Hari demi hari berlalu. Semakin lama kondisi kesehatan Akarsana dan juga Pelangi semakin membaik, bahkan Pelangi sudah diperbolehkan untuk pulang hari ini. Sementara Akarsana masih harus menunggu kabar dari dokternya. Sekarang Akarsana kedatangan mama dan adik lelakinya, Renjana ketika hari sudah sore. Mereka berdua menjenguk Akarsana di rumah sakit datang secara bersama-sama ke ruangan lelaki itu. Akarsana tentu saja senang melihat keluarganya datang ke sini karena dia merasa bosan hanya sendirian saja sejak tadi. “Bagaimana sekarang? Apa yang kamu rasakan?” tanya Prita kepada Akarsana. Saat berencana menjenguk Akarsana di rumah sakit, Prita sudah mengatakan kepada Renjana agar tidak membahas apapun dulu kecuali tentang kondisi Akarsana, ia juga mengancam anak perempuannya agar tidak mengadu kepada Akarsana tentang kebenaran perihal meninggalnya Kayla. “Sudah membaik, Ma. Aku hanya menunggu kabar dari dokter untuk mengetahui kapan aku diperbolehkan untuk pulang,” balas Akarsa
Ardian baru saja menyelesaikan pekerjaannya dan dia ingat dengan surat yang dititipkan oleh Pelangi kepadanya, surat yang Pelangi tulis untuk Akarsana. Pria itu keluar dari ruangan khusus perawat, berjalan menuju ruangan rawat Akarsana sembari menenteng tas miliknya dan surat yang Pelangi siapkan di tangannya. Di depan ruangan rawat Akarsana, Ardian membuka pintu ruangan tersebut dan membuat seseorang di dalam sana menoleh melihat kedatangan Ardian. “Selamat sore!” sapa Ardian ramah pada Akarsana. “Sore.” Akarsana membalas melihat penampilan seorang lelaki yang baru saja masuk ke dalam ruangannya, Akarsana menebak bahwa lelaki itu merupakan seorang perawat. “Bagaimana kondisi Anda hari ini? Sudah merasa membaik?” tanya Ardian selayaknya perawat lain yang selalu bertanya kondisi dari pasien yang mereka rawat. “Sudah membaik.” Akarsana tersenyum. Ardian kemudian langsung memberikan surat yang sejak tadi ada di tangannya membuat Akarsana mengernyit kebingungan. “Saya mendapatk
“Apa kamu kenal gadis itu?” Anita sedang menunjukkan rekaman cctv pada Ginny. Wanita itu akhirnya memerhatikan seorang perempuan yang masuk ke dalam toko perhiasan, lalu berinteraksi dengan Anita sampai akhirnya mengeluarkan kalung dan menunjukkan kepada Anita. “Aku tidak mengenali dia tapi aku mengenali kalungnya, itu sebabnya aku penasaran sekali, Nit. Dia mengatakan apa aja sama kamu?” Ginny bertanya pada Anita. Ginny benar-benar tidak kenal dengan gadis itu, ia penasaran sekali dari mana gadis itu mendapatkan kalung berliontin ukiran nama Pelangi, karena seingat Ginny, kalung itu jelas ia masukkan ke dalam selimut bayi yang dikenakan Pelangi sewaktu masih bayi. "Dia cuma bilang mau jual kalung itu karena lagi butuh biaya. Aku kasihan sama dia soalnya kaya butuh banget, apalagi waktu bilang orang tuanya sakit, aku keinget orang tuaku sendiri,” jelas Anita mengingat apa yang gadis tersebut katakan. “Aku akan membeli kalung itu, Nit. Tolong kamu siapkan sama gelang yang buat ha
Prita sedang membuka semua laci di kamar Kayla. Tentu saja Prita sedang mencari semua perhiasan Kayla yang ia harap-harapkan. Ditambah ia ingin segera mendapatkan warisan saudara kembarnya supaya bisa bersenang-senang seperti dulu. Ketika sedang khawatir dan gelisah, pintu kamar Prita di buka oleh Renjana yang masuk dengan begitu terburu-buru. "Apa yang sedang Mama lakukan?" "Tentu saja mencari semua perhiasan Kayla yang dia sembunyikan. Mama sudah mendapatkan beberapa. Ayo bantu Mama mencarinya lagi." Renjana segera membantu ibunya. "Terus bagaimana, Ma tentang pertemuan dengan Pak Andy?" Prita menjelaskan semua yang terjadi tentang pertemuannya dengan pengacara Andy. Renjana kini berubah kesal dan gelisah. "Kita harus segera mendapatkan warisan itu, Ma. Tidak mungkin kita mengulur waktu lagi. Apalagi aku sudah memesan mobil dan berniat membayarnya dengan uang warisan itu." Prita dan Renjana berpikir keras, mereka seperti sedang menyusun rencana untuk ke depannya dan memang m
Pelangi berdandan serapi mungkin. Hari ini dia memutuskan untuk bertemu Kayla dan memang sengaja tidak menghubungi wanita itu dulu, karena Pelangi ingin memberikan kejutan untuknya. Dia membayangkan ekspresi terkejut wanita itu nanti dan tersenyum geli. Setelah puas berdandan, Pelangi keluar kamar dan melihat ayahnya tanpa kursi roda sedang duduk di sofa sambil menonton tv. “Ayah, aku pergi dulu. Tidak akan lama kok.” Pelangi berpamitan pada Danurdara membuat lelaki itu mengangguk dan mengizinkan anaknya untuk pergi. Pelangi pun segera keluar dari rumah dengan tas kecil yang sudah tersampir di bahu, dia juga sudah memesan ojek online untuk pergi ke tempat tujuannya. “Atas nama Pelangi.” Pelangi mengangguk saat seorang driver ojek online menghentikan sepeda motornya di hadapan pelangi yang memang sudah menunggu di depan rumah. Pelangi pun menerima helm yang diberikan abang ojek tersebut dan segera menaiki sepeda motornya. Perjalanan cukup memakan waktu sampai akhirnya sepeda m
Tanpa sadar, Pelangi sedari tadi diperhatikan oleh beberapa penumpang dari kursi lain. Beberapa di antaranya menyadari kalau Pelangi sedang menangis sembari menatap ke jendela bus. Pelangi mengusap kedua pipinya. Menyeka air matanya susah payah. Namun, Pelangi tidak bisa menghentikan air matanya yang terus meleleh hingga ia kelelahan. Pelangi mengarahkan kedua tangannya. Dia berusaha menahan diri agar tidak menangis, karena sekarang kedua mata Pelangi berubah menjadi bengkak. Jika dia pulang dalam keadaan begini, ayahnya pasti akan khawatir. Pelangi turun dari bus. Berjalan dengan lesu menuju ke rumah rusunnya berada. Gadis itu menarik tali tasnya, kepalanya menunduk sepanjang dia melangkah. Sesampainya di depan rumahnya, Pelangi melihat pintunya dibuka. Dari arah luar, Pelangi bisa melihat ayahnya sedang berada di ruang tamu, duduk menghadap ke arah pintu. "Aku pulang, Yah," sapa Pelangi. Danurdara menatap Pelangi. Sepasang mata bengkak Pelangi menjadi perhatian Danurdara
Hari demi hari berlalu, Akarsana sudah diperbolehkan untuk pulang. Beberapa kali Prita melihat ke arah Sofia seakan-akan tengah mengancam Sofia untuk tak menceritakan apa pun tentang penyebab kematian Kayla pada Akarsana. Sesaat kemudian, mereka sampai di rumah sakit dan melihat Akarsana yang tengah duduk di sofa sambil memainkan ponselnya."Apa kamu senang sudah boleh pulang?" tanya Prita membuat Akarsana langsung menoleh dan melihat sosok Prita di sampingnya."Mama?" "Tidak rindu dengan Mama?" Akarsana tersenyum lalu memeluk Prita erat. Dia tentu saja merindukan Prita, ibunya. "Bagaimana kabarmu, Sofia?" "Aku baik-baik saja." Sofia menatap Akarsana dengan tatapan yang sulit untuk diartikan. Akarsana mengerutkan keningnya membuat Prita menyadari hal itu, lalu memberikan kode pada Sofia untuk segera berjalan lebih dulu.Sofia yang tahu akan kode itu hanya bisa diam dan menuruti apa yang Prita suruh. "Apa kamu sudah siap pulang?" tanya Prita lagi."Aku sudah merindukan kamarku."
“Ada apa, Sofia? Katakan padaku.” Sofia menatap Akarsana, kedua matanya kini berkaca-kaca. “Tante ....” Suaranya tercekat sulit sekali mengatakan, tetapi Akarsana harus mengetahui semua. “Tante Kayla udah nggak ada. Tante meninggal dunia, karena jatuh dari lantai atas.”Akarsana tentu saja terkejut dengan apa yang barusan dia dengar. Tidak mungkin, kenapa semua orang tidak mengatakan sejak awal kepadanya? Kenapa baru sekarang saat Akarsana kembali ke rumah, mereka mengatakan semuanya?“Kenapa kalian tidak memberitahu aku? Bahkan aku tidak ada saat pemakaman Tante, kenapa kalian malah merahasiakan semua ini?” Akarsana kecewa sekali. Kayla adalah tantenya dan sudah seharusnya Akarsana tahu, jika sesuatu terjadi kepada Kayla. Apalagi kepergian Kayla untuk selamanya, Akarsana malah tidak diberitahu oleh siapapun.“Maaf, Akarsana. Kamu juga tidak baik-baik aja, Mama ingin kamu fokus pada kesembuhan kamu lebih dulu.” Prita mengeluarkan suaranya, padahal jelas selama ini Prita tidak member