa kini.”

“Eyang benar. Kita semua memerlukan keduanya, baik masa lalu maupun masa depan untuk bercermin di masa kini, untuk selangkah lebih maju dalam hidup. Tapi, hidup dalam kekinian, bukan berarti mengejar semua perubahan zaman. Kita hanya memoderasi kekurangan dan kelebihan kita. Seperti carpe diem, yang arti sebenarnya bekerja semaksimal mungkin dan menikmati hari ini yang kita lalui,” kata Raffi dengan cerdas.

“Bukankah Al Kahfi itu kisah tentang tertidurnya pemuda beriman di gua oleh sebab dikejar oleh orang kota?” tanya Prayoga.

“Benar. Sebelum mereka tertidur mereka sempat berdo’a agar mereka hanya dikembalikan kepada Sang Maha Kuasa. Jadi, mereka sebenarnya adalah orang-orang kota juga. Tetapi, yang menerima bahwa takdir hidupnya diciptakan oleh Yang Maha Kuasa. Bahwa tidak ada satupun kehidupan yang berubah dari yang sudah ditetapkan-Nya. Mereka menerima bahwa Hari Kiamat adalah hari di mana manusia saling menyimak satu sama lainnya dan menyaksikan bagaimana sebuah kehidupan seseorang menjadi penghakiman bagi kehidupan orang lainnya. Itulah hari penghakiman yang dipahami oleh manusia di zaman kini. Kita saling menghakimi, menghujat, bahkan ada golongan yang tidak memiliki pengetahuan akan berbicara seolah-olah ia memiliki kemampuan dalam urusan umum.”

“Oh, yang Eyang maksudkan itu adalah ruwaibidhah. Tipe pemimpin yang tidak memiliki kemampuan mengurus kemaslahatan orang banyak,” kata Raffi.

“Iya, Pak Raffi. Tidak semua manusia mampu menjadi utusan dalam memenuhi kebutuhan orang banyak. Dalam kasus Al Kahfi, para pemuda beriman itu menebak bilangan angka tahun dari lamanya mereka tertidur. Apakah itu setengah hari atau satu setengah hari.  Mereka lalu mengutus dua orang untuk menentukan golongan mana yang lebih benar dalam bilangan itu. Kedua utusan itu dibekali uang untuk membeli makanan yang paling murni. Namun ketika tiba di pasar, mereka menemukan mata uang mereka sudah tidak berlaku lagi. Mereka mendapati bahwa mereka telah tertidur selama 309 tahun. Ini sebenarnya adalah jumlah pendudukan Belanda di Sunda Kelapa sejak tahun 1619 hingga bangkitnya pemuda-pemudi dalam Sumpah Pemuda tahun 1928. Kitalah sebenarnya gua yang diberkati tertulis dalam Al-Kahfi itu. Kita yang dulunya adalah para penyembah Sang Hyang Tunggal ini kemudian diberkati menjadi umat Islam. Itulah sebenarnya makna dari Hyang atau young yang menunjuk pada pemuda ini. Bahwa ada sebuah janji baik dari keyakinan lama, yang walaupun jauh tertinggal oleh peradaban baru akan tetapi masih bisa sejalan dengan adanya agama Islam yang mengajarkan hikmah pengampunan.”

Keduanya baik Prayoga maupun Raffi terkejut demi mendengar penjelasan tahun yang disebutkan Eyang Angkasa. Prayoga merengut sebentar seperti berpikir, lalu katanya, “1928 dikurangi 1619 memang pas 309 tahun. Jika memang angka 309 tersebut adalah angka yang dituliskan dalam Al-Qur’an, maka Eyang tidak salah mengumpamakan Nusantara sebagai gua bagi pemuda-pemuda beriman itu. Lalu, apa lagi keistimewaan kisah orang-orang yang terperangkap dalam kegelapan ini, Eyang?” tanya Prayoga sambil menyeruput kopi yang tersisa. 

“Banyak, Pak Prayoga. Saya pribadi telah menemukan begitu banyak keindahan dalam kegelapan seperti saya telah menemukan banyak kengerian dalam cahaya. Saya bisa memahami hikmah dan kebijaksanaan berbagai jenis manusia dan bangsa. Kebijaksanaan adalah harta karun yang sebenarnya-benarnya yang dapat diungkap melalui pendalaman bahasa.”

“Ya. Ilmu adalah harta yang paling ringan untuk manusia bawa,” kata Raffi sambil menghirup kopinya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status