“Pergi dari rumah ini, Shena! Aku tidak mau melihat tampangmu masih berada di sini!” seru Iwan Duarte keras.
“Papa! Dengarkan aku dulu, Pa. kami dijebak, Pa. kami juga korban, Pa,” seru Shena membela diri dengan linangan air mata.
“Aku tidak peduli kau dijebak atau pun tidak, kau sudah mencoreng nama baikku. Kau anak jahanam!” seru Iwan tegas.
Air mata mengalir semakin deras saat Shena menyadari ayahnya bahkan mengumpat dirinya dengan tegas. Ya Tuhan, ini seperti mimpi buruk yang tidak pernah dia bayangkan akan menimpa dirinya.
“Kau, Kastara! Tidak ada gaji maupun bonus! Kau sudah gagal dalam tugasmu! Pergi jauh-jauh dari sini, aku tidak mau melihat tampangmu juga dia!” seru Iwan mengusir Kastara juga Shena.
Kastara hanya diam dan mengangguk. Dia hanya bekerja di sini … tetapi diusir seperti seorang pencuri seperti ini rasanya sakit sekali.
Dia menghela napas.
“Bawa dia pergi!” hardik Iwan menunjuk Shena yang masih belum bergerak dari posisinya sejak datang tadi.
“Nona ….” Kastara mencoba membantu Shena berdiri, tetapi gadis itu malah mengempaskan tangannya.
“Jangan sentuh aku! Semua gara-gara kau ada di pesta itu! Harusnya aku pergi sendiri saja!” seru Shena meraung menangisi nasibnya yang berubah tiga ratus enam puluh derajat.
“Jangan bermain drama di sini! Aku hitung sampai tiga, kalau kalian masih juga berada di sini aku akan memanggil polisi untuk mengusir kalian keluar dari sini!” ancam Iwan Duarte dengan nyaring.
“Papa, ampuni Shena, Pa!” seru Shena memohon. Dia berlutut dan menyembah Iwan yang ada di depannya sampai kepalanya terantuk keramik lantai berkali-kali.
“Nona! Hentikan! Tuan Duarte sedang marah, sebaiknya kita segera pergi dari sini, ya,” bujuk Kastara yang iba melihat Shena memohon pada ayahnya sendiri.
Dia mungkin tahu apa yang menyebabkan Iwan Duarte berubah seperti itu. Padahal Shena adalah putri kesayangannya, tetapi dia begitu emosi sampai mengamuk dan mengusir seperti ini.
“Pergi kau!” hardik Iwan menyepak tubuh Shena yang mencoba mengiba di kaki lelaki paruh baya itu dengan kuat hingga gadis itu terguling jauh ke pintu.
Chelsea, adik tiri Shena turun dari lantai dua sambil membawa koper besar penuh berisi. Dia menaruh koper itu di dekat Iwan Duarte.
“Bawa ini! Semua barang-barangmu! Aku peringatkan pada kalian jangan pernah membukakan pintu untuk anak jahanam ini! Siapa saja yang melanggar akan aku usir dari rumah! Tiada ampun!” seru Iwan dengan suara menggelegar agar semua penghuni rumah mewah itu mendengar apa yang dikatakannya. Dia melemparkan koper itu hingga keluar dari pintu rumah.
“Papa ….” Shena masih mencoba mengiba pada Iwan Duarte, tetapi kemarahan lelaki paruh baya itu sudah tidak terbendung lagi.
Kastara mengangkat koper milik Shena dan menarik gadis itu agar segera meninggalkan rumah mewah itu.
“Aku tidak tahu harus ke mana, Kastara,” ujar Shena masih terus menangis.
“Kita akan mencari penginapan dulu untuk malam ini, Nona,” jawab Kastara pelan. Dia menghentikan taksi dan menaikkan koper Shena ke taksi, lalu naik bersama Shena. Gadis itu masih saja menangis.
Sesampai di motel, Kastara masuk dan memesan satu kamar dengan dua ranjang terpisah. Lalu dia mengajak Shena turun dan gadis itu menurut. Tangisannya sudah berhenti tetapi mendung tetap mengelayut di wajah cantiknya itu.
“Nona … apa kau lapar?” tanya Kastara yang melihat jam di dinding kamar hampir jam makan siang. Tadi saja dia bisa mengeluh lapar, apalagi sekarang setelah menangis sekian lama.
Shena mendelik. Wajahnya tampak memerah dan matanya mulai bengkak.
“Aku tidak lapar dan … berhenti memanggilku nona, Kastara,” jawab Shena mengambil tisu untuk mengelap air yang keluar dari hidungnya.
Kastara mengernyit.
“Baiklah, aku akan keluar sebentar untuk membeli sandwich. Jangan tinggalkan kamar karena kau tidak mengenal lingkungan sini,” pesan Kastara sambil mengambil jaket yang baru saja dilepaskannya beberapa menit yang lalu.
“Memangnya aku mau ke mana dengan wajah seperti ini?”
Kastara tertawa kecil, lalu keluar. Kamar mereka berada di lantai dua gedung motel ini. Tidak terlalu ramai yang menginap, hanya ada beberapa mobil kecil di parkiran. Dia terus berjalan hingga keluar ke jalan raya. Tadi dia sempat melihat ada kedai sandwich di pinggir jalan raya. Jadi dia berminat ke sana.
Sementara Shena masih terus mengusap matanya yang basah sampai terasa perih , mata dan hidung. Dia masih terus memikirkan kejadian kemarin malam. Dia merasa bodoh sekali karena sampai tidak sadar bahwa seseorang mengerjai dia … ah bukan … seseorang menjebaknya!
Tetapi siapa yang menjebaknya?
Dia mengambil ponsel yang ada di kantong celana dan mulai membaca beberapa pesan yang masuk sejak tadi malam hingga siang ini. Tidak ada yang aneh.
Lalu dia membuka akun media sosial dan matanya terbelalak saat melihat sebuah video dengan namanya tertera di sana! Video berdurasi satu menit di mana terlihat wajahnya dengan jelas sedang di atas ranjang dengan seorang lelaki bertelanjang dada. Tubuh mereka di blur karena jelas tidak tertutup sehelai benang pun. Shena menutup mulutnya yang terbuka lebar! Jantungnya berdebar dengan hebatnya hingga dia merasa akan mati saat itu juga.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka dan Kastara masuk, lalu menyentak ponsel dari tangan Shena.
“Jangan lihat!”
“K-kau kau tahu video itu?” tanya Shena tergagap dan panik.
Kastara mengangguk, lalu menaruh sandwich yang dibelinya di atas meja.
“Aku melihatnya tadi saat menunggu sandwich. Mungkin itu yang membuat Tuan Duarte marah besar padamu. Tapi aku sungguh minta maaf padamu, Shena. Seharusnya aku sudah curiga saat teman-temanmu mengajak bermain kata itu,” jawab Kastara dengan penuh penyesalan, tetapi nasi sudah menjadi bubur.
“Mereka jahat sekali, padahal semua masih termasuk sepupu jauhku!” ucap Shena kembali menangis.
Kastara diam.
“Terkadang justru bencana datang dari orang-orang terdekat, Nona,” timpal Kastara.
“Jangan panggil aku Nona, Kastara. Jadi sekarang apa yang harus kuperbuat? Menuntut mereka? Tapi aku tidak punya bukti,” jawab Shena mengambil beberapa helai tisu untuk menghapus air mata yang kembali membasahi wajah dan sedikit bajunya.
“Makanlah dulu sandwich itu. Aku rasa kau pasti sudah sangat lapar,” balas Kastara lagi sambil mencari ide harus kemana mereka pergi, tidak mungkin terus berada di motel ini. Walau harga sewa motel tidak seberapa, tetapi uang yang dia punya tidaklah banyak.
Shena menurut. Dia turun dari ranjang dan mengambil satu buah sandwich dan memakannya dengan lahap. Kastara benar, dia sangat lapar.
Sesaat kemudian Kastara keluar dari kamar dan berdiri di depan kamar sambil menelepon seseorang, hampir setengah jam kemudian, dia masuk ke kamar.
“Kita pulang ke kampungku,” tegas Kastara tanpa basa basi.
“Ke kampungmu?” Shena terperangah.
***
“Iya, ke kampungku, Shena. Memangnya kau punya berapa banyak uang untuk bertahan di kota metropolitan ini? ini saja kita hanya menginap di motel. Kau tahu berapa hotel-hotel yang biasa kau dan ayahmu menginap satu malam? Anggap saja kau memiliki uang, tahan berapa lama hanya untuk membayar hotel? Belum makan, anggap saja hotel memberikan free breakfast, lalu makan siang dan malam? Jangan kau katakan kau hanya akan makan satu kali dalam sehari,” oceh Kastara panjang lebar.Shena terdiam mendengar ocehan Kastara. Memang masuk akal semua yang dikatakan Kastara, tapi di mana letak kampung itu? Seberapa jauh dari kota?“Di – mana letak – kampungmu, Kastara? Jauh kah dari sini?” tanya Shena pelan. Dia tidak sanggup membayangkan hidup di kampung, yang harus berjalan kaki kemana-mana, jalan berdebu dan tidak di aspal, iuuhh! Baru membayangkannya saja, kakinya langsung terasa lemas. Bagaimana ini?
Untuk pertama kalinya, Shena merasakan enaknya berada di atas kereta api. Selama ini dia hanya pernah naik kereta gantung dan kereta api cepat di luar negeri.“Ternyata enak juga naik kereta api, Kastara. Apa aku bisa tidur di sini?” tanya Shena pada lelaki yang sejak tadi hanya diam menatap pemandangan yang berlari cepat di samping jendela gerbong.Kastara tidak menyahut, dia hanya mengangguk. Shena langsung meraih ransel Kastara untuk dijadikan bantal kepala. Dan lagi-lagi lelaki itu hanya diam seribu kata membiarkan Shena melakukan apa yang ingin dilakukannya.“Kau tidak ingin tidur?” tanya Shena sambil membenahi ransel itu agar terasa agak tak nyaman di kepalanya.“Tidak. Kau tidur saja, aku akan berjaga di sini,” jawab Kastara datar. Shena menatapnya dengan pandangan yang tak dipahaminya sendiri.“Memangnya apa ada penjahat di sini?
Selesai makan, Kastara mengajak Shena untuk kembali ke gerbong mereka. Tetapi gadis itu menolak, dia msih ingin berada di gerbong makanan ini karena dari jendela yang ada di gerbong makanan itu mereka bisa mendapatkan pemandangan di luar dengan lebih leluasa. Tidak ada tirai-tirai yang ditutup seperti di gerbong mereka karena cuaca yang panas di luar.Kastara hanya bisa menuruti keinginan gadis muda itu. Tiba-tiba ponsel yang ada di kantong celananya bergetar, dia segera mengangkatnya.“Ada apa?” sapa Kastara pendek tanpa melihat layar lagi, dia sudah tahu siapa yang menghubunginya.Lalu terdengar suara samar-samar dari seberang ponsel. Shena mengernyit, suara wanita … siapa dia? Gadis itu mendekatkan telinganya ke arah Kastara untuk mencoba mendengar. Tetapi sampai ponsel dimatikan dia sama sekali tidak memperoleh info tentang siapa yang menghubungi penjaga-nya itu.“Ayo kit
“Aku tidak menyumpahimu, Nona Shena, hanya mengingatkan agar kau jangan berbicara saat sedang makan. Kau kan tidak tahu apa yang akan kau telan atau tertelan seperri tadi. Lagi pula tersedak makanan itu berbahaya, kau bisa kehilangan nyawa tanpa bermaksud untuk bunuh diri. Kau bisa meihat data berapa banyak orang yang meninggal gara-gara tersedak,” balas Kastara panjang lebar. Lalu dia menarik napas sebelum melanjutkan makannya yang tertunda.Shena mendelik.“Iya—iya … profesor Kastara, aku mengerti,” jawab Shena sewot.Kastara tertawa melihat kelakuan gadis itu yang mendelik dengan mata yang membulat.Selesai makan, Kastara mengambil ranselnya dan mengeluarkan jaket tebal untuk digunakannya sebagai bantal. Dia mengantuk.“Kau mau apa?” tanya Shena melihat ransel yang empuk menjadi kempes.“Aku mau tidur. Karena kau sudah tidur lama, jadi gantian kau yang berjaga, Shena,” jawab Kastara santai sambil menguap lebar.“Haaa?” Shena terkejut ketika Kastara menyurunya untuk berjaga. Belum p
“Masih satu jam lagi. Baiklah ayo kita makan dulu sebelum kereta tiba di stasiun. Nanti akan susah mencari makan jika sudah berkendara,” ajak Kastara sambil berdiri dan merapikan pakaiannya yang lusuh karena tidur tadi.”Shena mengangguk cepat dan langsung mengikuti Kastara yang sudah berjalan lebih dulu darinya.Begitu memasukki gerbong makanan, mereka langsung disambut dengan aroma makanan yang super sedap hingga membuat perut Shena kembali berdendang.“Aku mau nasi goreng kemarin, Kastara,” bisik Shena cepat sambil melirik ke deretan kursi yang penuh dengan penumpang kereta karena sekarang memang jam sarapan pagi.Kastara mengangguk. Dia melihat sambil mencari meja kosong, tetapi sepertinya di jam-jam begini tidak ada meja dan kursi yang kosong.Setelah memesan dua nasi goreng dan dua jus jeruk, Kastara juga mengambil beberapa gorengan dan kue-kue
“Apa maksudmu membawa gadis itu pulang, Kastara!” suara Tuan Bastian Kusuma menggelegar memenuhi seluruh ruang makan menandakan bahwa dia tidak senang dengan keputusan Kastara membawa Shena ke rumah.“Dia diusir dari rumah gara-gara kesalahanku, Pa. Sebagai laki-laki aku harus bertanggung jawab. Bukankah itu yang selalu Papa tegaskan padaku?” jawab Kastara tegas. Bukan berniat membantah ayahnya tetapi dia hanya melakukan apa yang dia anggap sebagai tanggung jawabnya.“Tanggung jawab?!?” Batian tertawa menyindir.“Tanggung jawabmu itu ada pada Alina, Kastara! Kau sudah dijodohkan sejak kalian dalam kandungan! Bukan gadis antah berantah itu! Kalau kau bisa menyentuhnya berarti dia bukanlah gadis baik-baik. Pulangkan dia ke kota. Papa tidak mau dia di sini. Lalu nikahi Alina. Dia dengan sabar menunggumu kembali dari kota, Kastara! Jangan ragukan kesetiaan seorang wanita,” Sent
“Heii … rapatkan mulutmu itu sebelum nyamuk dan lalat masuk ke mulutmu, Shena! Aku tdak terlalu menarik sampai kau melongo seperti itu,” ucap Kastara tertawa melihat gadis itu melongo melihatnya yang baru keluar dari kamar mandi.Shena terkejut dan dengan cepat menutup mulutnya dan tidur dengan selimut menutupi kepalanya. Dia malu. Wajahnya pasti memerah seperti tomat saat ini.‘Ya ampun, Shena! Kau seperti tidak pernah melihat tubuh lelaki saja. Apa kau tidak ingat sudah melakukan intim dengannya?’ seru suara di kepala Shena dengan keras.“Sudah, tidurlah dulu. Kau pasti lelah sekali setelah kemarin tidur di kereta yang berjalan,” ucap Kastara naik ke ranjang dan menarik selimut setelah mengecilkan suhu AC di kamarnya.“Kastara … apa aku membuatmu terlibat dalam masalah serius? Ayahmu marah? Aku mendengar suaranya,” bisik Alana dari balik
“Al—Alina? Kenapa kau bisa kemari? Siapa yang memberitahumu?” tanya Kastara dengan suara tercekat.“Ayahmu mengabari ayahku, Tara. Aku … aku gembira karena kau akhirnya kembali ke kampung, Tara,” jawab Alina Wirawan pelan dan lirih.Kastara hanya mengangguk, lalu melanjutkan ke dapur untuk membawa gelas kosong itu, kemudian kembali lagi ke ruang tamu.“Duduk saja, Alina. Anggap rumah sendiri. Kau juga bukan tamu di sini. Ingat?” ujar Kastara dengan tawa kecil.Gadis itu menangguk dan duduk di salah satu sofa yang ada di ruang tamu itu, dan Kastara duduk di hadapannya.“Maaf aku belum sempat ke rumahmu, Alina. Aku baru tiba kemarin sore,” ucap Kastara membuka percakapan.Alina mengangguk sambil menunduk tersipu dengan wajah memerah.“Tidak apa-apa, Tara. Jadi bagaimana pekerjaanmu di Jakarta? Apa kau memperoleh cuti? Berapa lama kepulanganmu kali ini?” tanya Alina ingin tahu.“Aku kembali kali ini … berapa lama, aku belum tahu, Alina. Tapi … ada sesuatu yang terjadi di kota sebelum aku